52.
Habis dari sekolah, gue sama Fayre memutsukan buat makan di Burger King. Sekitar jam 6 kita udah duduk sambil makan pesanan kita, we talked, but not as much as I wanted. Mungkin karena gue emang nggak begitu jago nyari topik pembicaraan, that’s one of the reasons why I can’t get a girlfriend.
“It’s getting late, mau balik nggak?” Fayre suggested. But when I opened my mouth to respond, it suddenly started raining.
“Lah…”
Kita nengok ke arah jendela, makin lama hujannya jadi makin deras. Duh, gimana ya? Gue juga pengen pulang karena udah mau malem, tapi hujan gini masa kita—
“Terobos yok?” Ucap perempuan itu, matanya membulat kayak excited gitu.
“Lo suka main hujan?” Gue tanya.
Dia mengangguk, senyumnya makin lebar. “Dari kecil gue suka banget main hujan, abang gue badannya lebih lemah daripada gue jadi gue selalu main sendiri.”
“But this time, gue mau main hujan sama lo. Mau nggak, Loy?”
That’s unfair, gimana coba caranya gue nolak dia kalo dia masang muka kayak gitu?
“Ya udah, ayo.”
I know I said yes, tapi gue masih nggak percaya sekarang gue lagi hujan-hujanan sama Fayre, naik motor gue, sambil ketawa-ketawa nggak jelas.
It feels surreal, how her arms are wrapped around my shoulders. Iya, bahu, bukan pinggang. Kalo dia meluk gue, kayaknya gue bisa mencong-mencong nanti.
This reminds me of that one scene in Dilan. Eh atau Milea ya? Gue lupa yang mana, pokoknya salah satu dari kedua film itu.
“This reminds me of that scene di film Dilan sama Milea.” Fayre tiba-tiba bicara. Gila nih cewek, dia bisa baca pikiran gue apa gimana? Waktu itu peramal, sekarang mind reader nih?
“Really? Gue tadi juga mikir gitu.”
Jangan-jangan kita jo-
“Jangan-jangan kita jodoh, Loy?” Canda perempuan itu, tawa kecilnya terdengar jelas di kuping gue.
Hold on, dia beneran bukan mind reader kan?
“Nggak jelas.” That was all I could say, gue terlalu malu untuk jawab dia. Call me a simp, call me a loser, but I’m weak when it comes to things like this.
Fayre masih ketawa, kali ini sambil menepuk bahu gue. “Salting bilang aja sih.”
Gue nggak jawab, nggak bisa jawab juga. Gue beneran nggak kuat buat jawab. I can feel my cheeks heating up, gue nggak tau kenapa bisa, tapi gue yakin gue gini karena Fayre.
Nggak lama kemudian juga, Kita masuk ke perumahan Fayre. “Itu tuh yang pagarnya warna putih,” dia menunjuk ke arah rumahnya.
Hujan mulai reda pas kita udah berhenti di depan rumah Fayre. Gue turun duluan terus bantuin dia turun, soalnya dia pake rok.
“Thanks,” ucapnya sambil menepuk pundak gue pelan, “I had fun today.”
Gue cuma bisa senyum. Baju gue basah tapi rambut gue masih lumayan kering karena ketutup helm, sedangkan Fayre tadi make hoodie gue. We’re both soaked wet but somehow she still looks gorgeous in my eyes, I wonder why.
“Mau masuk nggak?” Tanya perempuan itu, “Minum teh dulu gitu, nanti lo masuk angin loh.”
ANJINGGGGGGG
Ya kali gue masuk rumahnya jam segini? It’s like, nearly 8 PM and we’re both wet from the rain. Nanti kalo gue ketemu sama orang tua dia bilang apa? Gue belom siap ketemu mereka. Kalo gue nggak sengaja manggil mereka calon mantu gimana? Nggak bercanda, nggak mungkin gue ngomong gitu.
“Nggak dulu deh, Fay. My mom is probably waiting for me right now, gue balik duluan ya.”
Gue nggak mau geer sumpah, tapi tadi Fayre mukanya kayak kecewa dikit kayak dikiiiiittt banget. Jahat nggak ya kalo gue seneng?
In the end, she smiled at me. “Bener juga, ya udah hati-hati baliknya.” Dia lepasin hoodie yang dia pake terus dia kasih ke gue– wait no, she’s making me wear the hoodie?
“Pake nih hoodie lo,” she covered my face with the hood and pulled the strings, tightening it. “Lucu ih.”
Gue malu.
“Kalo gini gue nanti nggak bisa liat jalan bodoh.”
Seolah-olah baru sadar, Fayre langsung lepasin genggamannya dari tali hoodie gue. I guess she was expecting me to push my hood back, tapi gue yakin banget pipi gue lagi merah sekarang, jadi gue diemin aja.
“Lo nggak lagi salting kan?”
“Nggak.”
“Bohong,” dia menunjuk-nunjuk muka gue. “You’re definitely blushing.”
“Nggak sama sekali.”
Setelah itu, Fayre jailin gue sampe gue akhirnya pulang.