193. New Years
“Mama kamu mana?” tanya Seven. Prima dan Seven sekarang berada di rooftop rumah perempuan itu, karena jarum jam sudah menunjuk ke angka 11.
Prima mengedikkan bahu, “Nggak tau, katanya ke rooftop aja duluan. Mungkin nyuruh kita berduaan, jiaaaakh.” Ia menyenggol-nyenggol Seven, yang kemudian dibalas dengan tawa oleh lelaki itu.
Lalu, hening. Mereka hanya duduk di kursi sambil mendengarkan lagu-lagu dari playlist yang mereka buat pekan lalu. Sempat ada sedikit perdebatan diantara mereka karena selera lagu mereka yang berbeda, tapi akhirnya Seven berdua mengalah.
Now Playing: no song without you – london session — HONNE
Seven melirik ke arah kakak kelasnya. Sebuah senyuman mengembang di wajahnya, saat melihat Prima yang memejamkan mata sambil bersenandung. Dulu, Seven ragu-ragu kalau ingin menatap Prima. Namun, sekarang hampir setiap kali mereka bertemu, ia selalu menatap perempuan itu dan tidak melepaskan pandangannya. Menurutnya, Prima begitu cantik walaupun ia tidak menyadarinya.
“Kak,” panggilnya. “I love you.”
Mata Prima membulat saat mendengar pengakuan Seven yang blak-blakan. “A-apaan sih? Kenapa coba, tiba-tiba ngomong kayak gitu…” ia bisa merasakan pipinya memerah, kedua tangannya menyentuh pipinya untuk memastikan ia tidak demam dan rasa hangat ini adalah karena malu.
“Hehehe,” Seven memberikan senyuman yang lebar. “I feel like you don’t know how much I love you. Kayaknya, kata-kata aja nggak cukup buat ngasih tau kakak betapa senengnya aku bisa ketemu sama orang kayak kakak.”
“Sejak kapan kamu se-cheesy ini?” Prima mengangkat alisnya. “Tapi, ya, aku juga.”
“Juga apa?”
“You can’t make me say it.” Perempuan itu memutarkan bola matanya. “Kamu tau maksud aku apa,” kata Prima, menendang kaki Seven dengan kakinya sendiri.
Seven tertawa melihat kakak kelasnya salah tingkah. Ia berjalan ke belakang perempuan itu, meletakkan dagunya di atas kepala Prima karena tinggi mereka yang beda jauh. “Aku boleh peluk kakak nggak?” tanya Seven.
Prima mengacungkan ibu jari sebagai lampu hijau. Senyuman Seven melebar saat mendapatkan izin, lalu ia memeluknya dari belakang dengan senang hati. “You fit perfectly in my arms,” gumam lelaki itu, menenggelamkan kepalanya di rambut Prima. Perempuan itu tertawa geli, “Ih, geli banget ah. Jangan deket-deket leher aku!”
Kedua pasangan itu mengangkat kepala mereka saat mendengar suara petasan. Prima menunjuk-nunjuk langitnya, senyumannya melebar saat ia melihat tangan Seven di atas tangannya, menunjuk ke arah yang sama.
“Cantik banget ya,” bisik Prima terkagum-kagum. Mata Seven mendarat di puncak kepala perempuan itu, ia terkekeh. “Kakak atau petasannya?” tanya dia jahil. Wajah Prima memerah lagi, kemudian ia memukul lengan Seven yang melingkar di pinggangnya. “Ya petasannya lah! Kamu nggak usah sok-sok buaya gitu deh.”
Keduanya tertawa pada akhirnya, masih sambil menonton petasan yang mengisi langit yang tadinya gelap dan kosong. Seven mengeratkan pelukannya, lagi-lagi meletakkan dagunya di puncak kepala pacarnya sambil berdeham. “Hmm, semoga tahun depan dan tahun-tahun kedepannya lagi aku bisa taro dagu aku di atas kepala kakak setiap tahun baruan.”
“Permohonan kamu aneh banget.”
“Tapi itu artinya, aku mau kita selalu bareng. Salah?”
“Enggak,” Prima berpindah posisi menghadap Seven. Mata mereka bertemu, wajah mereka hanya beberapa berjarak beberapa centimeter, membuat kedua pasangan itu gugup. “Ah jangan dulu kak,” kata Seven lalu menyembunyikan wajahnya di pundak Prima. “New years kiss-nya waktu aku udah siap aja.”
“S-siapa yang mau new years kiss coba?!”
Seven mengangkat wajahnya, kemudian memasang senyuman jahil. “Aku. Tapi belum siap, hehe. Tahun depan aja kak, baru aku siap.”
“Nggak usah dikasih tau, aneh!” seru Prima lalu menjitak kepala adik kelasnya.