50.
Sore itu, gue memutuskan untuk pergi keliling komplek gue. Agak boros bensin sih, naik mobil keliling komplek gini.
Oh iya, I don’t have a motorcycle.
Bokap gue anti banget sama motor, ya mungkin karena itu gue juga jadi kurang suka naik motor.
Setelah keliling entah berapa kali, gue akhirnya parkir deket ruko yang biasanya gue kunjungin.
Di hari sabtu gini, ruko biasanya rame sama pasangan-pasangan lagi ngedate. Liatnya tuh bikin pengen ratain seluruh Indonesia tau nggak? Iri banget anjing.
Iya iya, gue juga pernah jadi salah satu orang yang pacaran di ruko ini. Tapi itu kayak, hampir sebulan atau dua bulan yang lalu.
AH gue ngapain jadi ngomongin ginian. Padahal, tujuan utama gue juga buat kosongin pikiran. Eh, tapi kalo pikiran gue kosong nanti gue nggak bisa jalan dong ya? Kan, kalo mau jalan lu harus mikir dulu.
Maap, lupain aja. Gue suka nggak ngerti juga gue ngomong apaan.
Nggak jauh dari mata gue, ada sosok gadis familiar yang lagi duduk di salah satu bangku deket abang-abang yang jualan soto.
Gue melangkah mendekati gadis itu, “Mbak, nggak apa-apa?”
Dia buru-buru melepaskan sepatunya lalu mengayun-ayunkan tangannya sebagai gestur kalo dia nggak apa-apa. “Eh, iya nggak apa-apa mas. Saya baik-baik aja,” ucapnya dengan tawa canggung.
Eh, suaranya familiar juga.
Gue mengerutkan dahi, wajah cewek ini nggak kelihatan gara-gara lagi nunduk. “Beneran mbak?”
“Beneran mas– loh, Aubrey?”
Wah!
Kayak ada yang rasukin gue, tiba-tiba kedua ujung bibir gue langsung naik. “Nakei? Gue nggak nyangka kita bakal ketemuan di sini,” kata gue kemudian duduk di sebelahnya.
Nakei menampakkan senyuman manisnya. “Gue habis ketemuan sama kenalan gue di cafe situ,” Nakei menunjuk ke arah cafe di sebrang kita. “Terus gue kesel sama dia, ya udah kan gue cabut duluan deh. Ehh kaki gue malah makin sakit, salah gue juga sih make sepatu ini.”
Mata gue otomatis tertuju ke kaki Nakei yang memerah, “Tunggu di sini.”
Belum sempet Nakei jawab, tapi gue udah lari ke indomaret duluan.
I’ve dealt with this before, or at least I’ve witnessed it. Dulu Freya kalo pake flat shoes yang kayak gitu, kakinya suka sakit sampe luka. Kayaknya sih, ini terjadi sekitar tiga kali. Setelah itu, dia nggak pernah make flat shoes lagi (kecuali ada acara penting).
Loh, kok jadi ngomongin Freya sih. Udah cukup Aubrey, lu kan mau move on, gimana sih?
“Nakei!” seru gue yang baru aja balik dari indomaret dengan handsaplast di tangan gue. “Nih, gue ada handsaplast.”
Nakei yang dari tadi bengong nungguin gue, matanya membulat saat melihat satu kotak handsaplast edisi frozen di tangan gue.
“Waaah, makasih ya Bre–”
“Eh,” sela gue sambil menahan tangan Nakei, “lu pake rok, gue aja yang pakein. Nggak mungkin kan, lu ngangkang-ngangkang pake rok gitu?”
Nakei tertawa, “Kan gue bisa nungging ajaaaa.”
“Ah, udah gue aja,” tegas gue kemudian jongkok biar se-level sama kakinya Nakei. “Gue pilihin handsaplastnya, nggak terima komplain.”
Gue membuka kotak handsaplast itu kemudian memasukkan tangan gue sambil tutup mata. Ceritanya, gue kayak lagi ambil undian.
Setelah menggerak-gerakan tangan gue asal-asalan, gue akhirnya mengeluarkan tangan gue dan …tada!
“Sven?” celetuk Nakei, matanya menyipit karena tertawa kecil. Seriously, cewek ini selalu ketawa atau nggak senyum. Padahal kalo lu sekilas liat dia, pasti lu ngira dia ini jutek-jutek sinis. “Kok nggak Anna aja sih? Gue sukanya Anna,” dia cemberut.
“Nggak nerima komplain wle,” ejek gue lalu membuka handsaplastnya, menempelkannya di kaki Nakei yang lecet itu.
Gue menghela napas kemudian kembali duduk di samping Nakei. Ini adalah pertemuan kita yang ketiga di bulan ini, ternyata kita lebih sering bertemu dari yang gue kira.
“Lo tinggal deket sini?” tanya gue untuk memulai percakapan, Nakei balas gue dengan senandung. “Oh ya? Gue juga deket sini tinggalnya. Wow, dunia ini sempit juga.”
“Iya ya, gue nggak nyangka kita bakal ketemuan lagi,” kata Nakei. Tiba-tiba dia berdiri dari duduknya dan mengenakan tasnya, “Gue mau balik duluan ya Brey. Makasih handsaplastnya.”
Now, now, gue nggak mungkin biarin dia pulang sendirian kan? Apa lagi, kakinya yang luka gitu.
“I’ll give you a ride,” tawar gue lalu ikut berdiri di samping Nakei. Gue baru sadar, kalo berdiri deket dia gini, tinggi kita nggak beda-beda banget. She’s really tall.
“Oh, boleh?” matanya berbinar, “kalo gitu, gue mau nebeng ya!”