66.

cw// mentions of divorce and cheating

Sore menjelang malam, Nakei tiba-tibe ngechat gue buat ngajak ketemuan, atau lebih tepatnya, minta dijemput.

I don’t know why, I forgot to ask her why, tapi gue langsung masuk mobil gue, nancap gas, dan pergi ke lokasi yang dikirim perempuan itu.

Beruntungnya, jalanan hari ini nggak terlalu macet, jadi perkiraannya 5 menit lagi gue sampai di tujuan.

Dan gue benar, dalam sekejap, gue udah di depan lokasi yang Nakei kirim. Gue tunggu di parkiran, nunggu Nakei keluar dari restoran tersebut. While waiting, gue ngechat Nakei kalo gue udah sampai, sekaligus nanya kenapa dia tiba-tiba minta dijemput di tempat kayak gini.

tok tok tok

Ketukan itu berasal dari jendela mobil gue, waktu gue keluar dari mobil … Nakei tiba-tiba menangis dengan kedua tangan menutupi wajahnya.

Gue … yang jelas gue kaget. Tapi gue harus apa? I don’t want to look like I’m the reason she’s crying, because I’m not! Tapi, gue bingung beneran harus gimana.

“Kei, lo mau masuk dulu nggak?” tanya gue khawatir. Gue nggak pernah lihat Nakei nangis separah ini, walaupun wajahnya nggak keliatan, gue tau pasti matanya udah mulai bengkak.

Perempuan itu menggelengkan kepalanya, instead, dia narik gue ke sisi lain mobil biar nggak deket pintu depan restorannya.

Dia masih nangis, dan gue masih berdiri di sampingnya canggung. Satu tangannya menutupi wajahnya sedangkan yang satu lagi megang tangan gue.

Sebenarnya … ada satu hal yang ingin gue lakuin, yang ingin gue tanyakan, tapi gue bakal kena tabok nggak sih, kalo gitu?

“Kei,” panggil gue sambil menggoyangkan genggamannya di tangan gue biar nengok, “Do you need a hug?”

Tanpa basa basi lagi, Nakei langsung menjatuhkan dirinya ke dalam pelukan gue. Karena tinggi kita yang nggak terlalu beda jauh, Nakei menangis tepat di bahu gue dengan kedua tangannya mengenggam hoodie gue erat. Tangisannya semakin menjadi, gue kebelet nanya tapi gue nggak enak.

And to be honest, it breaks my heart seeing her crying like this. Mungkin baru sebulan atau dua bulan sejak gue kenal sama Nakei, tapi melihat dia nangis kayak gini bikin gue ikut sedih juga.

Seeing the people you are close to crying makes you feel awful, especially when you don’t know how to help them.

Gue meletakkan salah satu tangan gue di dekat punggung Nakei, sedangkan yang satu lagi mengelus-elus rambutnya pelan. Dulu, kalo Biya lagi nangis karena kalah adu bacot sama Arkansa, gue lihat pacarnya selalu giniin dia. Mungkin Nakei akan merasa lebih baik kalo gue giniin.

At least, I hope so.

Around 10 minutes have passed, Nakei akhirnya berhenti menangis dan melepaskan dirinya dari pelukan gue. “Sorry about that,” ucap perempuan itu dengan tawa kecil.

“Nggak apa-apa,” balas gue. “Mau masuk nggak sekarang? If it makes you feel better, we can go for a night drive?”

Untungnya, Nakei tersenyum saat mendengar itu, “Boleh banget.”


The rest of the night, we drove around Jakarta while listening to our favorite songs. We don’t have a playlist together, because Nakei herself once said she doesn’t really make playlists. The reason? It was because her taste in music always change and she said it was a bother to make another playlist or change the songs in it once she was bored of it.

Menurut gue dia aneh dan alesannya nggak jelas, tapi gue iyain aja.

“Gue boleh cerita nggak, Brey?” Nakei tiba-tiba bersuara. Gue kaget dan langsung nengok ke perempuan itu, “Hah? Oh iya, cerita aja.”

Dia tersenyum sekilas, kemudian tatapannya kembali ke jalanan malam hari, “Tadi gue habis ketemu sama ayah gue, it was the first time after months, terakhir tuh waktu that night where I basically forced you to go to Dominos with me.” Gue sedikit kaget, gue kira dia selalu ketemu bokapnya at least once a week? I guess I was wrong.

“Usually, I would reject the offer. Tapi karena gue merasa gue selama ini keterlaluan sama ayah gue, akhirnya gue terima ajakannya. Sebenarnya, selama ini gue juga merasa gue egois karena jauhin ayah gue. Gue dulu nggak pernah mikirin perasaan ayah gue kalo gue jauhin, karena dipikiran gue waktu itu, dia jahat sama gue dan mama gue.”

“So, I thought, maybe if I had dinner with him once, things would be fine, kalo gue dinner sama dia sekali ini aja, gue bisa deket lagi sama dia, nerima dia, maafin dia, and … spend time with him like the old days.”

Nakei mengehela napas dan gue yang menyadarinya langsung dapet feeling kalo ini nggak akan berakhir baik-baik aja. “But I was wrong,” lanjutnya dengan senyuman pahit.

“He showed up, obviously, but he wasn’t alone. Dia datang dan duduk berhadapan sama gue bareng istri barunya. He didn’t look at me directly in the eye or answered me when I asked ‘dia siapa yah?’ so she had to introduce herself, he didn’t even bother to mention her name and … status? Gitu deh.”

Kali ini, Nakei memainkan jarinya, “Gue kaget yang pasti, tapi gue lebih kaget karena waktu ditengah-tengah lagi makan, dia ngajak gue tinggal sama dia dan keluarga barunya. Keluarga barunya that consists of 2 daughters and 1 son.”

I stopped the car in front of Dominos, the same Dominos we went to a few months ago. Kenapa gue berhenti? Karena one, gue capek nyetir, and two, gue kaget sama ucapan Nakei barusan.

Nakei tertawa lagi, “Kurang ajar nggak sih? Dia selingkuhin mama gue di hari wisuda SMP gue, habis itu dia dengan brengseknya bilang itu nggak sengaja, and after that he disappeared and suddenly came back to file a divorce! Now, he’s asking me to move in with him, which literally means leaving my mom all by herself and-”

Nakei kelihatannya nggak sanggup ngelanjutin kalimatnya, karena setelah itu, dia nangis lagi. Kali ini, dia nggak nutupin wajahnya.

Gue dibuat panik sekaligus kaget sama Nakei yang tiba-tiba memukul-mukul kepalanya sendiri, gue langsung cepet-cepet tarik kedua tangan perempuan itu dan mengenggamnya erat agar dia nggak mukul dirinya sendiri lagi.

“Hey hey hey, calm down Kei,” kata gue sambil menepuk-nepuk bahunya pelan. Perempuan itu masih menangis. Menangis karena kesal, sedih, frustrasi, dan kecewa. I can’t imagine how horrible she feels right now.

Nakei terisak, “Gue kira ayah gue cinta sama mama gue, Brey. Beliau bilang kalo mama adalah satu-satunya wanita di dunia ini yang ia cintai setelah ibunya. Fuck, how am I supposed to believe in love after what he did, Brey? He ruined everything!”

Gue bisa merasakan tangannya Nakei gemeteran di genggaman gue. God, I want to help her so much, I really do. But in the end, there’s nothing much I can do right? Gue cuma bisa mendengarkannya, karena gue rasa gue nggak jago soal ginian.

“Nggak usah ceritain semuanya nggak apa-apa Kei, gue akan selalu dengerin lu cerita kok, pelan-pelan aja. You can tell me next time, when you’re ready,” bisik gue sambil menarik Nakei ke dalam pelukan gue.

“Nangis aja Kei, if it makes you feel better, you can cry on my shoulder. But don’t hit yourself out of frustration or anything like that okay? Nanti kepala lu pusing loh.”

Nakei mengangguk sambil mengeratkan pelukannya, “Jangan lepas dulu ya, Brey? Kayaknya gue ingusan, mau ngelap di hoodie lo.”

“Kalo gue lagi nggak baik gue udah pukul lo sekarang, tau nggak?”

“Hehe,” perempuan itu nyengir. “Tapi serius, makasih ya Aubrey. Maaf juga udah bikin repot gini, I just needed someone to lean on for a moment.”

Tangan gue mengelus-elus punggung Nakei, “You can always lean on me, Kei.”

“Nggak ah, keberatan nanti,” canda perempuan itu.

“Lu bisa nggak, jangan ngerusak suasana gini?”