57.

Some Café, 29 April 2022

Senyuman Hayes melebar begitu melihat sosok Aqila yang memasuki ruangan. Gadis itu terlihat tidak bereffort karena ia hanya mengenakan kaos polos dan celana jogger. Tapi, di mata Hayes, penampilan Aqila yang seperti itu sudah biasa.

“Hai,” sapa Aqila yang langsung berjalan menuju counter. “Mau pesen apa mbak?” tanya Hayes dengan nada sok proffesionalnya. Aqila terkekeh sebelum memesan dan kemudian duduk di kursi yang gak terlalu jauh dari counter. Posisi yang pas untuk Hayes yang akhir-akhir ini suka melirik Aqila setiap 15 menit.

Qila hay hay jaden mau ke sini juga ya nemenin gue nugas WKWKWKWK

Hayes mengerutkan dahinya. Ketika ia mengangkat wajahnya untuk menyapa pelanggan yang baru masuk, kedua ujung bibirnya turun ketika ia menyadari bahwa pelanggan yang masuk adalah Jaden.

Hayes berniat memaksakan senyumannya, tapi Jaden bahkan tidak berpikir untuk berjalan menuju counter untuk menyapa Hayes, ia malah langsung duduk berhadapan dengan Aqila dan mengeluarkan laptopnya.

“Waduh, pawangnya dateng nih,” ejek Fathan yang sedang berdiri di belakang Hayes. “Udah seneng mau ke sini, ehh si doi malah bawa cowok lain. Huhuhu, sedih banget ya, Hay?”

“Berisik lu.” Hayes menyikut perut sahabatnya itu sampai ia meringis kesakitan. ‘Pawang pawang, pacaran aja kagak’ batin laki-laki itu kemudian menatap punggung Jaden dengan kesal.

Tiba-tiba, sebuah pukulan mendarat di belakang kepala Hayes. “Ngelihatin customer gak boleh kayak gitu,” omel Adora, salah satu part-time worker di Some Café. Hayes meraba kepalanya yang baru saja dipukul oleh perempuan itu.

“Biarin aja, Ra. Itu orang soalnya rivalnya si Ha–”

“EHEM! Mending lu balik kerja aja deh, Fath. Daripada lu ngomong-ngomong gak jelas. Iya gak, Ra?”

Adora menatap kedua laki-laki di depannya dengan penasaran. “Rivalnya Hayes? Yakin lo?” ia melihat ke Jaden sebelum kembali melihat Hayes, memperhatikan laki-laki itu dari atas sampai bawah lalu kembali ke atas lagi. “Kayaknya kalian ada di level yang berbeda deh. Masa iya cowok ganteng gitu rivalnya elu?”

“Anjing lu Ra,” balas Hayes. “Gua juga ganteng kali. Nih lihat nih, muka kayak gini tuh ratingnya 10 out of 10!”

“Kalo lu ratingnya 10 out of 10, dia ratingnya 11 out of 10.”

“Beda satu poin doang.” Cowok itu mencibir, “lagian gak jelas 11 out of 10. Kagak ada 11 out of 10.”

Adora tidak menghiraukan Hayes dan kembali ke posisi semulanya, diikuti oleh Fathan yang masih mengejek-ejek Hayes sambil berjalan mundur, berusaha untuk menghindar dari pukulan-pukulan Hayes.


Dua jam berlalu, Aqila dan Jaden masih di tempat yang sama. Mereka yang tadinya sibuk mengerjakan tugas masing-masing, sekarang sedang berbincang dan tertawa seolah-olah dunia ini hanya milik mereka berdua.

Masalahnya, yang tinggal di bumi bukan cuman mereka. Di posisi yang sama dengan 2 jam yang lalu, ada Hayes yang memperhatikan mereka dari kejauhan. Laki-laki itu bohong jika ia bilang ia tidak iri dengan Jaden. Melihat Aqila yang begitu bahagia saat menghabiskan waktu dengan laki-laki itu, membuatnya kesal dan kehilangan mood untuk bekerja.

“Woi!” panggil Adora sambil menyenggol bahu Hayes. “Shift lo udah kelar, Brian udah dateng. Sana ikut ngobrol sama temen-temen lo,” katanya, menunjuk Aqila dan Jaden dengan dagunya.

Hayes memutarkan bola matanya malas. ‘Yang satu temen gua, satunya lagi bukan.

“Gak usah, gue balik aja.” Laki-laki itu berjalan ke ruang staff untuk mengambil barang-barangnya. Ia sudah malas main kalau ada Jaden. Entah kenapa, ia juga bingung kenapa moodnya langsung hancur begitu melihat Jaden. Padahal, biasanya dia gak bakal sekesal ini. Dari dulu dia emang gak sreg sama Jaden, tapi kali ini melihat laki-laki itu saja sudah membuatnya malas.

Hayes tidak menyadari Adora mengikutinya. Saat ia memutarkan badannya untuk keluar, ia melangkah mundur, kaget karena Adora yang berdiri begitu dekat di belakangnya. “ANJING! Ra, jangan bikin kaget napa,” protesnya sambil mengusap-usap dada.

“Lebay deh.” Adora mengambil dompetnya, kemudian mengeluarkan selembar uang dua puluh ribu. “Nih.” Ia menarik tangan Hayes lalu meletakkan uang itu di atas telapak tangannya. “Gue kasih lo dua puluh ribu buat anterin gue pulang. Lo gak jadi main sama temen-temen lo kan? Jadi, gue mau minta tolong anterin gue pulang.”

Dahi Hayes mengerut, ia menatap uangnya kemudian menatap Adora lagi. “Sekarang?”

“Iya, sekarang. Tadinya mau minta Fathan aja, tapi dia udah pergi duluan.”

Semakin lama Hayes menatap perempuan itu, semakin canggung rasanya untuk dia. Adora mulai mengalihkan pandangannya, kedua pipinya mulai merah merona karena malu. “Ya udah kalo gak mau juga gapapa, gue juga biar sekalian bantu lo nyari alesan kalo ditanyain sama temen-temen lo nanti.”

Oh, bener juga

“Ya udah.” Hayes menyelipkan uang dua puluh ribu itu ke dalam kantong celananya. “Cabut sekarang aja, ntar kalo ditanya, gue bilang gue mau nganterin lo pulang.”


“Eh, mau balik?” tanya Aqila saat melihat Hayes berdiri di depan pintu café. Laki-laki itu melirik Jaden sekilas sebelum tersenyum kecil kepada Aqila. “Iya, gua mau nganterin Adora pulang juga. Lu balik sama bang Jaden aja, sekalian main-main.”

Aqila menengok ke Adora, kedua matanya membulat. Senyuman perempuan itu melebar dengan asumsi bahwa ada sesuatu di antara Adora dan Hayes. “Oh ya? Ya udah sana, balik aja duluan. Nanti kalau udah sampe, kabarin gue aja ya.”

Tidak tau apa yang ia harapkan, tapi Hayes merasa sedikit kecewa Aqila tidak menahannya. Ketika matanya tidak sengaja bertemu dengan Jaden, laki-laki itu memberikan anggukan tanpa tersenyum atau apa-apa. Hayes had to hold back the urge to roll his eyes.

“Ya, duluan,” pamit Hayes jutek. Namun, di antara tiga orang itu, hanya Adora yang sadar bahwa mood Hayes tidak baik. Aqila dan Jaden justru tidak memikirkannya dan malah melanjutkan pembicaraan mereka.