cigarettes and old memories
Aubrey menoleh ke suara deritan pintu terbuka, di situ berdirilah Nakei dengan satu kotak rokok di tangannya. “Hai,” sapanya dengan senyuman tipis. Ia kemudian berdiri di samping Aubrey sambil menyalakan rokoknya.
“Apa kabar?” tanya Aubrey, memulai percakapan. Nakei tersenyum lagi, lebih lebar dari sebelumnya. “Baik. I’m doing really well actually. You?” ia menengok ke Aubrey, penasaran apakah teman lamanya itu punya kisah baru tentang kehidupannya.
“Same old, same old,” balasnya, “hidup gue gini gini aja. Kuliah-pulang-kuliah-pulang, kadang kalau mood gue main sama Arkansa dan Biya, tapi mostly I just stay in my room.”
“Beda ya.”
“Apanya?”
“Sama diri lo yang dulu.” Nakei tertawa kecil mengingat masa-masa SMA nya bersama Aubrey. Dulu, laki-laki itu pasti selau mengajaknya keluar main tanpa henti, walaupun nggak ada uang pun mereka tetap jalan-jalan entah ke mana. “You used to take me out everytime, Nggak tau ke mana pokoknya main aja terus. Sekarang lo jadi anak rumahan, udah keburu capek sama kuliah ya?”
“Nggak sih,” Aubrey ikut tertawa, “lebih tepatnya gue dulu ngajak lu keluar terus karena gue pengen bareng sama lu terus.”
“Oh…”
“Dulu, Kei.”
Iya, dulu.
“Brey,” panggilnya lagi. “Lu punya pacar nggak sekarang?”
Aubrey menggelengkan kepalanya. “Jangankan pacaran, suka orang aja gue belum ada.”
“Kenapa?”
“Nggak tau, yang pasti sejak lu, gue belum pernah suka sama orang lagi.”
“Kenapa gitu?”
“I don’t know,” ia mengedikkan bahunya, “I guess you left a pretty big mark on me, Kei.”
Perempuan itu terdiam, ia bingung harus bereaksi seperti apa.
“Brey, gue harap lo bisa menemukan orang yang cocok sama lo ya. Maaf gue nggak bisa jadi orangnya.”
“Kenapa nggak bisa, Kei? Even after years, lu masih nggak bisa pacaran?”
Ia menggeleng-geleng. “Nggak segampang itu, tapi I’m slowly accepting someone into my life.”
Mata Aubrey membesar. “Siapa?”
Nakei tersenyum, senyumannya menunjukkan bahwa ada rasa fondness dibaliknya. Kelihatan banget kalau dia udah ngerasa nyaman sama orang yang dia omongin. “Just someone I met in Uni, dia juga orang Indonesia, terus dia kayak yaa kakak tingkat gue I guess?”
“Gue duluan ya Brey, dicariin sepupu gue. Thanks for chatting with me, it was nice seeing you again.” Ia menggepalkan tangannya, mengajak Aubrey fist bump yang kemudian dibalas oleh laki-laki itu.
While Nakei walked away, Aubrey stood still. It has been years since they spoke, and just when he thought he had finally moved on and accepted their ending, turns out he was still frozen in time, staying in the same position as he was three years ago.
Everybody moved on, but not Aubrey.
He was always five steps behind everyone else.
Always.