esps — the day that changed everything
Dari tadi, Keenan sudah mengelap-elap tangannya di celana jeans yang sedang ia kenakan. Tangannya berkeringat, ia sangat gugup dan takut karena Jeanette yang mengajaknya untuk bertemu secara tiba-tiba di malam sabtu.
Ketukan di pintu mobil Keenan membuatnya menoleh, matanya langsung bertemu dengan mata perempuan cantik berambut oranye. Perempuan itu tersenyum tipis, sebelum masuk ke dalam mobilnya. “Mau ke mana?” tanya Keenan, membiarkan Jeanette mengabil alih. “Bebas, nyetir aja dulu. Kalo gue ngomong sambil di jalan, nggak masalah kan?”
“Gapapa. Emang mau ngomongin apa?”
“Lo,” Jeanette menegakkan posisi duduknya, seluruh atensinya sekarang berada pada Keenan yang dari tadi sudah menancap gas dan sedang fokus melihat perjalanan, “lo suka sama gue ya?”
Dari hujan turun sampai reda, Kahitna masih berada di posisi yang sama — masih di kasur, diselimuti oleh kain pemberian ibunya, sambil menggigit-gigit kukunya. Ia gugup, takut, lebih tepatnya. Apa yang sedang mereka bicarakan? Mengapa Jeanette tiba-tiba mengajak Keenan bertemu? Apa yang Jeanette rasakan sekarang? Apakah Jeanette sudah membuat keputusan? Apakah Jeanette sadar bahwa Keenan lah pilihan yang terbaik di antara kedua pilihannya? Ada seribu satu pertanyaan di kepala perempuan itu, dan seribu satu pertanyaannya tidak sabar mendapatkan jawabannya.
Kahitna takut, ia takut kalau seandainya Jeanette benar-benar menerima Keenan, ia tidak akan bisa mengontrol perasaannya. Selama ini, Kahitna lah jagoannya kalau soal menyimpan rahasia. Tapi, entah kenapa, perempuan itu merasa kali ini akan lebih sulit dari biasanya.
Berkali-kali Kahitna mengecek handphone-nya, menunggu pesan dari Keenan atau Jeanette.
Sudah tiga puluh menit ia seperti itu, dan sudah tiga puluh menit tidak ada kabar apapun.
“Jadi begitu, Je. Maaf kalau selama ini perbuatan gua ada yang bikin lu risih ya, I’ll be careful next time.”
Jeanette terdiam. Sekarang, mereka sedang berada di jalan Asia Afrika, entah kenapa tiba-tiba mereka bisa sampai di sini, karena dari tadi Keenan hanya nyetir tanpa tujuan.
“Makasih ya, Nan, udah jujur sama gue.” Jeanette memecahkan keheningan. “Tapi, menurut gue, the choice is now in your hands. I’ve now made it clear that I’m in a situationship with a guy that I still love very much.”
Keenan mengangguk.
“You’re a good person, Keenan. Menurut gue lo pantes menerima cinta dari orang yang tepat. And that person is not me. You and I know that very well, actually.”
Keenan mengangguk lagi.
“Gue cuman punya satu permintaan buat lo, just one last request. Is that okay?”
“Shoot.”
“Whatever happens, jangan sakitin temen gue, ya? For your information, temen gue jauh lebih berharga dari pada lo atau Erol. Kalau lo bingung sama perasaan lo, ya udah, tapi jangan bikin temen gue ikut bingung sampai dia jadi orang gila, paham?”
Keenan mengangguk, kali ini dengan sedikit tawa lepas dari mulutnya.
“Kok ketawa sih?” Jeanette mengerutkan dahinya.
“Lo sesayang itu ya, sama Kahitna?” tanya Keenan. Perempuan di depannya tersenyum, senyuman yang ia tunjukkan begitu hangat sampai Keenan bisa memahami apa yang ia rasakan tanpa berbicara. “She’s my best friend. Even if we sometimes have little fights, gue akan selalu balik ke dia. Ujung-ujungnya, orang yang paling berharga di dunia ini buat gue tetep dia. Karena menurut gue, dunia gue akan baik-baik aja asal gue punya Kahitna, Neyra, dan Rulla.”
Laki-laki itu terkagum. Ternyata, pertemanan perempuan semanis ini ya? Ia iri, ia tidak akan pernah bisa berkata begitu tentang teman-temannya. Gengsinya lebih tinggi daripada gedung Burj Khalia.
Kedua mata Kahitna pelan-pelan terbuka begitu ia mendengar dering handphone-nya berbunyi. Ia buru-buru mengangkatnya begitu nama ‘Keenan’ tertera jelas di layarnya. “Halo?”
“Gua udah selesai.”
“Hah? Oh, iya. Terus?”
“Ya udah.”
“Iya. Terus kenapa? Tadi ngomongin apa aja?”
“Nggak penting.”
“Hah? Maksudnya?”
“Gua di depan kosan lu.”
“Ngapain? Habis nganterin Jeanette ya?”
“Iyaa. Lu di kamar, Na?”
“Iya, kenapa?”
“Nggak apa-apa. Ya udah gua matiin ya.”
“Hah? Eh? Gitu doang?”
“I’ll talk to you later, ya, Kahitna.”
Tut tut tut…
Kahitna terdiam, bingung dengan percakapan lewat teleponnya barusan. Percakapan paling tidak jelas yang pernah ia alami. Ia benar-benar dibuat bingung oleh Keenan. “Makin hari, kok gue ngerasa orang ini makin aneh aja sih.”