63.

Kedua ujung bibir gue terangkat begitu melihat Reyvan menutup pintu dan berjalan ke arah gue, di tangan kirinya ada kantong plastik, isinya kwetiau yang gue titipin.

“Nih uang gantinya,” kata gue lalu mengeluarkan beberapa lembar uang bernilai 10.000.

Reyvan sangat menyukai uang, jadi dia tidak pernah berkata ‘nggak usah gantiin’ karena pasti dia terima.

“Wisss, thanks,” ucapnya kemudian duduk di sebelah gue.

Ini sudah menjadi rutinitas kita berdua. Setiap bel istirahat berbunyi, gue buru-buru taro tas gue di kelas yang akan dipakai berikutnya. Sekolah kita menggunakan sistem moving class, yang artinya kita akan pindah kelas atau ruangan setiap ganti pelajaran. Walaupun agak ribet, tapi, nggak apa-apa sih, soalnya dengan itu gue bisa papasan sama temen-temen yang nggak sekelas sama gue.

Setelah taro tas, gue langsung ke loker kelas 11 MIPA 6 buat ngambil seragam cadangannya Reyvan. Anehnya, nggak ada yang curigain gue, padahal gue jelas-jelas bukan anak MIPA.

Oh iya, setelah beberapa kali gue sama Reyvan ketemuan di rooftop, dia ngasih kunci loker dia ke gue. Dia nggak pernah ninggalin bukunya di sekolah, isi lokernya cuma sampah, hoodie, dan seragam cadangannya yang dia ganti setiap hari. Makanya dia mau-mau aja ngasih kunci lokernya ke gue.

“Mau ngerokok?” tanya gue. Biasanya, alasan Reyvan ke rooftop itu buat ngerokok. Cowok itu menoleh ke gue, lalu menggelengkan kepalanya. “No,” balasnya.

Alis gue terangkat, “Kenapa?”

Reyvan nggak jawab. Lama. Dia cuma ngeliatin gue dengan ekspresi yang sulit diartikan. Gue bisa merasakan jantung gue berdegup kencang karena tatapannya. Tapi, gue nggak mau kalah juga. Jadi gue lihatin dia sama intensnya. Lama-lama ini malah jadi kayak staring contest.

Dan sesuai dugaan gue, Reyvan is the first one to break the eye contact. “Nggak apa-apa, nggak mau ngerokok aja.” Dia tiduran di lantai, kedua tangan di belakang kepalanya seolah-olah mereka adalah bantal.

“Tiduran sini, Ne. Kita main tebak-tebakan awan.”

“Apaan anjir tebak-tebakan awan? Cloudgazing?” gue terkekeh, melihat Reyvan memutarkan bola matanya kesal. “Banyak nanya ah lu, siniii,” dia menarik-narik lengan sweater gue, maksa gue buat tiduran di samping dia.

Akhirnya, gue tiduran juga. Tapi gue nggak pake apa-apa buat jadi bantal gue kayak apa yang Reyvan lakuin. Tiba-tiba Reyvan menunjuk ke langit, atau lebih tepatnya awan, sambil tertawa. “Yang itu mirip babi.”

“Mirip apanya?”

“Ya mirip,” katanya. “Coba lu lihat baik-baik. Di situ ada idungnya, terus bawahnya itu badannya. Kepalanya segede badannya, terus kupingnya mendelep.”

Gue tertawa. “Ngarang ya lu?”

“Iyain aja napa, Ne.”

Habis itu hening. Kita nggak ngomong apa-apa lagi, cuma ngeliatin langit sambil tiduran. Kadang, gue lirik-lirik ke Reyvan, memastikan cowok itu nggak ketiduran tiba-tiba. Karena keseringan main sama nih orang, gue jadi tau kalo dia tiduran dikit, there’s a 98% chance he’ll fall asleep.

Tapi di luar dugaan gue, Reyvan malah ngeliatin langitnya dengan tenang. Nggak tidur, nggak nguap, nggak ngupil, nggak gimana-gimana. Cuma diem, fokus, kayak lagi ngitung setiap awan yang lewat.

Kali ini, gue ngeliatin Reyvan beneran. Bukan lirik-lirik lagi, gue ngeliatin dia bener-bener ngeliatin tanpa buang muka. Entah kenapa, gue merasa nyaman di keheningan ini. Usually, I’m not comfortable with silence, tapi kalo sama Reyvan, mau hening mau rame, semuanya terasa nya—

Ah…!

Mata kita bertemu

Mata gue membulat dan nafas gue tertahan begitu Reyvan menoleh ke arah gue. Jarak di antara kita hanya beberapa centimeter, membuat gue merasa gugup. Jujur, dada gue rasanya kayak bom yang bentar lagi akan meledak. Dan harusnya, di situasi seperti ini, salah satu dari kita buang muka. Tapi entah kenapa, kita berdua lagi-lagi nggak mau kalah.

Reyvan juga sama kagetnya dengan gue. Pipinya merah merona, tapi dia nggak mau memalingkan pandangannya. Alhasil, kita eye contact lagi dengan jangka waktu yang cukup lama. Jauh lebih lama dari sebelumnya.

I don’t know what or who possessed me, tapi sekilas pandangan gue jatuh ke bibir cowok itu. Begitu gue sadar, gue langsung lihat matanya lagi.

Kayaknya, Reyvan sadar apa yang gue barusan lakuin. Karena waktu mata kita bertemu lagi, dia menggigit bibirnya, gugup.

“Gue—”

Ting!

Notif anjing

“S-sorry.” Reyvan langsung bangkit dari posisinya, lalu menyalakan handphonenya, membuka pesan yang masuk.

Gue berdiri, lalu cepat-cepat rapihin rambut gue yang tadinya berantakan gara-gara tiduran. “Van, gue balik duluan ya. Bye!” ucap gue buru-buru, nggak memberi cowok itu kesempatan untuk membalas.