166.

Prima dan Seven janjian untuk bertemu di kantin. Ketika Prima sudah sampai, ternyata Seven sudah terlebih dahulu duduk di salah satu tempatnya. Prima tersenyum saat melihat punggung pacarnya itu, ia berjalan cepat ke arahnya dan duduk di sebelah kirinya, mengagetkan lelaki itu.

“Hai!” sapa Prima, berusaha untuk terdengar ceria. Perempuan itu sebenarnya lelah, ia ingin sekali diam seharian tanpa mengatakan sepatah kata apapun ke siapa-siapa, tapi tentu saja itu mustahil. Jika ia diam-diam saja, semua orang akan mencurigainya.

Seven tersenyum lebar saat menyadari kehadiran kakak kelasnya, “Halo, did you sleep well last night?”

No

“Yes. Mana browniesnya? Aku laper banget.” Matanya berbinar begitu Seven membuka kotak makan berisi brownies itu. Prima buru-buru melahap salah satu browniesnya, lalu mengacungkan ibu jari ke Seven, menandakan bahwa rasanya enak.

Prima mengira pacarnya tidak akan mencurigainya sama sekali, karena ia sudah berusaha untuk kelihatan normal seperti biasanya. Tapi, Seven daritadi mengamatinya, sehingga membuat perempuan itu takut Seven menyadari ia lelah.

“Kenapa lihatin mulu sih?” tanya Prima, mulutnya masih penuh dengan brownies.

“Telen dulu kak,” kata Seven pelan. “Nggak, kakak matanya kayak capek. Are you sure you slept well? If you’re still tired, kakak bisa tidur di UKS you know? Aku temenin sampe bel bunyi.”

Prima menatap lelaki itu dengan penuh kekaguman. Ia heran kenapa lelaki itu bisa memahaminya walaupun mereka baru kenal beberapa bulan, bahkan Kirei yang sudah mengenalnya bertahun-tahun kadang tidak menyadari betapa lelahnya Prima.

“No, no it’s fine.” Ia menggelengkan kepala, melahap satu potong brownies lagi. “Aku nggak capek kok, cuma…”

“Cuma?”

Prima menghembuskan napas, “Cuma tadi pagi toaster aku rusak, jadi aku capek dikit nggak bisa makan pagi gitu. Hehe.”

Seven melihatnya ragu, ia tidak percaya dengan alasan perempuan itu. “Are you sure?” tanya Seven sekali lagi untuk memastikan. “Aku nggak akan maksa kalau kakak emang nggak mau cerita, tapi kalau kakak kenapa-kenapa aku bisa dengerin kok. I won’t complain at all. Kalau kakak capek, kakak boleh ngomong ke aku, boleh komplain ke aku, aku nggak akan kesel karena aku mau tau keadaan kakak gimana.”

That hit the spot for her, matanya berkaca-kaca the moment Seven placed his hand on her back. “Eh, loh, hah, kakak kenapa?” lelaki itu panik ketika Prima menundukkan wajahnya dan menenggelamkannya di telapak tangan perempuan itu.

Sejak dua hari yang lalu, Prima menahan tangisannya karena merasa tidak pantas untuk meneteskan air mata. Ia merasa dirinya tidak boleh capek, karena orang-orang pasti usahanya lebih keras dan lebih menderita dari dia.

Seven tidak mengatakan apa-apa lagi setelah itu, ia hanya menepuk-nepuk dan mengelus pundak kakak kelasnya. Ini baru pertama kali ia melihat Prima menangis, dan ia merasa bersalah karena tidak memahaminya.

Tidak ada orang di kantin sama sekali, karena mereka berdua datangnya terlalu pagi. Dan Prima bersyukur telah dibangunkan lebih pagi dari biasanya, karena dengan itu ia bisa ke sekolah jauh lebih pagi juga.

Keheningan di kantin membuat perempuan itu merasa lebih tenang, dan sentuhan Seven di pundaknya juga terasa nyaman. Ketika Prima mengangkat wajahnya, Seven langsung merentangkan tangannya, menawarkan pelukan untuk perempuan itu.

Tanpa berpikir dua kali, Prima langsung menjatuhkan dirinya ke dalam pelukan pacarnya. Ia sudah tidak menangis lagi, melainkan sekarang ia merasa tenang di dalam pelukan lelaki itu. “Makasih Sev, maaf aku tiba-tiba nggak jelas,” gumam perempuan itu. Suaranya tidak begitu jelas karena ia menenggelamkan wajahnya di dada pacarnya.

Seven mengangguk, mengelus-eluskan kepala kakak kelasnya. “Don’t apologize. Kakak mau cerita nggak? Numpang nggak ada orang.”

Prima menggelengkan kepalanya, lalu menjauhkan dirinya dari dada Seven. “Ah this is so embarrassing, I’m supposed to be older than you.” ia memutarkan kedua bola matanya malas. Seven tertawa, “Apa hubungannya coba?”

Prima tidak menjawab, ia malah menenggelamkan wajahnya di dada lelaki itu lagi, mengucapkan ‘makasih’ berkali-kali yang kemudian dibalas dengan ‘iya’ oleh Seven sama banyaknya.