20.

Begitu Renee menutup pintu, ia melihat Reyvan — Laki-laki yang kemarin malam ada di acara ulang tahun yang sama dengannya — sedang merokok sambil duduk. Posisinya sama persis seperti kemarin malam.

Reyvan langsung buru-buru mematikkan rokoknya, lalu tersenyum canggung. “Halo.”

“Hai,” balas Renee, masih ngos-ngosan karena habis lari. Ia duduk di samping Reyvan, tapi berjarak sejauh 2 meter agar tidak tercium bau rokoknya. “Gue numpang di sini juga boleh, nggak? Cuman, gue agak jauhan. Gue nggak suka bau rokok.”

“Hah? Nggak kedengeran.”

Renee memutarkan bola mata. Ia benci harus mengulangi perkataannya. “GUE BOLEH DUDUK DI SINI NGGAK? TAPI AGAK JAUHAN BIAR—”

“Eh jangan kenceng-kenceng woi, nanti ketauan sama office boy kita di sini,” potong Reyvan. Ini membuat Renee semakin kesal, tetapi Reyvan malah tertawa melihat reaksi gadis itu. “Gue denger kok, sebenarnya. Lo ngapain di sini?”

Renee menghela napas. “Bagas ngikutin gue mulu, jadi gue kabur ke sini. Lo tau Bagas nggak? Kalo tau, jangan kasih tau ya gue di sini.”

“Ya enggak lah, gue aja nggak deket sama dia,” katanya. Ia lalu mematikan rokok dengan menginjak-injaknya.

Melihat itu, membuat Renee penasaran. “Gue boleh coba nggak?” tanya dia.

“Hah? Rokok? Lo mau nyoba ngerokok?” Reyvan menatapnya dengan tatapan tidak percaya, sambil menunjukkan bungkus rokok yang ia pegang dari tadi.

“Ih bukan,” tolaknya. “Injak-injak rokoknya. Boleh nggak?”

Cowok itu diam sebentar sebelum mengangguk, mengiakan permintaan aneh Renee. Perempuan itu berjalan mendekati Reyvan, lalu melirik ke batang rokok yang sebenarnya sudah padam dari tadi. Ia kemudian menginjaknya dengan penuh emosi sampai Reyvan kaget emosi seorang Renee terlihat jelas hanya dengan menginjak-injak batang rokok.

Setelah itu, Reyvan tertawa. “Lo kenapa serius banget nginjeknya? Santai aja kali, Ne.”

Wajah Renee memerah, malu karena sudah berlebihan. Ia berhenti menginjak-injak lalu ikut tertawa, walaupun terdengar sedikit canggung. “Sorry, gue kesel banget soalnya.”

“Kesel kenapa?” Reyvan bertanya, mengambil batang rokok yang sudah rata itu lalu membuangnya ke dalam tong sampah. Renee menghela nafas, berjalan mendekati pagar yang mengelilingi rooftop sekolah. “Gue nggak suka sama cara Bagas nembak gue. Eh, did I sound arrogant?” ia melirik ke Reyvan untuk memastikan. Laki-laki itu menggelengkan kepala, menyuruh Renee untuk lanjut bercerita.

“I appreciate it. You know, disukain sama dia dan dia udah berani nembak gue segala macem. Tapi gue nggak suka caranya dia nembak gue di publik, dan pake ngejar-ngejar gue segala sampai bikin gue takut,” jelasnya. “Gue nggak tau ya menurut dia itu cuma bercandaan lucu atau enggak, tapi gue nggak suka karena gara-gara dia, orang-orang jadi ngeliatin gue.”

Reyvan tidak bisa membayangkan bagaimana rasanya berada di posisi Renee, karena laki-laki itu hampir tidak pernah menjadi pusat perhatian. Meski begitu, ia mencoba untuk memahami perasaan Renee. “Nggak nyaman ya? Getting everyone’s attention like that. Mungkin pada bilang lu beruntung karena ada yang mau nembak lu terang-terangan kayak gitu, tapi mau gimana pun kalo lu nggak suka ya lu nggak akan bisa suka.”

Renee mengangangguk antusias. “SEE, YOU GET IT! Sumpah, tadi anak kelas gue ada yang bilang kalo Bagas keren karena udah nembak gue kayak gitu dan gue harusnya terharu. Oke, I admit it, dia keren karena udah berani. Tapi menurut gue ngejar-ngejar gue kayak tadi itu nggak keren sama sekali. Atau, bahasa lainnya, bikin gue illfeel.”

Laki-laki itu hanya tersenyum mendengar isi curahan hati Renee. Ini baru pertama kalinya ia merasa tidak canggung dengan seorang perempuan selain Regita dan anggota keluarganya. Padahal, mereka baru saja kenalan kemarin.

“Kalo lu mau, lu ke sini aja setiap Bagas ganggu lu.”

Renee terdiam seketika, lalu menatap Reyvan heran. “Kenapa harus di sini? Lo—”

“Nggak usah geer ya. Keseringan ditembak cowok jadinya dikit-dikit dibaikin lu langsung ngiranya naksir nih,” canda Reyvan, yang kemudian dibalas dengan tawa oleh Renee.

“Tau dari mana lu gue banyak ditembak atau enggaknya?”

“Lah, lu lupa?” Reyvan menggantikan posisi untuk menghadap ke arah Renee. “Waktu ada bazaar di sekolah, yang gue tumpahin Pop Ice, itu lu habis ditembak kan?”

Renee bisa merasakan wajahnya memerah. “Itu bukan ditembak, tau. Dia cuman minta nomer handphone.”

“Dan pasti lo tolak.”

“Bener,” balasnya sambil mengacungkan ibu jari. “Tapi, kalo lu bawa-bawa ini karena mau nomor handphone gue, lu tau kan lu bisa minta langsung aja?”

Mendengar ucapan Renee, Reyvan mencemooh. “Sebenarnya gue nggak kepikiran sih, tapi oke. Gue boleh minta nomer lu nggak?” tanya laki-laki itu, mengeluarkan handphonenya dari saku celana.

Tapi, jauh dari dugaannya, Renee justru menggelengkan kepalanya. “Cari aja di grup angkatan,” ejek perempuan itu. “Kalo lu nemu, besok gue bawain sushi ke sini.”

“Lo nantangin gue?”

“Iya dong.”

Laki-laki itu terkekeh. “Oke, kalo gue nemu nomor lu sebelum pulsek, sushinya double. Gimana?”

“Deal.”