23.
Maybe he took more than a sip.
Maybe he took the whole thing.
But it tasted better than he imagined, it’s not as bad as how his sister would say.
Aubrey sekarang lagi duduk di belakang meja dapur, wajahnya sembunyi di antara lututnya dengan air mata yang menetes.
He didn’t mean to actually drink. Tapi karena sebelum ke dapur dia lihat Freya pelukan sama Bastian, kayak ada peluru yang tembus ke dalam dadanya.
It hurts, seeing the person you like hugging someone else. It hurts even more when you thought you both had something. He genuinely thought Freya was happy with him, she made it seem like she was.
Was she happy with me? Dia pernah punya perasaan ke gue nggak? kedua pertanyaan itu selalu berputar di pikiran Aubrey.
Dia bilang dia baik-baik aja, dia pikir dia baik-baik aja setelah keluarin unek-unek yang selama ini dia tahan ke Freya. Tapi ternyata moving on itu nggak segampang yang orang-orang kira, nggak segampang yang dia kira.
It takes time, we shouldn’t be forced to move on so quickly. Itu yang Biya selalu katakan kepada Aubrey dan Arkansa.
Aubrey menghela napas panjang, “Semua ini cuma karena cewek? Lo payah Brey.” Gumamnya kemudian meneguk segelas bir lagi.
“There you are,” Orlen tiba-tiba muncul dari samping Aubrey. “Lo mabuk beneran Brey? Jesus christ, can’t you wait at least 30 minutes?”
Cowok itu terkekeh, “Sorry, nggak sengaja. My mistake.”
Orlen menggelengkan kepalanya, “Ya udah get up, gue anter lo ke kamar gue aja. Just sleep in there or whatever. Don’t do anything stupid.” He said and put Aubrey’s hands around his shoulder, “And don’t drunk text or call Freya, you’ll regret it.”
“Funny because I almost did.”
Orlen langsung buru-buru ambil handphone Aubrey, kemudian memblokir Freya dari semua social media yang Aubrey punya. “Gue block, kalo lu unblock gue nggak akan bolehin lo ke rumah gue lagi.”
Aubrey hanya tertawa melihat tingkah temannya yang khawatir itu, “Iya iya.”
“Siapa?”
Orlen membuka pintu kamarnya, ada seorang perempuan yang duduk di samping pintunya. “Oh elu?” Ucapnya.
“Kei, temen gue ada yang mabuk. Kalo gue titipin ke sini nggak apa-apa ya?” Lelaki itu membantu Aubrey tiduran di atas kasurnya, “Nggak bakal macem-macem kok.”
Perempuan itu membulatkan matanya, “Gila ya lo?! Lo ninggalin cowok yang gue nggak kenal, yang mabuk, sama gue? Di kamar? Yang bisa aja tiba-tiba pintunya ketutup?”
“Buka aja pintunya, Kei.” Orlen mengetuk-ngetuk pintunya, “I’ll come back here to check on you two, gue ke bawah dulu. Masih banyak guest yang baru dateng.”
“Are you seriously leaving me with a…with a drunk stranger?”
“He’s just going to sleep. He’s wasted, dia nggak akan bisa apa-apa.” Orlen meyakinkan perempuan itu sekali lagi, “Call me if anything happens, or just…scream. You’re really good at that.”
“Sounds wrong but sure.”
Orlen tertawa, “Maksud gue nggak gitu anjing. Udah ya? Gue tinggalin dulu, awasin dia jangan sampe dia buka hpnya atau nelpon-nelpon orang. Paksain tidur. Cekek kalo bisa.”
“Lo nyuruh gue bunuh dia?”
“Kalo dia macem-macem mah, bunuh aja.”
“Gue denger!” Aubrey yang setengah sadar itu berseru.