13.
Hayes' Car, 31 December 2021
Setelah berdebat selama 15 menit, Aqila akhirnya menuruti Hayes dan ikut ke rumah Fathan untuk menghabiskan new years di sana.
“Lagian kenapa sih, kayaknya lu nggak mau banget ketemu sama Fathan. It's been years since you two have broken up, don't tell me-”
“Enak aja!” Aqila menyentil lengan Hayes. “Of course I've moved on. Bukan gara-gara Fathan atau gimana-gimana. Takutnya mereka yang nggak nyaman ada gue. Kan, kalian udah temenan dari lama, masa tiba-tiba gue nimbrung? Emangnya Fathan sama Zaki nggak apa-apa gue ikut?”
“Nggak apa-apa, Qil. Nih.” Hayes mengeluarkan handphonenya lalu menunjukkan isi percakapan Whatsapp laki-laki itu dengan Fathan. “He's fine with it. Tadi gue tanya lagi juga Zaki gapapa kok. Besides, you can be friends with Fathan again and maybe even get to know Zaki. It won't hurt to make more friends, right?”
Aqila terkekeh. “It's not easy for me to be comfortable with a guy. Apa lagi temenan.”
“Lah, ini sama gue?” Hayes menengok ke Aqila sambil menunjuk dirinya.
“Lihat jalanan,” kata Aqila, mendorong kepala laki-laki itu agar menghadap depan. “Kan lu sama gue udah kenal dari kecil, it's different,” lanjutnya.
'Oh, beda'
“Jadi gue spesial gitu?” candanya, membuat Aqila memutarkan bola matanya, tidak menjawab pertanyaan konyol laki-laki itu.
Tentu saja Hayes spesial. Sembilan tahun mereka berteman, mana mungkin laki-laki itu hanya dia anggap sebagai teman biasa?
Fathan's House, 31 December 2021
Selama di rumah Fathan, Hayes selalu berdiri di samping Aqila agar perempuan itu tidak merasa canggung. Dan itu sangat membantunya. Dengan adanya Hayes di samping dia, Aqila merasa lebih nyaman ketika dikelilingi orang-orang baru.
Hayes melirik jam tangannya. Sekarang pukul 23.45, hanya beberapa menit lagi sebelum memasuki tahun baru. Teman-temannya, Zaki dan Fathan sedang memainkan petasan sedangkan Aqila duduk di teras sambil menatap handphonenya.
Ia menghampiri sahabatnya, kemudian duduk di sebelahnya dengan segelas coca cola di tangannya, yang gak lama kemudian ia minum. “Ngelihatin apaan?” tanya Hayes penasaran. Aqila melirik Hayes sedetik lalu meletakkan handphonenya. “Ayah ngechat,” balasnya. “Catokan gue ketinggalan di rumah, katanya.”
Hayes bersenandung. Ia bisa merasakan ada sesuatu yang nggak beres dengan Aqila, tetapi ia juga tau Aqila sedang tidak ingin ditanya. Whether it's today, tomorrow, next week, or even next month — Hayes tau Aqila akan menceritakannya sooner or later.
“Gue lihat ada daster di lemari ayah.”
'Oh, I guess today's the day'
“Tapi gue nggak pernah pake daster.” Aqila menyenderkan kepalanya di bahu Hayes, mengagetkan laki-laki itu. “Do you think mom visited him before I did? Atau mungkin dia punya pasangan baru ya?”
“Which one do you want to believe in the most?”
Aqila stopped to think for a second, before saying, “The latter.”
“And why is that?” tanya Hayes. Perempuan itu menghela napas, lalu menenggelamkan wajahnya di bahu sahabatnya itu. “I don't know. I just think it's better.”
Laki-laki itu mengangkat tangannya ragu-ragu, ia sedang memutuskan untuk mengelus rambut sahabatnya atau tidak, karena sekarang jarinya hanya berjarak beberapa centimeter dari kepala Aqila.
Tiba-tiba, Aqila mengangkat kepalanya, mengagetkan Hayes dan dirinya sendiri. Wajah mereka dekat. Terlalu dekat. But neither of them moved. Hayes bisa merasakan jantungnya mulai berdegup lebih kencang dari biasanya, tetapi ia tidak bisa memalingkan wajahnya.
“Woi, 5 menit lagi jam 12. Sini buruan!” seru Zaki, menyadarkan dua orang itu.
Hayes mengacak-acak rambut Aqila lalu berlari menyusul Zaki dan Fathan yang sudah masuk mobil untuk pergi melihat kembang apinya lebih jelas. Di dalam mobil, Aqila bertingkah as if nothing happened. Sedangkan kedua ujung telinga Hayes masih merah merona dan jantungnya belum tenang.
'Ini pasti gara-gara kaget doang. Iya, pasti karena kaget doang' batin Hayes, trying to convince himself that this is nothing serious.
Ia melirik Aqila, dan semua usaha untuk meyakini dirinya sendiri hilang begitu saja.
Untuk pertama kalinya, Hayes mulai meragukan perasaan dia terhadap Aqila. And all of this started because of an eye contact.
A stupid eye contact.