62.
“Kenapa lo selalu ikut campur hubungan gue sama dia sih?” tanya Gerald dengan nada kesal.
Hanya ada Gerald dan Jora di kelas saat itu. Di saat yang lain pergi untuk pulang, mereka berdua malah berdebat di kelas. Lebih tepatnya, Jora yang sedang berusaha untuk membantu Gerald dan Hiromi baikan dan Gerald yang keras kepala, tidak ingin mengalah.
Jora menghela napas panjang. “Gue nggak bermaksud ikut campur, Ger. Tapi masalahnya lo sama Hiromi ini melibatkan gue, paham nggak? Kalian berantem, ya udah, tapi lo berdua tuh…lo berdua tuh bikin gue repot juga.”
“Repot apaan?” Gerald terkekeh. “Emangnya lo ngapain? Hubungan ini, kan, punya gue sama Hiromi. Lu aja kali, yang ngerasa harus ikut campur semua masalah kita.”
“Maksud lo?”
“I mean, think about it, Jo.” Laki-laki itu berjalan ke Jora dengan wajah menyebalkannya. “Kalo kita ada berantem, you always feel like you have the need to include yourself. Kayak, lo tuh, selalu melibatkan diri lo. Nggak ada yang ngajak lo. Lo aja, yang pengen ikut campur. Bener kan?”
Jora menatap temannya itu dengan tatapan tidak percaya. Ia merasa tersinggung, dan marah karena tidak terima disalahkan padahal ia hanya ingin kedua temannya baikan. “Oh, okay, I get it. Jadi gue ikut campur, gue yang nyebelin, gue yang nggak tau posisi gue. Yang berantem lo sama Hiromi, dan gue salah karena mau kalian baikan, gitu? Gue salah karena gue nggak mau ngerasa canggung, iya?”
Perempuan itu mengambil buku dari meja, lalu melempar bukunya sehingga mendarat di wajah Gerald, membuat laki-laki itu meringis kesakitan. “ANJING! What the hell was that for?”
“For being fucking selfish.” Jora mengambil bukunya kembali dengan kesal. “Do you even realize, the fight you have going on with Hiromi is bothering me, too? Lo bilang gue yang ikut campur, padahal lo sama dia yang libatin gue. I don’t care, kalo kalian berantem sampe jambak-jambakan. Tapi kalo kalian berantem sampe bikin orang-orang di sekitar kalian — termasuk gue — ngerasa nggak enak, ya gue nggak bisa biarin aja lah!”
Gerald terdiam, masih mengelus wajahnya yang sakit karena buku yang dilempar oleh perempuan itu. “Gue lama-lama juga capek, tau nggak? Harus keep up with kalian, harus sabar sama kalian, harus jadi perantara kalian. This is my last straw, Gerald. If you two don’t talk things out, gue nggak mau ngobrol sama kalian lagi.”
Tidak ada balasan dari laki-laki itu. Jora menghela napas kecewa, lalu ia pergi keluar kelas, meninggalkan Gerald sendirian.
Jarang-jarangnya Jora marah seperti tadi. Ia dikenal sebagai orang yang paling kalem di antara mereka bertiga. Biasanya, pertengkaran Hiromi dan Gerald akan berakhir dalam dua hari. Tapi, kali ini, sudah dua minggu berlalu dan mereka masih berantem.
Jora lelah. Ia lelah karena Gerald dan Hiromi terus-terusan rebutin dia. Dan jika Jora mengikuti salah satunya, yang satu lagi akan marah dan menyuekinya. Ia membenci hal itu, karena rasanya ia yang salah, padahal yang berantem mereka berdua.
Jora bisa melihat sosok familiar dari kejauhan menghampiri dia. Ia menghela napas panjang, lelah hanya dengan melihat orang itu. Karena orang itu adalah orang yang paling bawel yang ia kenal. Jora sedang tidak mau diajak berbicara, ia sedang ingin sendiri. Tapi, tentu saja, orang itu tidak tau. Karena ia berjalan ke arah Jora dengan senyumannya yang sangat lebar, menandakan bahwa orang itu akan mengoceh tanpa henti untuk kesekian kalinya.
“Hai,” sapa Asa. “Mukanya kusut amat, neng. Napa? Habis ulangan ya? Tadi gua habis ulangan geografi sih. Gilaaa dah gila, susah banget. Mana pak Hanan itu nyeremin banget ya, ngawasin kita ulangan kayak ngawasin apa aja. Oh iya, lu baru mau balik? Gue juga, tadi habis kerkel, ujung-ujungnya juga cuma Julian yang kerjain sih soalnya gue bingung mau ngapain. Atau enggak, dia rasa kalo gue bantu malah bakal gagal. Tapi emangnya gue kelihatan se-unreliable itu apa?”
“Berisik,” gumam Jora. Laki-laki itu mengangkat alisnya, lalu mendekatkan telinganya ke Jora. “Apa? Nggak kedengeran, Kejora. Soalnya Kejora lebih pendek daripada gue. HAHAHAHA BERCANDA BERCANDA, serius ngomong apaan tadi?”
Perempuan itu menghela napas kasar, lalu mendecak begitu ia berhasil menjauhkan dirinya dari Asa. “Gue bilang lu berisik, tau nggak? Lo tuh, emang nggak bisa baca situasi ya? Lo nggak liat, kalo gue nggak mau diajak ngobrol? Gue nggak pernah nanya juga tentang keseharian lo, gue nggak mau tau dan nggak perlu tau. Gosh, Asa, you’re so chatty for a guy. I can’t stand you.”
Asa tersentak karena Jora yang tiba-tiba mengecangkan suaranya. Jora juga shock dengan ucapannya sendiri. Ia menutup mulutnya kaget, dan hatinya menciut begitu ia melihat senyuman Asa yang memudar. “Sa, maksud gue–”
“Sorry, Kejora. Kayaknya gue yang bodoh karena nggak sadar lu lagi capek. Gue duluan ya. Sorry if I was annoying you, hehe. Nanti waktu udah sampe rumah, cepet-cepet istirahat ya, dadaaaah!” potong Asa. Ia memberikan senyuman terbaiknya ke Jora, melambaikan tangannya lalu buru-buru menuju parkiran.
Jora menenggelamkan wajah di kedua telapak tangannya. Ia merasa bersalah, tapi ia juga merasa lega setelah mengeluarkan kata-kata itu. Namun, tetap saja, ia tidak bermaksud untuk menyinggung Asa.
“Kerja bagus Jora, you let your emotions get the better of you.”