78.

Seven’s POV

Selagi nunggu ngeprint, gue liatin lagi film yang tadi gue cuci. Minggu lalu, gue ketemu sama kak Prima di depan tempat lesnya, waktu gue mau jemput mama dari salon.

Unfortunate yet fortunately, mama gue ternyata mau belanja bulanan dulu, jadi gue disuruh jalan-jalan sendiri. Ya udah, karena ada kak Prima, gue ajak aja jalan-jalan bareng.

Kebetulan juga, gue bawa film camera waktu itu. Jadi gue tawarin aja buat foto-foto, siapa tau dia pengen post hasilnya di feeds IG nya kan? Setau gue, orang-orang suka begitu.

“Haii,” kak Prima mendorong pintu ruang fotografi dengan badannya, dengan plastik berisi cemilan-cemilan dari supermarket tadi.

Gue pegangin pintunya, “Hai kak, banyak banget itu.”

Dia nyengir, “Buat stok ngemil di kamar gue. Oh iya, nih Nescafe lo,” katanya terus dikasih ke gue. “Lo suka kopi ya Sev?”

“Biasa aja sih sebenarnya, tapi karena bokap sama nyokap gue minumnya kopi mulu, gue jadi ikut-ikutan.”

“Tau nggak sih Sev, di mata gue tuh, orang yang suka minum kopi keren, apalagi kalo mereka suka americano,” ucap kak Prima. “Karena gue pribadi nggak bisa minum kopi, waktu itu gue nyoba terus pahitttttt banget! Gue juga agak takut sih, gara-gara ternyata yang gue minum itu kopi kadaluarsa.

Lu tau tiramisu kan? Eh pasti tau lah ya kan lo punya bakery. Nah, gue juga nggak suka tiramisu, gara-gara kayak kopi baunya. Eh eh gue jadi pensaran, tiramisu itu kopi bukan sih, Sev?”

Kak Prima kalo udah mulai ngoceh, kata-katanya selalu pas sama ekspresi yang dia pasang. Lucu, soalnya tangan dia juga nggak mau diem.

“Tiramisu tuh ada espressonya kak, tapi nggak banyak-banyak banget. Ya nggak sebanyak minuman kopi gitu deh, jadi nggak bikin lo melek, paham kan ya maksud gue? Kata bokap gue sih kayak gitu,” jelas gue sambil meneguk minuman kaleng yang dibeli sama kak Prima.

“Kalo kakak nggak suka kopi, waktu ke starbucks kakak mesen apa dong?” gue tanya, penasaran.

Dia meletakkan jarinya di dagu, “Hmm, gue sih sebenarnya emang kurang suka minuman yang creamy-creamy gitu. Jadi gue mesennya iced tea gitu dehhh, gue juga jarang ke starbucks sih.”

Gue ber oh ria, lalu nyimpen hasil print gue ke dalem folder. “Ya udah, balik yok kak? Takut kesorean.”

“Okaayyyyy.”


“Makasih Sev,” kak Prima turun dari motor, melepaskan helmnya lalu memberikannya ke gue. Rambutnya yang panjang itu jadi berantakan, dia nggak sadar, tapi dia jadi keliatan lucu.

“Sorry kak, sini bentar,” gue memintanya untuk majuan dikit. Dia nurut, tapi dari wajahnya, dia keliatan bingung.

Dengan sedikit rasa ragu, gue rapihin rambut kak Prima yang tadinya berantakan. Rambutnya halus, wanginya kayak wangi shampoonya The Body Shop, gue tau soalnya mama gue juga make shampoo yang wanginya persis sama yang dipake kak Prima.

Kak Prima nggak ngomong apa-apa, malah mukanya datar. Dia cuma berdiri diem seolah-olah dia membeku, tatapannya juga daritadi mengarah ke sepatunya doang.

Kak Prima cantik. Dari atas aja udah cantik banget. Waktu gue pertama kali liat kak Prima, di mata gue ya dia sama aja kayak cewek-cewek lainnya, cuma sedikit lebih aneh, in a good way. Tapi, semakin lama gue mengenalnya, semakin cantik dia di mata gue. Nggak tau kenapa, mungkin sesuatu di kak Prima ini membuatnya terlihat menarik — mungkin karena dia selalu senyum, mungkin karena cerita-cerita dia seru, mungkin karena dia bisa bikin orang-orang disekitarnya nyaman — apapun itu alasannya, gue seneng kalo ada kak Prima di sekitar gue.

“Lo tuh emang gini ya, Sev?” tiba-tiba dia nanya.

gue mengangkat alis, “Maksudnya?”

“Iya lo…” kak Prima semakin menundukkan kepalanya, “…jago bikin orang deg-degan.”