120.

Kairos’ Pov

It’s been about 15 minutes since the bell rang, harusnya gue hari ini ekskul basket tapi gue nggak mood. Palingan ini ngobrol sama Erloy sebenarnya nggak lama-lama banget juga, but we usually end up going to McD after a long talk.

Dari kejauhan, gue bisa melihat sosok Erloy yang lagi duduk di salah satu kursi di kantin sambil minum pop ice. Matanya tertuju kepada anak-anak paskibra yang juga lagi ekskul di sebelah lapangan basket.

Ada Fayre juga di sana, he’s probably watching her.

“Gue bisa lihat muncul hati-hati dari mata lo.” I said and sat across from him. “Bacot lu,” Jawabnya.

Kita diam sebentar, mata gue sama Erloy tiba-tiba bertemu. “Jadi gimana?” Tanya lelaki itu, putting his pop ice aside.

“Where do I start,” Gue menghela napas, “Pertama-tama, gue mau bilang dulu kalo gue suka sama Fayre cuma baru-baru ini. Nggak selama lo kok, dan gue nggak ada niatan buat ngerebut atau deketin dia.”

“I’m sorry I didn’t tell you, tapi gue beneran nggak suka sama Fayre kayak lo. It’s more like…a really small crush, you know? Rasa suka yang bisa datang dan pergi gitu aja, it’s not that serious. I’m sure of it.”

“Lo boleh kecewa sama gue karena gue juga kecewa sama diri sendiri, gue nggak bermaksud buat suka sama Fayre juga Loy. It just happened.”

Erloy hanya mengangguk-angguk, ekspresinya susah ditebak. Dia nggak kelihatan marah, tapi gue nggak tau juga isi hatinya apa sekarang. Bisa aja dia diem-diem kesel sama gue kan?

“Gue nggak marah sih, Ros. I mean, what’s there to be mad about? Kan perasaan manusia nggak bisa diatur, jadi gue paham kok posisi lo.” Ucap Erloy. He’s always like this, really, always so understanding.

Mungkin itu alasan kenapa Fayre suka sama Erloy, dia punya rasa simpati yang tinggi.

“Though, I was a little disappointed that you didn’t tell me. Tapi itu juga bisa dimengerti, karena nggak gampang pasti ngasih tau temen lo sendiri lo suka sama gebetannya.”

“Thanks Loy, sorry gue nggak bilang ke lo duluan.” Gue menghela napas lega, Erloy senyum. “Nggak apa-apa, thanks for telling me.”

Hening lagi, but this time it wasn’t awkward. Mata Erloy kembali menonton Fayre yang lagi paskib, gue juga otomatis liatin anak paskib.

“Cantik banget.” Erloy senyum-senyum sendiri, “Keren juga, anjingg keren banget sih cewek orang.”

“Cewek lu.”

“Belom ah, gue belom tau mau nembaknya gimana.”

Gue menaikkan alis, “Lo udah mau nembak? Beneran?”

Dia mengangguk, “Kalo kelamaan pdktnya nanti nggak jadi-jadi.”

“Terus mau nembaknya gimana?” Gue bertanya, “Saran gue nembaknya jangan di depan orang-orang sih Loy, that’s embarrassing.”

“Buat lo.” Dia memutarkan bola matanya, “Nggak tau juga sih, I don’t have the balls to ask her out in public either.”

“So? What are you gonna do?”

“I’ll figure it out before Friday.”

Seeing Erloy thinking about asking Fayre out makes me feel happy. The thought of both of my friends having mutual feelings for each other really makes me feel good inside. Even though Fayre ini adalah perempuan pertama yang bikin gue nyaman, gue bakal lebih bahagia kalau dia jadian sama cowok yang selama ini perjuangin dia. Lagi pula, usaha Erloy nggak sia-sia kan?

Buktinya, Fayre juga jatuh cinta sama cowok itu.