72.

Prima’s POV

Ah! Handphone gue mati

Gue mendecak, kemudian menghembuskan napas kesal. Mama kebiasaan banget, suka telat ngabarin. Kalo dia daritadi bilang dia nggak jadi jemput, gue bisa nebeng Kirei.

Pasrah, gue akhirnya duduk di anak tangga lobby sekolah, nunggu ada orang yang gue kenal lewat biar bisa gue pinjemin HP-nya buat pesen ojol.

“Sial dah emang sial banget gue hari ini,” gumam gue. “Udah tadi ulangan fisika nilainya jeblok, presentasi buat PPKN tapi flashdisknya sempet ilang, terus pusing gara-gara nggak ngerti matmin,” gue turunin jari gue satu-satu seolah-olah lagi ngitung hal-hal jelek yang terjadi kepada gue hari ini.

“Kak?” tiba-tiba suara yang nggak asing di telinga gue terdengar, gue langsung nengok ke arah sumber suara itu.

Seven berdiri di samping gue, mengenakan kacamata buletnya yang mirip punya Harry Potter itu.

Ganteng.

“Hai,” sapa gue, sedikit malu karena teringat sama isi chattan kita kemarin.

Seven tersenyum, well at least kelihatannya kayak gitu dari masker yang ia pakai, lalu duduk di samping gue. “Belum dijemput kak?” tanya dia, gue menggelengkan kepala sebagai respon. “Nggak pulang sama kak Kirei?” tanya dia lagi, gue meggelengkan kepala gue lagi. “Tadinya mau pulang sama mama, tapi ternyata dia nggak jadi bisa gara-gara lembur. Handphone gue mati, jadi gue nggak tau mau gimana.”

Loh, gue kan bisa minjem handphone dia aja?

“Sev gue boleh pin–”

“Gimana kalo lu pulang bareng gue aja?” celetuk Seven. Tapi cowok itu telinganya memerah waktu sadar dia nggak sengaja menyela gue. “Maaf kak, kenapa?”

“Eh nggak nggak, ayo pulang bareng. Lo bawa apa emangnya?”

Seven kelihatan lebih tenang sekarang, “Motor sih kak, nggak apa-apa?”

Gue mengangguk, mengacungkan jempol ke Seven, “Boleh banget!” Cowok itu ikut mengacungkan jempol juga, kemudian kita berdua berjalan ke parkiran, sambil ngobrolin hal-hal yang sebenarnya nggak penting.

Sesampainya di parkiran, Seven tiba-tiba nahan gue yang berniat naik motornya. “Kenapa?” tanya gue heran, tapi Seven malah turun dari motornya terus mengeluarkan sesuatu dari ranselnya.

Seven mendekat ke gue, lalu nunduk, ngiketin jaketnya di pinggang gue. “Kakak roknya pendek, biar nyaman aja, hehe.”

Ya Tuhan gue bisa gila kalo kelamaan sama cowok ini


“Dingin nggak kak?” tanya cowok itu, tapi suaranya nggak begitu kedengeran gara-gara lagi naik motor. Ya terus juga banyak suara kendaraan juga sih.

“APA?!” teriak gue kencang, biar Seven bisa denger. Cowok itu malah meringis, “Aduh kak jangan kenceng-kenceng, gue bisa denger kok.”

Oalah bisa denger

Gue ketawa kecil, “Maaaffffff.”

Setelah itu kita nggak ngomong apa-apa, gue ngintip spion buat liatin Seven yang fokus liatin jalan. Ganteng. Cowok ini ganteng banget. Diem ganteng, fokus ganteng, ngomong ganteng, pokoknya semua yang cowok ini lakuin itu ganteng!

Gue nggak mau bohong, I’m a sucker for pretty guys, and my junior is one of them. Walaupun dia pake masker, dia tetep ganteng banget.

Udah berapa kali ya gue bilang dia ganteng?

“Ngeliatin spion mulu, kak?” Seven tiba-tiba nyaut ke gue. Gue yang baru aja ketauan liatin dia, wajahnya jadi panas karena malu. “Y-yaa soalnya nggak tau mau liatin apa lagi,” gumam gue, menyembunyikan wajah di punggungnya karena malu.

Gue bisa denger suara tawanya, gue makin malu.

“Pegangan kak,” katanya lalu menunjuk-nunjuk pundaknya. “Gue gelian orangnya, jadi pegang pundak gue aja ya. Biar nggak jatoh, hehe. Eh tapi jangan sampe nyekek gue ya kak.”

“Iyaaaa nggak bakal,” ucap gue lalu pegangan ke pundaknya.

Ini pertama kali gue sedeket ini sama cowok — cowok yang hampir setahun lebih muda dari gue, cowok yang jago bikin kue, cowok yang wanginya kayak cookies, cowok yang senyumanya manis, cowok yang dari minggu lalu menganggu pikiran gue.

Cowok itu bernama Seven.

Waktu begitu cepat berlalu, karena kita udah sampe di depan rumah gue. “Sebentar kak,” Seven turun dari motornya, lalu mengulurkan tangannya. “Sudah sampai, tuan putri,” candanya sambil tertawa kecil.

Gue ikut tertawa, lalu menyambut tangan kosongnya dengan tangan gue. “HAHAHA, terima kasih,” balas gue kemudian turun dari motornya.

Tangan kita masih berpegangan, walaupun nggak erat, rasanya mendebarkan. Begitu pun mata kita yang mereka masih menatap satu sama lain. Saat itu gue sadar, Seven memiliki mata yang cantik, even behind those thin round glasses of his. Terus waktu dia tersenyum, matanya juga ikut senyum.

Manis.

Persis kayak orangnya.

“Ya udah, masuk gih kak.” Ia menurunkan tangannya, sehingga rasa sentuhannya menghilang begitu saja. Ada sedikit rasa kecewa di dalam diri gue waktu tangan kita berpisah, karena gue masih mau pegangan lebih lama lagi.

Gila gue mikirin apa sih?

Seven kembali duduk di atas jok motornya lalu mengenakan helm hitam miliknya. “Get some rest kak, you’ve worked hard today as well,” ucapnya sambil melambaikan tangan.

Gue tersenyum, lalu membalasnya dengan acungan jempol, “Makasih ya Sev udah anterin gue.”

“No problem, duluan ya kak? See you tomorrow.”

Dengan itu, ia nancep gas lalu pergi. Walaupun punggungnya udah nggak keliatan, gue masih bisa merasakan keberadaannya di sini.

Di sini tuh di hati gue maksudnya.

JIAKHHHHHHHH BISAAN LU PRIM