(019)
Gue tertawa melihat balasan Shaqa. Shaqa itu sepupu gue, kita selalu bareng dari kecil, bertigaan sama Bang Norris juga. Gue sering bantuin Shaqa di cafénya dia, soalnya gue dibayarin juga sama dia, hehe. Kalo gak dibayar mah mana mau gue bantuin.
Kalau Shaqa ada urusan mendadak, gue yang selalu gantiin dia di café. Hari ini adalah salah satunya. Gue gak keberatan sih, soalnya gue juga sering dateng ke sini buat nugas. Kalau gue yang gantiin Shaqa, biasanya habis ngeclose gue suka main-main sendiri di café, Shaqa juga gak keberatan kok (kayaknya).
Sejak tadi siang, cuacanya emang kurang memuaskan alias hujaaaan mulu. Cuman kali ini deres banget, kayaknya kalo gue naik motor hujan-hujanan gini nanti punggung gue sakit gara-gara ditonjok-tonjok air hujan.
Tiba-tiba handphone gue berdering. Erloy nelpon gue.
“Halo?”
“Fa, charger laptop gue ketinggalan di kosan lu. Lu udah pulang gak?”
“Belom. Hujan deres banget ini, kayaknya gue nunggu lama.”
“Lahhh gimana dong … gue butuh banget ini laptop gue mati,” rengek Erloy.
Gue mengacak-acak rambut greget mendengar suara rengekan Erloy yang nyebelin. “Ya udah lu bilang ke ibu kosannya aja lu temen gue, terus pinjem kunci cadangannya terus ambil laptop gue.”
Gue bisa mendengar suara kecil yang Erloy selalu dia keluarkan kalau kegirangan. “Makasih ya. BTW, emangnya gak sepi apa di sana? Serem amat kalo hujan gede gini terus lu sendirian gelap-gelapan nunggu hujan reda.”
Gue ngelirik kanan kiri gue. “Se–”
Sebelum gue bisa menyelesaikan kalimat gue, gue melihat ada orang yang jongkok di samping gue. Kepalanya nunduk dan rambutnya panjang lurus berwarna hitam, ditambah bajunya yang berwarna putih, membuat orang itu kelihatan kayak setan.
“ANJINGGGGGGGG!”
“EH ANJING ANJING!!”
Gue berteriak kencang, lalu buru-buru masuk ke dalam cafénya lagi. Orang di samping gue ternyata ikut teriak waktu denger gue teriak.
“WOI ERLOY ANJINGG ANJING LOY ADA KUNTIL ANAK DI SEBELAH GU– loh handphone gue mana…”
Yang bener aja.
Handphone gue jatoh dan masih di luar. Kena air hujan.
Orang itu ngambil handphone gue, terus nengok ke gue. Karena gue bego guenya malah membelakangi dia, ketakutan.
Tuk tuk tuk
“Mas, ini handphonenya jatuh!”
Gue menelan ludah. “Buat mbak aja gapapa.”
“Hah, Ngapain buat saya? Saya udah punya handphone.”
Gue menggigit-gigit ujung kuku ibu jari gue. “Nanti kalo saya ambil, mbak malah bunuh saya lagi.”
“Hahhhh ngapain saya ngebunuh kamu???”
“Loh, emangnya kuntil anak gak bunuh-bunuh orang?”
Gubrak! Orang itu memukul pintu café. “Sembarangan! Gue bukan kuntil anak! Mentang-mentang rambut gue panjang terus warnanya item ya lo?!”
‘Gobloookkk luuuu Rafa’
Gue perlahan-lahan membuka pintu café, lalu tertawa canggung waktu melihat wajah orang itu yang jelas-jelas bukan kuntil. “Hehe, bukan ya?”
“Bukan lah! Nih, handphonenya.” Dia mendengus kesal, kemudian memberikan handphonenya ke gue. “Maaf hehehehe, makasih ya,” ucap gue malu-malu.
“Ngomong-ngomong,” gue memperhatikan orang itu, “kok mbak basah kuyup?”
“Iya tadi saya jatoh ke dalam got.”
“Hah sumpah?”
“Ya enggak lah, jelas-jelas ini karena kehujanan,” balasnya. Kayaknya dia udah kesel sama gue. Hehe maaf ya mbak.
Diliat-liat, kasihan juga orang ini basah kuyup nungguin hujan reda. “Nungguin dijemput kah? Atau nunggu hujan reda?”
Dia ngeliatin gue dengan tatapan aneh, seolah-olah dia curiga sama gue. “Nungguin reda, kenapa?”
“Mau tunggu di dalem aja gak?”