184.

Prima’s POV

Kalau mama bilang kita bakal pulang bareng, artinya gue dalam bahaya.

Ya, enggak juga sih. Gue lebay dikit. Cuma, mama selalu jemput gue setiap hari terakhir ujian. Dia sengaja kayak gini biar bisa tau dan bisa ngobrol sama gue langsung kalau nilai gue ada yang kurang. Sebenarnya, gue ngerti kenapa dia gitu. Dan, ya, mama nggak pernah marahin gue berlebihan. Tapi, gue masih deg-degan.

“Gimana hari terakhir? Lancar?” tanya Mama, matanya fokus ke jalanan. Gue mengangguk, “Biasa aja sih, soalnya kan, hari jumat pelajarannya yang nggak susah-susah banget.”

Mama berdeham, matanya masih fokus ke jalanan. Dari penampilannya, mama baru pulang kerja. Entah kenapa, setiap hari terakhir ujian, mama selalu pulang lebih cepat dari biasanya. Ya enggak juga sih, mungkin karena ini hari Jumat.

Gue hafal banget, habis pulang kita bakal jalan-jalan ke mall, puas-puasin ngabisin duit, terus waktu pengumuman nilai baru ngobrol di restoran. Jadi, selama perjalanan, gue cuma bisa berdoa gue nggak kena omel banyak-banyak.


Tebakan gue benar. Di jam 6 sore, kita udah duduk di Sushi Tei, sama-sama buka website sekolah buat cek nilai.

Mama nggak bilang sih, kalau dia lagi buka website sekolah juga. Tapi dari ekspresinya aja, udah ketebak banget dia lagi buka website sekolah juga.

“Fisika…70…” gumam gue, takut mama mendengar. Namun percuma juga, karena dia langsung natap gue dengan rasa kecewa. “Prima.”

Ah, here we go again.

“Mama sebenarnya sudah capek bilang ini ke kamu. You just turned seventeen two months ago, dan kamu udah kelas 12. Tolong belajarnya lebih serius ya, Prima.” Mama menghela napas setelah itu, menggelengkan kepalanya seolah-olah dia pusing lihat nilai gue yang nggak berkembang sama sekali. Gue cuma mengangguk, malas kalau ngomong malah diomelin lebih lama lagi.

“You know,” kata mama ragu-ragu, “mungkin kamu harusnya ikutin kata papa kamu aja. Lihat nih, nilai ekonomi minat kamu bagus. Kamu yakin enggak mau bisnis?”

Seriously? Bahas ini lagi?

Gue menghembuskan napas kesal, “Ma, papa udah nyuruh aku buat pindah ke MIPA waktu aku pilih IPS. Aku nggak pernah mau pindah ke MIPA, tapi karena papa yang selalu pressure aku buat pindah, akhirnya aku pindah.

“Sekarang, papa malah nyuruh aku jurusan bisnis. Kalau gitu, kenapa nyuruh aku pindah ke MIPA? Kenapa? Karena sepupu-sepupu aku juga MIPA? Kenapa sih, aku harus sama kayak semua sepupu aku mulu?

“Aku nggak mau harus ngikutin maunya papa mulu, ma. Mama juga, kenapa nggak bela aku sih, kalau papa kayak gitu ke aku? Mama bilang, kalau mama bakal support aku. Tapi mama juga suka tiba-tiba berubah pikiran karena papa yang nggak setuju sama aku.”

Gue bisa merasakan wajah gue mulai panas, karena akhirnya mengeluarkan emosi yang selama ini gue tahan. Gue nggak lihat ke mama, karena kalau gue lihat, gue takut mama masang wajah yang paling gue nggak sukai — the same face dad makes whenever I did something he doesn’t like.

Pusing. Gue tau, mama emang nggak berniat nambah beban gue, kelihatan kok dari caranya ngomong sama gue tadi hati-hati banget. Tapi tetap aja, yang dia ucapin tadi itu adalah hal terakhir yang ingin gue dengar keluar dari mulut dia.

“Habis makan pulang aja lah ma,” ucap gue, nggak tahan sama situasi canggung sekarang. “Aku lagi nggak mau bahas masa depan aku sekarang, aku capek.”