157.

Prima sedang duduk di salah satu kursi di ujung Hadiru Bakery, agak jauh dari counter table tapi di kanan dia ada jendela, sehingga perempuan itu bisa melihat aktivitas orang-orang — yang sebenarnya membuat dia terlihat sedikit menyeramkan — sambil menunggu Seven selesai shiftnya.

Waktu mereka berdua sampai di depan toko, Seven langsung disapa oleh ayahnya dan diminta untuk menjaga counter sampai jam tiga sore. Mereka datang sekitar pukul setengah dua, jadi Prima terpaksa menunggu satu setengah jam.

Dia tidak keberatan, karena dengan ini dia bisa menyaksikan Seven melayani para pelanggan. Seven terlihat tampan mengenakan celemek dan kemeja yang dua kancingnya terbuka. Walaupun ibunya sudah mengomelinya dengan mengatakan bahwa itu terlihat tidak rapih, Seven tetap membukanya karena merasa sesak.

Tapi satu hal yang membuat Prima risih adalah ketika ada anak-anak perempuan seumuran mereka yang mendatangi Seven sambil cengar-cengir, meminta nomor handphone-nya lelaki itu. Tentu saja, ia menolak permintaan tersebut. Tapi karena senyuman Seven yang begitu menawan, perempuan-perempuan itu tidak merasa tersinggung sama sekali.

Prima tidak menyukai bahwa dia cemburu. Toh, selama dia hidup, dia belum pernah merasakan cemburu seperti ini. Karena saat ia berpacaran dengan Abhian waktu SMP, tidak ada yang mendekati cowok itu karena dia terlihat jutek.

“Haha hihi haha hihi, gue tau cowok gue ganteng, tapi nggak usah depan gue dong,” Prima bergumam sendiri. Ia memutar-mutarkan sedotan dari jus stroberinya, sambil melirik-lirik ke arah Seven dan para perempuan itu.

Prima tidak menyukai perasaan ini, karena ia merasa dirinya sangat keanak-anakan. Dia tidak takut kehilangan Seven, karena ia tau pacarnya itu tidak akan meninggalkannya, tapi dia tidak suka saja melihat mereka yang sok asik dengan pacarnya.

Tapi dipikir-pikir lagi, gue dulu juga sok asik sama dia

“Kak.” Tidak menyadari bahwa daritadi ia memperhatikan anak-anak itu, Prima terkejut saat Seven tiba-tiba berada di sampingnya dan tersedak. “E-eh Seven, kenapa di sini? Kamu kan shift? Ada apa?”

Bukannya menjawab, justru lelaki itu tertawa melihat tingkah kakak kelasnya. “Kok malah ketawa?” tanya Prima heran. Seven menggelengkan kepala, “Nggak, habis kakak daritadi melototoin orang-orang tadi. Kenapa sih emang? Kakak kenal mereka?”

Prima merasakan pipinya memerah karena ketahuan telah memperhatikan perempuan-perempuan tadi. “Hah? Apa sih? Kagak kagak, lu salah liat kali. Orang gue tadi liatin jendela yang sana,” kata perempuan itu sambil menunjuk jendela yang terletak di dekat tempat duduk perempuan-perempuan tadi, tidak sadar bahwa ia menggunakan lu-gue dan bukan aku-kamu.

“Ngapain liat yang sana? Kan kakak juga ada jendelanya di sini?” Seven mengetuk jendela di bagian kanan Prima, membuat perempuan itu lebih malu lagi. “Yaaa nggak tau ah! Kamu balik aja sana, nanti dimarahin tante Farah loh.”

Seven dibuat tertawa oleh kakak kelasnya itu lagi, kali ini ia sambil menepuk-nepuk pundak perempuan itu. “Kak, kak, liatin merekanya biasa aja kali. Kan aku nggak kasih nomor aku.”

“Siapa juga yang melototin mereka? Kan aku bilang aku liatin jendela yeuu!”

Seven tau bahwa Prima hanya malu, makanya tidak ingin mengakui kelakuannya tadi. Tapi, hal itu terlihat lucu di mata lelaki itu. “Yakin?”

“Yakin,” jawab Prima. Masih tidak mau melihat ke arah Seven.

Lelaki itu tersenyum, lalu mengetuk pundak perempuan itu, menyuruhnya untuk menghadap dia. Prima akhirnya melihat ke arah adik kelasnya, pipinya sudah tidak semerah tadi tapi jantungnya masih berdegup kencang karena wajah mereka yang berdekatan.

“Don’t worry,” ia mendekatkan wajahnya dan mempertemukan hidungnya dengan hidung perempuan itu. “I’m yours, kak,” ucapnya lalu berjalan ke meja counter dengan santai, seolah-olah dia tidak melakukan apa-apa kepada Prima.

Sedangkan perempuan itu, masih membeku di tempat. Bukannya lebih tenang, justru ia wajahnya kembali memerah. Walaupun sentuhan tadi hanya berlangsung selama satu detik, kupu-kupu yang ia rasakan di perutnya akan bertahan selamanya. Ia mengipas-ngipas wajahnya dengan tangan, seolah-olah sedang kepanasan.

Gila, sejak kapan dia jadi sejago ini?