187. Night Drive
Malam itu, Seven langsung menghampiri Prima ke rumah perempuan itu. Selama ujian, ia hanya sekedar sapa-sapaan dengan pacarnya. Jadi tentu saja, Seven sangat merindukan Prima.
“Right on cue,” bisik Seven saat melihat Prima langsung menghampirinya, tepat ketika ia sampai di depan rumahnya. Namun, ada sedikit yang berbeda dengan perempuan itu, ia bisa merasakannya.
‘Jangan tanya dulu deh’
Prima tersenyum, melihat Seven yang membukakan pintunya untuk perempuan itu. “Thanks,” kata Prima, mengacak-acak rambut lelaki itu sebagai tanda terima kasih.
“Kita mau ke mana?”
Seven berdeham. “Mau muter-muter aja nggak? Nanti, kalau misalnya laper, tinggal cari makan.”
Perempuan itu hanya mengangguk, tidak mengatakan apa-apa selama perjalanan itu. Seven sadar, kalau Prima sedang tidak seperti dirinya sendiri. Atau mungkin, sekarang adalah diri Prima yang sebenarnya.
Nevertheless, he didn’t ask any questions. For the sake of her comfort, because she didn’t look like she wanted to talk about it. At least, not yet.
Tiba-tiba saja, Prima menunduk. Perlahan-lahan, perempuan itu mulai menangis. Semakin lama, perempuan itu semakin terisak. Seven merasa tidak enak dan kaget, ia pun akhirnya memarkirkan mobilnya di parkiran McDonald’s, kemudian menoleh ke kakak kelasnya yang menangis itu.
Lagi-lagi ia tidak mengatakan apa-apa, hanya mengelus-eluskan pundak perempuan itu dalam diam. “Gue mau marah, sumpah mau marah aja.” Prima menenggelamkan wajahnya di kedua tangannya, “Tapi gue takut dikutuk kayak Malin Kundang.”
Seven tidak tau harus tertawa atau tidak, tapi ia menahannya karena merasa situasinya tidak pas. “Ketawa aja Sev, aku emang niatnya bercanda dulu baru cerita.” Seven akhirnya tertawa mendengar jawaban kakak kelasnya itu, diikuti oleh Prima yang tertawa juga — walaupun agak macet-macet karena ingusan.
“Udah enakan?” tanya Seven untuk memastikan, tangannya tidak meninggalkan pundak perempuan itu. Prima mengangguk, “Maaf Seven, aku boleh cerita nggak? Tapi, kayaknya aku cerita mulu ke kamu. Maaf ya, aku takut kalau nggak cerita ke kamu, nanti–”
“Cerita aja kak,” celetuk lelaki itu. “Kan, aku pernah bilang. Kakak cerita aja sepuas kakak. Kakak boleh ngerengek ke aku, boleh komplain ke aku, boleh marah-marah ke aku, apa pun itu aku bolehin. Aku nggak akan kesel, asal itu bisa membuat kakak merasa lebih baik.”
Mendengar itu, Prima menangis lagi. Kali ini, ia menangis di pelukan Seven, mengeratkan genggamannya di kain hoodie lelaki itu. Seven membiarkannya, sambil mengelus-elus puncak kepala pacarnya itu. “I want you to rely on me, kak. If you need a shoulder to cry on, I’m always here. Well, actually, I’ll try. I don’t want to make promises I don’t even know I can keep.”
Prima tertawa. “I get it.” Perempuan itu melepaskan genggamannya, kemudian bersender di kursi mobil. “Aku cerita ya?” ia melirik ke Seven, lalu menghela napas lega saat lelaki itu memberikan anggukan.
“I feel bad for my parents. Especially my mom. I feel bad, karena nilai aku nggak improve sama sekali. Selalu sama dari dulu, nggak ada kemajuan sama sekali and it’s killing me. Waktu pengumuman nilai tadi, mama kelihatan kecewa banget sama aku. Tapi, bukan cuma itu doang. Papa aku selalu pengen aku gini gitu, tapi…tapi dia tuh nggak maksa aku, ngerti nggak sih?
“Dia tuh, kayak punya caranya sendiri biar aku nurutin dia. Aku paling benci, waktu papa mulai ngeliatin aku kayak kecewa pas aku bilang aku mau jurusan desain interior. Soalnya, kalau dia ngeliatin aku kayak gitu, aku jadi ngerasa aku harus ikutin kemauan dia. Dia waktu itu juga kayak gitu ke aku, pas aku milih IPS. Makanya, aku linjur. Karena aku nggak suka kalau papa ngeliatin aku kayak aku ini bikin kecewa dia mulu.
“There’s this big bubble of guilt in my head that just won’t pop because what if I’m actually a failure di keluarga aku? Gimana kalau, nanti aku nyesel terus sadar selama ini orang tua aku bener? Makanya dulu aku ngikutin mau papa aja. Tapi, sekarang aku nggak mau nurutin papa aku mulu.
“And I know, there are hundreds maybe even millions of people out there who’s going through something worse than I am. Mungkin aku ini lebay. What if I’m overreacting, Sev? Aku selalu mikir, mungkin aku ini berlebihan. Lagian, ini bakal berlalu juga kan? Jadi, I shouldn’t be stressing over it.”
Prima diam, kemudian menggelengkan kepalanya. “Sorry, kayaknya bener. Iya…iya bener, ini aku lebay aja. Maaf, sumpah maaf Sev. Aku pikir-pikir lagi, kayaknya ini sebenarnya sepele.”
“Kak,” Seven memanggilnya, menyadarkan perempuan itu dari bengongannya. “I’m sorry, tapi kakak pernah mikir nggak, mungkin kakak terlalu menyepelekan perasaan kakak?”
Prima diam untuk memikirkan maksud dari kalimat itu. Ia tidak pernah, dalam hidup dia sekali pun, berpikir bahwa dia menyepelekan perasaannya sendiri.
“Aku pernah bilang kan, walaupun masalah kakak nggak sebesar masalah dunia, bukan berarti masalah kakak itu irrelevant?” Seven meletakkan tangannya di atas tangan perempuan itu. “Aku nggak ngebela papa kakak, sama sekali enggak. Menurutku, you’re allowed to pick whatever you want, because it’s your life in the end of the day, not his. Tapi, kakak pernah kepikiran nggak, kalau kakak tuh ngomong ini semua akan berlalu dan merasa harusnya kakak nggak usah pikirin, karena kakak cuma mau masalahnya cepat selesai? Kalau, kakak ngomong gitu karena kakak takut?”
Karena takut. Prima mengulang perkataan adik kelasnya itu di kepalanya. Seven benar, Prima takut membantah ayahnya. Toh, buktinya, ia tadi menangis karena takut.
“You should take it easy, kak. Nangis nggak apa-apa, ngeluh nggak apa-apa. Lagian, kakak juga ada usahanya, kan? Walaupun kakak merasa usaha kakak kurang, an effort is still an effort.”
“Makasih, Sev.” Perempuan itu mengeratkan pelukannya, menenggelamkan wajahnya di punggung Seven. “You smell really good, kamu habis bikin kue ya, sebelum ke sini?”
Malam itu, mereka menghabiskan sisa waktu mereka memakan brownies yang Seven buat sebelum menjemput Prima.