(006)

Abby has no idea how she ended up in this situation. Right now, she’s on her way home in a someone else’s car. A guy, who she barely knew and apparently goes to the same school and is in the same year as her, is driving her home right now.

To summarize it, tante Devina, host dan pemilik rumahnya menyuruh Naufal, anak wanita itu, untuk mengantar Abby pulang. Naufal baru saja pulang dari rumah temannya dan langsung disuruh nganterin orang yang dia gak kenal pulang, tentu saja Abby merasa tidak enak, jadi ia tolak. Tapi tante Devina keras kepala dan memaksa Naufal untuk mengantar perempuan itu pulang.

And that’s how it all started.

Sejujurnya, Abby merasa tidak nyaman berada di mobil yang asing bersama orang yang dia sama sekali gak kenal. And the fact that he’s a guy just makes it even worse for her.

Naufal on the other hand, gak terlalu keberatan. Dia tau wajah Abby, dia sering lihat perempuan itu mengunjungi kelasnya waktu kelas 10, tapi baru tau namanya hari ini. Jadi, dia sudah lebih dahulu mengetahui keberadaan Abby.

“Lu kelas berapa sih? Maksudnya, kelas IPS atau IPA,” tanya Naufal. Berusaha untuk membangun percakapan. “IPS,” jawab Abby. Perempuan itu tidak melirik Naufal sama sekali, pandangannya fokus ke handphonenya. Dari gerak-gerik perempuan itu, kelihatan kalau dia tidak tertarik dengannya.

Naufal ber oh-ria. Dia ingin mengajak Abby bicara lagi, karena dia paling gak suka diem-diem kayak ini. Menurutnya, rasanya sesek banget. Mungkin kalau sama teman dekat, dia gak masalah diem-dieman, tapi kalau baru kenal rasanya harus ngobrol terus biar gak canggung.

“Lo sakit perut? Mual?”

“Iya. Enggak.”

Naufal menyeritkan dahi. “Jadi iya atau enggak?”

Abby melirik Naufal sekilas sebelum kembali sibuk dengan handphonenya. “Iya sakit perut, Enggak gue gak mual.”

“Oh ya? Kebelet boker lu?” canda laki-laki itu, berharap candaannya sukses membuat perempuan itu tertarik berbicara dengannya. Tapi, gagal, Abby malah mengabaikan lelucon itu.

“Ehem,” Naufal menggaruk lehernya canggung. “Gak lucu ya? Hehe, sorry.”

Abby menatap laki-laki itu dengan tatapan heran. “Apanya?”

Sialan nih cewek, ternyata dia gak denger, batin Naufal sambil memasang senyuman terpaksa. “Enggak, gak apa-apa.”

Tidak ada yang berbicara lagi sepanjang jalan. Ada sih, tapi hanya sekedar menanyakan arah. Naufal sesekali melihat Abby, sedangkan perempuan itu berusaha untuk tidak melihat laki-laki itu.

Abby paling tidak nyaman soal berduaan dengan seorang laki-laki kecuali kakaknya dan sahabatnya. Dia merasa tidak tenang sampai jumlah dia menarik dan menghembuskan nafas aja dia hitung. Sebenarnya, Abby selama perjalanan kerjaannya nge-tweet hal-hal yang sedang dia rasakan sekarang. Tidak nyaman, canggung, malu, dan lain-lain. Selain itu, rasa sakit di perutnya itu malah membuatnya merasa lebih buruk.

“Ini rumah lu kan?” tanya Naufal yang memelankan kecepatan mobilnya. Abby melihat ke arah jendela, ia menghela nafas lega. Akhirnya, batin dia.

“Iya.” Abby langsung membuka pintu dan keluar mobil laki-laki itu. “Makasih ya,” ucapnya sebelum cepat-cepat masuk ke dalam dan memencet bel yang terletak di tembok sebelah pintunya. Sambil menunggu kakaknya membukakan pintu, Abby menggaruk jari jempolnya, tidak sabar untuk masuk ke rumah dan juga agar Naufal bisa pergi.

Perempuan itu kehilangan kesabarannya dan mulai menggedor-gedor pintu. Naufal yang menyaksikan itu menyeritkan dahi.

Gak ada orang di rumahnya apa? Atau dia lupa bawa kunci? batin laki-laki itu, heran.

Beberapa detik setelah itu, pintunya akhirnya terbuka, menunjukkan seorang laki-laki dengan handuk melingkar di bahunya. “Gak usah gedor-gedor buset, santai dong,” ujar Sebastian, kakak laki-lakinya Abby.

Melihat wujud laki-laki itu, Naufal langsung menancap gas, kembali pulang ke rumahnya. Tugasnya untuk mengantar Abby pulang dan memastikan dia masuk ke dalam rumah dengan selamat sudah selesai.

Ketika mobil hitam itu sudah tidak terlihat di depan rumahnya, Abby menghela nafas lega. “Finally,” gumamnya.