91.

“Terus habis diaduk gini, gue apain?” tanya Prima sambil mengaduk adonan yang tadi Seven bantu buat. Mereka berdua sekarang sedang berada di dapurnya Seven, hanya berdua saja karena orang tuanya Seven pergi ke toko.

Sekitar jam 1.30 siang tadi, Prima dan Seven sampai di rumah lelaki itu. Namun, sebelum mereka masuk ke dalam, mereka disambut oleh ibunya Seven yang baru saja keluar rumah.

Kalo dia macem-macem, jangan senggan untuk lapor ke saya ya!’ kira-kira begitu ucapan ibunya Seven sebelum beliau berangkat ke toko, meninggalkan mereka berduaan saja di rumahnya.

“Masukkin ke pan ini kak, udah gue taro parchment paper nya.” Prima perlahan-lahan menuangkan adonannya tersebut. Seven, yang daritadi berdiri di samping kakak kelasnya itu, sedang menahan tawanya karena wajah fokus Prima yang menurutnya menggemaskan.

Prima menghela napas lega, “Selesai!” serunya sambil menyeka keringat — yang sebenarnya tidak ada — di jidatnya.

Seven mengangkat pan itu, lalu memasukkannya ke dalam oven. “Sekarang kita tunggu 30 menit,” kata Seven, menutup ovennya kemudian mengaturnya menjadi 180 derajat celcius.

Prima menepuk tangannya girang, “Yaaay! Habis ini tinggal kasih whipped cream sama icing, terus topping, iya kan?” Seven mengangguk, ikut senang melihat kakak kelasnya yang tersenyum lebar.

Sebenarnya, saat diperjalanan ke rumah, Seven merasa gugup karena akan berduaan dengan Prima di rumahnya. Ditambah lagi, Seven ini orang yang susah memulai percakapan dan membangun suasana, ia takut kak Prima akan bosan menghabiskan waktu dengannya. Untungnya, karena Prima ini adalah orang yang tidak pernah berhenti mengoceh, tidak ada rasa canggung di antara mereka.

Prima pandai membangun suasana menjadi menyenangkan, ditambah lagi perempuan ini selalu mempunyai topik pembicaraan. Mungkin karena dengan sifat Prima yang seperti itu, Seven merasa nyaman saat bersamanya.

“Wow, Sev, ini lo waktu SMP?” Seven kaget ketika melihat Prima yang tiba-tiba berdiri di depan kumpulan framed photos di ruang tamunya. “AH, kok kakak liatin sih, gue maluuuu,” komplain Seven, menghampiri Prima yang tertawa karena reaksinya.

Prima mengambil salah satu foto Seven, yaitu foto saat wisuda SMP sekitar dua atau satu tahun yang lalu, ia tersenyum melihat sosok Seven yang masih imut.

“HAHAHAHA di sini kacamata lo masih kotak terus tebel,” ejek Prima, masih memegang foto itu sedangkan Seven berusaha untuk merebutnya kembali. “Duh, dulu gue dikatain culun mulu. Gara-gara udah anak fotografi, duduknya selalu paling depan, terus kacamata gue udah setebel buku latsol UN.”

Prima kemudian duduk di sofa, diikuti oleh Seven yang sudah menyerah dan akhirnya membiarkan Prima melihat foto-foto dari photo album milik keluarganya. “Ah, ini waktu gue pertama kali masuk SD, paling pendek di kelas waktu itu.” Seven menunjuk salah satu foto yang terletak di halaman pertama albumnya.

“Kocak ya, poni lo jelek banget, kayak Ehsan.” Prima sekali lagi mengejek adik kelasnya. Kali ini, Seven ikut tertawa karena ia setuju. “Iya ya, siapa coba yang bolehin gue ponian kayak gitu, jelek banget.”

Mata Prima sekilas melirik ke wajah Seven, yang hanya berjarak beberapa centimeter dari wajahnya. Mereka duduk sebelahan, dekat banget, karena Seven mendekatkan wajahnya untuk melihat photo albumnya juga.

Ganteng banget, mamanya ngidam apa ya waktu hamil? Gue juga mau punya anak seganteng ini

Prima tidak mau mengakuinya, tapi jantungnya daritadi berdebar. Walaupun ia sudah mencoba untuk menenangkannya, rasanya sulit karena Seven dekat banget.

“Kak,” panggil Seven sehingga membuat Prima menengok.

Oh!

Mata mereka bertemu.

Seven ikut kaget saat menyadari wajah Prima sangat dekat dengannya, ia membeku di tempat, napasnya tertahan karena gugup.

Begitupun juga Prima. Mata perempuan itu melebar, dan jantungnya makin berdebar. Ia bisa merasakan pipinya memerah, karena mereka sudah mulai hangat. Anehnya, ia tidak ada niatan untuk menjauhkan dirinya dari adik kelasnya itu.

Deheman Seven menyadarkan Prima. Ia menjauhkan wajahnya dari adik kelasnya itu, yang mulai rileks saat Prima menggeserkan tubuhnya menjauh sedikit. “Itu, um, handphone-nya geter daritadi,” Seven menunjuk ke handphone yang berada di dalam saku rok perempuan itu. “O-oh, iya, sebentar ya Sev.”

Setelah Prima pergi ke luar rumah untuk mengangkat telepon, Seven menjambak rambutnya sambil menjerit pelan, agar tidak terdengar oleh Prima. Ia malu sekaligus menyesal karena membuat suasana canggung. Seven selalu menganggap dirinya perusak suasana, sebab setiap kali ada suasana canggung bersama Prima, pasti ia yang memulainya.

Tidak sadar mereka telah menghabiskan waktu yang lama dengan melihat-lihat photo album, timer Seven berbunyi, menandakan bahwa adonannya sudah jadi. Ia bangkit dari sofa kemudian berjalan menuju oven sambil mencubit-cubit pipinya yang panas karena kejadian tadi.

“Tadi deket banget,” gumamnya. “Nyaris– ah, gue mikirin apaan sih?!”