88.
“Langsung cabut, Fay?” Tanya Raina, yang lagi menghapus eye make up-nya. Gue balas dengan anggukan, “Lo main sama yang lain habis ini?”
“Mhmm, pada mau nyari makan. Lo serius nggak mau ikut?”
Raina is such a nice girl, she makes sure everyone is included and never leaves anyone behind. “I’m good, thanks for the offer.” Balas gue dengan senyuman. Raina juga senyumin gue balik sambil mengangkat jempol, “Ya udah, hati-hati di jalan ya Fay!”
“I will!”
Gue sedikit kecewa.
Sedikiiiiit kecewa karena Erloy nggak bisa dateng. I was really happy when he told me he wanted to watch me, but now that he’s not coming, i feel a little bit disappointed.
Ya gimana nggak kecewa sih? Udah berharap tinggi ehh tau-taunya dia nggak bisa dateng. Tapi mungkin salah gue juga sih, udah berekspektasi tinggi.
It’s best not to expect anything from anyone—that’s what my brother told me.
Sekarang masih ada beberapa sekolah lagi yang siap-siap buat tampil. They all look really nervous, gue jadi keinget sama pertama kali gue lomba paskibra juga. Waktu itu, nggak ada yang nontonin gue. Sampe sekarang pun juga nggak ada yang nonton, my parents are busy with work and my brother isn’t really interested. I don’t blame them though, it can’t be helped.
Makanya gue seneng banget waktu Erloy bilang mau nonton gue.
“Ah, ya udah sih. Erloy juga punya kehidupan sendiri, you’re not his priority.” Gue ngomong ke diri sendiri. It’s my way of reminding myself that things won’t always go the way I want them to.
Coba aja Erloy dateng.
I felt a small tap on my shoulder. The moment I turned around, ada Erloy yang lagi tersenyum di belakang gue. Matanya menyipit dan senyumannya…his smile was shaped like a heart.
“Hai.” He waved his hand in front of my face, “Kaget nggak? Kaget ya, hehe.”
It was only natural for me to smile back at him, my heart felt warm and flowers were blooming in my stomach. God, is this what falling in love feels like?
Fayre, lo baru deket beberapa minggu sama Erloy. Slow down.
“Katanya ada acara keluarga?”
He giggled, “Bercanda doang, masa gue nggak dateng nonton lu? I promised I would.”
Gue menaikkan alis, “Lo nggak pernah ada janji kayak gitu ke gue tuh?”
“Emang. Gue janji ke diri sendiri bakal dateng buat nontonin lo.”
Bener-bener ya nih cowok, kenapa bisa lucu banget? Gue heran kenapa gue nggak kenal lebih deket lagi sama dia dari dulu.
“Lo liat gue tadi? Keren nggak?”
He nodded excitedly, “Iya, keren banget Fay! Believe it or not but I was really amazed.”
“Really?”
“Serius, lo keren banget. Waktu gue liat lo, rasanya kayak mau gue teriakin gini…” Erloy stepped away from me, his smile never leaving his face. “ANARELLE FAYRE KEREN BANGET AAAAAAAAAH GUE NGEFANS BERAAAT AAAHHH KAK FAYRE AKU—”
“HEH! Jangan teriak beneran goblok.” Gue jewer kuping cowok itu, malu banget soalnya tadi pak satpamnya ngeliatin kita.
Bodohnya cowok ini malah ketawa-ketawa, tapi sambil nepuk-nepuk tangan gue buat lepasin kupingnya. “Aduh, lepasin Fay please sorry sorry.”
“Lo gue gombalin malu, tapi teriak kayak tadi nggak malu? Aneh banget ya lo.” Gue menggelengkan kepala. But I’ll admit it, gue seneng dikit pas tadi dia teriak-teriak gitu. It was amusing.
Erloy masih ketawa, we both walked out of the school together. Gue nggak mau geer serius, tapi gue ngerasa kalo selama kita jalan ini Erloy tuh ngeliatin gue mulu. It’s making me a little nervous actually, karena sekarang gue suka sama Erloy.
Ah, gue jadi gugup tiba-tiba.
“Lo ke sini naik apa?” Gue tanya Erloy. Tapi pas mata kita bertemu, gue berhenti. I was right, he was staring at me after all. Gue malah jadi salah tingkah because he was still wearing the same smile. “Senyumin apaan sih?” I asked him.
“Lo.”
“Hah?”
“You looked really cool back there.”
Ini orang kenapa sih?
“Tadi lo udah bilang kayak gitu, nggak usah diulang gue paham kok.”
I glanced at him and he was still smiling. Dia nggak capek apa senyum mulu dari tadi? Jantung gue aja kayaknya capek liat dia senyum.
“Kok buang muka?” Erloy teased me, “Salting ya?”
This feeling is so…foreign to me. Gue nggak pernah segugup ini sama Erloy. Malah, biasanya gue kalo sama dia merasa tenang. Kenapa sekarang gue malah deg-degan?
Why is he the one teasing me now?
“Nggak.”
“Liaaaarrrr, I can see your ears turning red.” Dia senggol-senggol bahu gue.
“Coba nengok gue bentar.”
“Nggak ah.” Gue menolak.
“Ah bentar aja pleaseeeeee?”
“Banyak mau lu.”
Erloy wouldn’t stop annoying me dan terus senggol-senggol gue. Akhirnya gue terpaksa buat menengok ke arah dia. “Udah nih ah, puas lo?” Gue mendecak.
Erloy diem doang and it’s making me nervous. Apa gue salah ngomong ya?
Tiba-tiba, Erloy jongkok. His hands were covering his whole face. “Ahh gila Fayre,” he whimpered terus mengintip dari sela-sela jarinya, “Lo cantik banget.”
Apaan sih…
“Makasih, tapi please bangun. Kita lagi di tengah jalan, nggak usah malu-maluin.” Gue tarik-tarik lengan dia. He got up and he was still smiling, kelihatan banget walaupun dia masih nutupin mulutnya. “What’s gotten into you today?” I asked him as we both walked side by side, my hand was still grabbing his arm.
“Rencananya gue pengen bold sesekali, but I don’t think I can do it. Susah banget, apa lagi kalo ke elu.”
“Maksudnya?”
“Maksudnya walaupun gue udah berusaha buat bikin lo salah tingkah, ujung-ujungnya juga gue yang salah tingkah lihat lu salah tingkah.”
I laughed, “Belibet banget ngomongnya?”
“Lo aja yang bego.”
“Kurang ajar.” Gue pukul bahunya pelan.