86.

Aqila’s Apartment, 1 May 2022 A Few Hours Later

Aqila perlahan-lahan membuka matanya, hal yang pertama ia lihat adalah punggung Hayes. Laki-laki itu sedang menonton TV di depannya.

Setelah menangis di pelukan Hayes, Hayes mengajak Aqila duduk di sofa untuk mendengar ceritanya. Namun, sebelum Hayes bisa bertanya, Aqila malah ketiduran.

“Hay,” panggil Aqila dengan suaranya yang serak. Hayes yang tadinya asik menonton series Netflix di TV langsung menoleh ke sahabatnya. “Mau minum?” tanyanya. Aqila mengangguk, lalu bangkit untuk duduk. Ia memperhatikan Hayes yang bolak-balik dari dapur, ke kamar mandi, ke kamar tidur Aqila, ke dapur lagi, baru ke ruang tamu dengan segelas air di tangannya dan jepitan rambut Aqila.

“Kok lu tau gue mau minta ambilin jepitan sekalian?”

“Udah hafal gue sama rutinitas lu.”

Aqila tersenyum, ia mengacak-acak rambut sahabatnya sebelum menerima air minum dan jepitan yang diberikannya.

Perempuan itu merasakan handphonenya bergetar. Ia meletakkan gelasnya lalu membuka handphone, wajahnya memelas begitu melihat notif dari ayahnya yang menanyakan tentang ibunya tadi.

Aqila memutuskan untuk mengabaikan pesan-pesan dari ayahnya. Ia memilih untuk nonton series Netflix di TV bersama Hayes. Ia tidak punya energi untuk menanggapinya, masih terlalu lelah karena berdebat dengan ibunya dan menangis.

“Rory bikin greget banget.”

Kata-kata yang keluar dari mulut Hayes menyadarkan Aqila dari lamunannya. “Kenapa?”

“Rory, itu loh,” Hayes menunjuk ke layar TV, “karakter utama di series ini. I like her, tapi scene ini bikin gua gedeg.”

“Emangnya tadi scene apa?” tanya Aqila, yang tadi kehilangan fokus.

“Gua baru nonton sih, gara-gara adek gua post di story nya mulu. This scene where Rory didn’t say ‘I love you’ back to Dean. Gua gak ngerti kenapa dia gak bilang ‘Me too’ aja atau gimana. Tapi gua juga gak setuju sih, Dean marah-marah kayak gitu. Come to think of it, why does he seem like he’s mad all the time? Nyebelin juga.”

“Gak semua orang bisa bilang itu dengan gampang,” kata Aqila, memihak kepada Rory, karakter utama di series yang mereka tonton. “Besides, why’d he have to dump Rory just because she didn’t say ‘I love you’ back? I think he’s overreacting.”

“Seriously?” Hayes mengerutkan dahinya. “Don’t tell me lu gak pernah at least bilang ke mantan-mantan lu kalo lu sayang sama mereka.”

“Ya pasti gue…” perempuan itu diam sejenak, “…per…nah…kayaknya.”

“Jadi lu gak pernah bilang?”

“Gue rasa gue gak perlu bilang juga, kan? I like them, I show it, and I think that’s enough.”

“But do you love them?” tanya Hayes, nadanya serius sampai membuat Aqila tegang. “Semua orang butuh kepastian Qil. Bukannya lu juga gitu ama Jaden? Emangnya lu gak sedih karena Jaden gak ngasih lu kepastian? Actions without words also have no meanings.”

Perempuan itu terdiam, mencerna kata-kata sahabatnya. Ya gak salah, dia juga sering mempertanyakan hubungannya dengan Jaden, tapi di sisi yang lain, dia tau kalau sooner or later, hubungannya dengan Jaden akan berakhir. Ia tau, kalau prioritas Jaden dari dulu sampai sekarang gak akan terganti. Jeya dulu baru dirinya.

“Let’s not talk about that,” kata Aqila. Hayes menaikkan alisnya, heran kenapa anak itu mengalihkan topik ketika membicarakan hubungannya dengan Jaden kepadanya. “Gue mau minta tolong sesuatu, boleh gak?”

“Kenapa?”

“Acara pernikahan mama…” Aqila menatap Hayes ragu-ragu, “kalo semisalnya gue beneran ikut, lo mau nemenin gue gak?”

Hayes menaikkan alisnya. “Lu serius mau ke acara itu?”

“Ya gak taauuuuu,” ia berbaring di sofa, menenggelamkan wajahnya dengan bantal. “Kalo misalnya gue ikut aja. Gue kepo dikit, kok, sama acaranya.”

“Kepo atau lu berencana buat hancurin?”

“Eh enak aja ya lo!” Aqila melempar bantalnya hingga mendarat di wajah Hayes, membuat laki-laki itu terjatuh. “Gue gak sedramatis itu ya. Gue punya image cool tau gak? Gue harus jaga image ini.”

“Cool cool aja lu, tapi kalo ama gua lu gak ada cool cool nya,” ujar Hayes sembari melempar bantalnya balik.

“Kan kalo sama lu gue bisa bebas,” ujar Aqila, menangkap bantalnya dengan cepat. “Soalnya kita teman dari kecil, gue gak perlu sok jaim kalo sama lu.”

Hayes mendesis pelan begitu mendengar kata ‘teman’ keluar dari mulut sahabatnya, alias perempuan yang ia sukai. Sakit sih, tapi Aqila mengatakan bahwa dengan Hayes, perempuan itu bisa menjadi dirinya sendiri, ia merasa senang.

Aqila yang merasa nyaman disekitarnya saja sudah cukup untuk membuatnya bahagia.