51. Malam Minggu
Malam itu, Aubrey mendengarkan lagu-lagu Valley bersama Nakei sembari mengantar gadis itu pulang.
Rumahnya nggak terlalu jauh, tapi cukup jauh untuk mereka mendengarkan sekitar 10 lagu.
“Itu tuh, yang pagarnya warna item,” Nakei menunjuk ke arah rumahnya yang sudah dekat. Aubrey kemudian berhenti di depan rumah gadis itu. “Thanks for the ride Brey,” ucapnya kemudian menutup pintu mobil.
Tepat sebelum Aubrey menancap gas, ia melihat dompet Nakei yang tertinggal di kursi penumpang. “Nyaris aja ketinggalan,” gumam lelaki itu lalu keluar dari mobilnya untuk mengembalikan dompet Nakei.
“Kei, dompet lo–”
“Kamu mau ke mana?” suara bapak-bapak itu menghentikan langkah Aubrey. Ia menebak bahwa itu adalah suara ayahnya Nakei, jadi ia memutuskan untuk menunggu beliau pergi sebelum mengembalikan dompetnya.
“Pergi sama temen,” balas Nakei dingin. “Aku pergi dulu ya, dah.”
Aubrey, yang tadi nggak sengaja nguping sekilas dari pembicaraan mereka, kaget waktu melihat Nakei sudah berdiri di sampingnya. Dari tatapan gadis itu, ia paham bahwa Nakei ingin membawanya pergi dari tempat ini.
Keduanya kembali masuk ke dalam mobil Aubrey. Lelaki itu mengintip dari jendela mobilnya sebelum menancap gas untuk pergi dari rumah itu.
Hening. Tidak ada sepatah kata yang keluar dari kedua orang yang menguasai mobil itu. Aubrey ingin bertanya, tapi ia takut akan merusak mood gadis itu makanya dia diam saja. Sedangkan Nakei, ia terlalu malu karena Aubrey tadi menyaksikan percakapan canggungnya dengan sang ayah.
“Lo nggak mau nanya, gitu?” Nakei akhirnya mulai bersuara, tapi tatapannya masih tertuju ke jarinya yang dari tadi ia mainkan.
Tatapan Aubrey fokus ke jalan di depannya, “Kalo lu mau cerita, I’m all ears.”
Ada sebuah senyuman tipis di wajah Nakei setelah mendengar kalimat itu dari Aubrey, ia lega Aubrey tidak memaksakan atau membuat ini menjadi canggung.
“Barusan tadi itu ayah gue,” ia mulai bercerita. “Beliau adalah orang yang paling deket sama gue dulu, bisa dibilang gue dulu ini daddy’s girl gitu deh. Hahaha.”
“Tapi, sekitar dua tahun yang lalu, orang tua gue cerai.” Aubrey mulai penasaran sekaligus tegang, ia jarang menjadi tempat orang bercerita karena sifatnya yang cerewet. Jadi, dia sedang berusaha keras untuk diam dan mendengarkan cerita Nakei tanpa menyela.
“Mereka sering berantem gitu deh. Biasa lah, nggak cocok palingan mereka hahaha. Eh, lu mau ke Dominos nggak? Gue laper.”
Aubrey paham kalo Nakei tak ingin menceritakan secara detail, jadi ia hanya mengangguk-ngangguk. “Sure, lu mau ngajak gue ke Ancol buat gue cemplungin lu juga boleh. Terserah lu mau ngapain Kei, kita malming bareng.”
Nakei tertawa mendengar respon Aubrey, “Out of all people, gue nggak nyangka gue bakal malmingan sama lo. Orang yang baru gue kenal beberapa minggu yang lalu.”
Lelaki itu menaikkan alisnya, “Jodoh kali kita, Kei.”
“Dih, pengen banget lo?”
“Pengen dong kalo sama anak Astra. Biar kayak mantan gue.”
“Masih aja bahas mantan lu,” Nakei menggeleng-gelengkan kepalanya. “Move on Breeeeey, gimana sih.”
Aubrey terkekeh, “Gue move on sama lu aja gimana?”
“Jangan bikin gue ill feel sama lu.”
“Oke oke, maaf.”