36.

Aqila's Apartment, 18 April 2020 Hayes' Point Of View

The moment Qila and I arrived at her apartment, dia langsung selonjoran di sofa sambil menghela napas panjang. Gue geleng-geleng lihat kelakuan dia, lalu berjalan ke dapur buat mindahin makanan yang kita beli tadi ke piring.

“Nggak usah dipindahin kali, Hay. Kita makan aja langsung,” kata Qila yang udah bangkit dari sofa, berdiri di samping gue untuk mengambil kentang goreng yang belum gue pindahin ke piringnya.

“Nggak boleh,” jawab gue. Gue rebut kembali kentang gorengnya, lalu memindahkannya ke dalam piring. “Makannya harus di piring bersih, nih makan.”

Qila mencibir di belakang gue, baru duduk di sofa sambil menyantap kentang gorengnya.

Tadi di mobil Qila cerita ke gue tentang Jaden dan apa yang mereka rencanakan tadi siang sebelum ke pengadilan. Sayangnya, rencana mereka gagal karena Jaden yang tiba-tiba katanya ada 'urusan'. Kocak. Urusan apa sih, sampe nganterin Qila atau mesenin ojol buat dia aja nggak sempet?

Jaden dan Qila selalu kayak gini. Semuanya berawal dari bulan Januari tanggal 26 tahun 2022, Jaden kenalan sama Qila lewat gue waktu kita nggak sengaja ketemu di acara ulang tahunnya temen kita, Noah.

Sejak hari itu, Qila mulai ceritain ke gue tentang Jaden dan betapa serunya cowok itu. Mereka mulai deket, dan Qila jadi sering main sama Jaden dibandingkan sama gue. Tapi sejak Maret akhir, Qila udah nggak banyak cerita-cerita tentang Jaden.

At that point, gue kira mereka udah pacaran. Tapi waktu gue tanyain, dia bilang:

Kayaknya nggak mungkin pacaran deh, Hay. Prioritasnya kak Jaden tuh kuliah, dirinya sendiri, kak Jeya, baru yang lain.

Konyol. Kalo dia udah punya cewek lain yang mengambil separuh waktunya, kenapa dia masih berlagak kayak punya hubungan spesial sama Qila?

“Ngapain bengong di situ? Sini Hay,” panggil Qila. Gue langsung disadarkan dari lamunan gue, lalu duduk di samping cewek itu.

Dari ujung mata, gue bisa lihat Qila yang lagi baca chatroom dia dan Jaden. Gue ngelirik ke wajah cewek itu, dan yang bener aja, ekspresi dia benar-benar nunjukkin kalo dia sedih.

“Can't you just leave him?” tanya gue. “All he does is dissapoint you, lu kenapa nggak ngomong sama dia kalo lu kecewa, Qil? Stop diem-diem kayak gini. Gue yang greget tau nggak?”

Qila ketawa, lalu menyenderkan kepalanya di bahu gue. Persis kayak waktu new years. Rasa kagetnya, deg-degannya, juga sama kayak waktu itu.

“Karena gue bukan siapa-siapanya dia, Hay. Buat apa gue kecewa? Kita kan nggak pacaran. Terus, balik lagi sama yang gue bilang tadi, ninggalin kak Jaden itu susah. Rasanya kayak dia tau apa yang gue butuh dan dia punya itu, cara dia nunjukkin dia peduli sama gue itu nggak asing banget, Hay. He feels so familiar but so distant at the same time, and it's so frustrating but I can't let go.”

“Kalian baru kenal bulan Januari, Qil. It's not the end of the world if he stopped asking how your day was.”

“Or...” gue melirik ke arah Qila ragu-ragu, “...is he your world?”

Qila langsung ngangkat kepalanya lalu memukul bahu gue. “Ya enggak lah! Ya kali gue prioritasin dia segitunya, ngapain gue prioritasin orang yang cuman dateng ke gue kalau gabut.”

Rasanya lega knowing that Jaden isn't her priority. Tapi at the same time, gue juga takut karena gue lega. Karena kalo gue lega, itu artinya gue punya rasa sama-

“Hay,” panggil Qila, menarik-narik lengan baju gue biar nengok ke dia. “Piringnya taro di meja dulu, deh.”

Gue bingung, tapi gue tetep lakuin permintaan dia. “Buat apaan?” tanya gue. Qila hanya tersenyum lalu tiduran, kepalanya di pangkuan gue, dengan wajahnya menghadap ke gue.

“I don't think kak Jaden thinks of me as a love interest anymore,” dia lanjut bercerita tentang Jaden. Kali ini, dia memainkan ujung rambut gue yang panjang. Gue nunduk, ngelihatin dia yang sibuk mainin rambut gue. “I still get butterflies from him, tapi kayaknya dia udah nggak anggep gue menarik lagi. I can tell. Tapi ya udah lah, temenan aja cukup buat gue. Perasaan ini bakal ilang juga, gue yakin lama-lama gue bakal bosen sendiri.”

“Kalo gue?”

Qila stopped playing with my hair. She looked at me straight in the eyes with a questionable look, and an eyebrow raised. “Maksudnya?”

“Kalo gue, lu bakal bosen nggak?” Ini pertanyaan yang memalukan menurut gue, tapi gue berusaha kelihatan kayak lagi bercanda dengan menertawakannya. “Bercan-”

“Kita udah 9 tahun bareng, dan tahun ini kita bakal menuju tahun ke 10,” ujarnya. “Ya gue bosen lah sama lu! Tiap hari gue lihat lu, mukanya nggak ada yang berubah. Dari SD sampe sekarang sama aja. Palingan yang beda warna rambut lu, tuh rambut lu udah mati kayaknya kebanyakan lu cat.”

Jari gue mendarat di jidat Qila, menyentil jidat cewek itu sampai dia mendesis kesakitan. “Lu juga nggak ada bedanya dari dulu, kepalanya masih keras kayak batu. Cocok ama lu, keras kepala, nggak bisa dibilangin.”

“Hehehe, you know me.”

“Haha hehe haha hehe, ketawa lu.” Gue cubit hidungnya, sampai Qila memukul-mukul lengan gue buat ngelepasin hidung dia.