99. Kejora & Angkasa
“Here we are!” seru Asa, membukakan pintu untuk Jora. Perempuan itu keluar dari mobil dan disambut dengan rasa rumput menggelitiki kakinya. “Ini di mana?” tanya perempuan itu, matanya melihat ke sana dan ke sini.
Asa tersenyum bangga. “Ini dulu taman yang selalu gue kunjungin bareng temen-temen gue pas SD. Agak jauh, kan, dari rumah? Soalnya, gue main ke sini sebelum gue pindah rumah.”
Asa kemudian duduk di rumput, mengejutkan Jora. “Eh, ngapain, Sa. Nanti gatel-gatel, loh.”
“Enggak apa-apa, asli. Lu nggak mau duduk juga, Kejora?”
Setelah berdebat dengan dirinya sendiri, akhirnya Jora memutuskan untuk duduk di samping laki-laki itu. Jantungnya berdegup lebih kencang dari biasanya, karena Asa begitu dekat dengannya. Ia sudah pernah duduk di samping Asa sebelumnya, tapi, kali ini rasanya berbeda, karena jarak mereka lebih dekat dari biasanya.
Begitu juga Asa. Laki-laki itu kesulitan menahan kedua ujung bibirnya yang ingin terangkat, sampai ia berkali-kali berpura-pura batuk.
“Kayaknya, gue tau kenapa lu dinamain Kejora.” Asa memulai percakapan untuk mencairkan suasana tegang tadi. Jora, yang tadinya sibuk mengontrol degupan jantungnya, langsung menoleh ke Asa dengan penasaran. “Kenapa?”
“Gini,” ia membenarkan posisi duduknya agar nyaman, “nama gue, kan, Angkasa, nah Angkasa itu gelap kan? Terus, langit kalau malam itu juga gelap kayak angkasa gitu. Eh, tapi kalo kata guru geografi itu angkasa gelap karena nggak ada pantulan gitu sih…Ah whatever, that’s not what I’m trying to say. Oke, gini, kan nama Kejora itu dari bintang kejora–”
“And your point is?” potong Jora, menganggap semua ini omong kosong. Atau lebih tepatnya, ia rasa Asa ini sedang ngelantur.
“I’m getting there,” cetus Asa. “Lo bintang, gue langit. Walaupun langit — atau angkasa — itu dikelilingi oleh banyak bintang-bintang, nggak ada yang bisa ngalahin bintang kejora. Kenapa? Karena, bintang kejora itu bintang yang paling menonjol di antara bintang-bintang lainnya. In other words, you’re special. You stand out. In a good way. Well, at least di mata gue.”
Wajah Jora memerah mendengar pujian Asa yang tiba-tiba itu. Kedua ujung bibirnya terangkat, lalu ia tertawa kecil. “That’s cute.”
Kedua mata Asa berbinar. “Iya, kan? Gila, emang gue keren banget. Gue mikirin ini dari pertama kali gue tau nama lu, by the way.”
“That’s cute, Sa,” Jora mengulang ucapannya. “Tapi bintang kejora itu planet venus, bukan bintang beneran.”
“Oh.”
Ekspresi yang dipasang oleh laki-laki itu membuat Jora tertawa lepas. “Ah, lucu banget muka lo serius,” katanya sambil menyeka air matanya karena tertawa terlalu kencang. “I appreciate the effort, though. I still think it’s cute how you thought about that after you learned my name.”
Asa ikut tertawa saat menyadari kebodohannya. “Ya, yang penting gue udah berusaha. EH TUNGGU DULU kan alesan gue ngajak lu ke sini buat nembak lu–”
“Eh?”
“Eh?”
Wajah kedua orang itu memerah. Jora membuang mukanya, sedangkan Asa menggaruk lehernya canggung. “Kayaknya, gue gagal ya…” gumam laki-laki itu sambil menunduk.
“Gagal maksudnya?”
“Ah, lagian,” ia mengeluarkan mainan kembang api dari kantong plastiknya, “gue awalnya mau sok-sok nembak lu pake kembang api gitu, nembak kayak literally nembak dor! Itu sebenarnya ide si Valdin sih. Emang bego banget tuh orang, idenya konyol tapi kenapa gua ikutin ya, anjir…”
Mata Jora tertuju pada kembang api yang dipegang Asa, lalu mengambilnya. “Ya udah, ayo tembak gue sekarang.”
“Ih, jangan ah, bahaya gue takut malah kena lu beneran terus lu cedera terus kita gagal jadian gara-gara gue nggak direstuin,” tolak Asa lalu merebut kembang apinya kembali.
“Tapi gue mau, Sa. Lu udah beli kembang api gini, tapi nggak dipake. Kan, jadi sayang.”
“Jadi apa?”
“Sayang.”
“Kenapa, sayang?” goda Asa, ia mengangkat kedua alisnya seperti orang genit. Jora memukul bahu laki-laki itu karena geli, tapi Asa sudah duluan menghindarnya. Perempuan itu jadi greget, lalu mengejar Asa, yang menertawainya.
Setelah kejar-kejaran selama lima menit, mereka berdua akhirnya berbaring di rumput sambil ngos-ngosan.
“Udahan ya, kejar-kejarannya,” kata Asa. “Kita jadian aja, gimana? Kalo kejar-kejaran mulu, nanti malah nggak jadi-jadi.”
Jora membeku di tempat. Perempuan itu sudah berkali-kali digombali oleh Asa, tapi kali ini rasanya berbeda, karena Asa mengatakannya sambil menatap dia dengan tatapan serius. Ia sampai bingung Asa hanya akting atau beneran.
“Lo…” Jora menatap laki-laki itu dengan ragu, “lo suka sama gue?”
“Lah? Gue udah nunjukkin gue suka sama lu since the first time I saw you, and you’re still asking me that?”
“Bukan,” perempuan itu menenggelamkan wajah di kedua tangannya. “Gue takutnya geer, Sa. Sorry, gue malu dikit. Ini lo…beneran nembak gue?”
Asa tertawa melihat Jora yang menggemaskan. “Kejora lucu banget, gue mau tendang sampai luar angkasa. Tapi, nanti gue kangen kalo kejauhan, nggak jadi deh.”
“Asa seriuuuuusss.”
“Iyaaaaa Kejoraaa.” Asa bangkit dari duduknya, tersenyum ke Jora yang masih malu. “Gue suka sama lu, dan gue mau jadi pacar lu, kalo lu mau jadi pacar gue karena lu suka sama gue dan bukan karena lu kasihan sama gue kayak di film-film.”
“Drama banget.”
“Ha ha ha,” laki-laki itu tertawa datar. “Jadi?”
“Jadi apa?”
“Jadi gimana?”
“Ya udah.”
Mata Asa membulat. “Hah? Serius?”
“Ya…iya? Emangnya lu kira gue bercanda?” Jora masih belum mau berdiri dari posisinya, jadi ia menatap Asa sambil tiduran.
“SERIUS?”
“Iyaaa.”
“KEJORAAAAAAA!” laki-laki itu menarik Jora ke dalam pelukannya, mengejutkan perempuan itu. “Eh, eh, eh, kenapa sih?!”
“Sorry, sorry,” Asa melepaskan pelukannya. “Thank you. Thank you so much udah mau pacaran sama gue.”
“Ya…” Jora membuang mukanya. “Makasih udah suka sama gue.”