104.

Erloy’s POV

Sesampai rumah, gue langsung selonjoran di kasur gue. Pikiran gue kacau karena kejadian barusan, Kairos suka sama Fayre? Sejak kapan? Tunggu…kenapa dia bisa suka sama Fayre?

Gue nggak marah, gue nggak kecewa juga sahabat gue suka sama gebetan gue sendiri. Karena gue tau perasaan manusia itu nggak bisa diatur, lagi pula gue sama Fayre nggak punya status apa-apa.

Lebih tepatnya gue sedikit sedih karena Kairos nggak cerita ke gue, apa yang dipikirkan oleh cowok itu selama gue cerita tentang Fayre ke dia? Selama ini gue bikin dia sakit hati nggak ya ngomongin tentang proses gue sama Fayre mulu?

Gue belum hubungin Kairos, gue ragu. Gimana kalo orang itu nggak mau ngobrol sama gue dulu? Knowing Kairos, anak itu pasti sekarang lagi mau menyendiri.

“But what about Fayre?” I wondered. Gimana ya perempuan itu? Dia sadar nggak ya selama ini Kairos suka sama dia? Atau perasaannya sekarang gimana ya setelah dengar confession dari cowok itu?

“Should I text her?” Gue ngomong sama diri sendiri, I stared at my phone while debating whether to text her or not. “Tapi gue chat apaan ya…masa gue tanyain soal Kairos tadi? Gue kan bukan siapa-siapanya dia, ini kayak seolah-olah gue cemburu nggak sih entar?”

There are too many thoughts going through my mind right now, thoughts that I think I shouldn’t have cared about.

Tiba-tiba ada ketukan dari luar pintu gue, kak Revanzo masuk ke dalam kamar gue. “Ada temen lo di ruang tamu, temuin cepet. Udah malem banget, lo ngajak ketemuan?”

Gue mengerutkan dahi, “Nggak tuh?”

Gue langsung berjalan ke ruang tamu, ada Fayre yang hanya mengenakan kaos hitam dan celana lendek sambil menggigit-gigit kukunya. Ngapain coba dia malem-malem gini ke sini? Apa dia nggak kedinginan?

“Fay? Ngapain ke sini? Udah malem banget tau.” I softly said and sat next to her. Nggak terlalu deket, setidaknya kita berjarak sekitar 5 centimeter dari orang yang kita ajak bicara, biar lebih nyaman kalo kata kak Revanzo.

Dia masih gigit-gigit kukunya, gue perlahan menarik tangannya dari mulutnya. “Stop doing that,” ucap gue sebelum menggepalkan tangannya Fayre.

“Eh iya maaf, kebiasaan.”

I let go of her hand, tapi dia tarik tangan gue and intertwined our fingers together. “Bentar, jangan lepas dulu.”

Anjing dia kenapa??? Gue deg-degan.

“Erloy,” panggilnya lalu nengok menghadap gue, “Lo nggak marah kan?”

Hah?

“Marah? Marah kenapa?” Tanya gue heran. “Karena Kairos tadi?”

Dia mengangguk, “I swear gue nggak ada apa-apa sama Kairos kok. Kita cuma temenan, serius. But don’t blame him for what happened too, perasaan kan nggak bisa diatur. Eh tapi bukan berarti gue ngerasain hal yang sama ke dia..”

“Calm down Fay, gue nggak marah.”

“Iya?”

I nodded, “Iya, lagi pula emangnya gue punya hak buat marah? Nggak kan?”

“Ah…iya ya…”

Gue nggak pernah lihat Fayre segugup ini. Her thumb drew circles on the palm of my hand, I guess it’s her way to calm herself down. Tapi kenapa dia kayak takut banget ya? Gue sama dia kan nggak pacaran, dia beneran suka sama gue atau gimana? Kenapa kayak takut kehilangan?

Does she really like me?

“Fay.”

“Hm?”

Lo suka sama gue?

“Gue anterin pulang mau nggak?” Tawar gue, “Udah mau jam 12 malem, besok kita sekolah.”

“Gue bawa mobil kok, gue sendirian aja.”

“Beneran?”

“Iya.”

“Ya udah, pulang gih.” Gue tarik dia yang tadi duduk di sofa, I can see her cheeks turning red. Karena skinshipnya? Fayre akhir-akhir ini aneh.

“I don’t see you like this often.”

“Like what?”

“Nervous. Kenapa lo harus mastiin ke gue kalo lo sama Kairos nggak ada apa-apa? I mean, gue tau kok lo berdua nggak mungkin ada apa-apa.” Kita berjalan ke depan rumah gue menuju mobilnya sambil gandengan, “Lo pernah ada kejadian kayak gini Fay?”

Dia menggelengkan kepalanya, “Bukan gitu, lebih tepatnya karena gue…”

“Karena?”

“Karena…gue nggak mau ada kesalah pahaman diantara kita bertiga.”

Oh.

“Ohh gitu?”

Dia mengangguk, “Gue pulang ya Loy? Sorry to bother you malem-malem gini.”

“Nggak apa-apa, drive safe Fayre.”

Dia tersenyum, melepaskan genggamannya lalu mengelus-elus rambut gue. I got pretty used to it actually, tapi kadang gue masih kaget kalo dia tiba-tiba kayak gini.

“Ya udah gue masuk ya?”

“Eh, tunggu Fay.” Gue buru-buru melepaskan jaket gue yang dari tadi gue pake, awalnya mau gue kasih ke Fayre sebelum ngobrol tapi lupa. “Pake ini ya, udah malem banget pasti dingin di mobil lo.”

“Gue kan nggak gampang kedinginan, Loy.”

“Nggak usah nolak deh, let me take care of you for once.” I wrapped the jacket around her shoulders, “Kalo gini kan nggak terlalu dingin nanti.”

She laughed, “You’re so cute.”

“You’re cuter.”

“Apaan deh? Geli banget lo.” Dia memukul bahu gue pelan sebelum masuk ke dalam mobilnya.

“Kan lo duluan yang mulai?” I frowned. “Ya udah, pulang sana.”

“Kok ngusir sih?”

“FAYREEEEE PULANGGGG.”

“IYAAAAAAAAAAA, gue pulang yaa. See you tomorrow at school Loy!”