Graduation
Nggak disangka hari ini adalah hari dimana mereka akan lulus.
Akhirnya, setelah 3 Tahun di SMA, mereka akan lulus.
Semua murid mengenakan robe dan topi graduation-nya. ada yang nangis, ada yang ketawa bahagia, ada juga yang lagi berpelukkan dengan teman-teman mereka.
As for Erloy dan Fayre, mereka sedang berbicara dengan orang tua masing-masing. Kedua orang itu memasang raut wajah masam. di waktu yang bersamaan, mereka kepikiran soal masa depan without each other.
It feels weird, since the two of them planned on staying together until their 90s.
Kairos menarik lengan Erloy untuk foto bertiga bersama Rafa, nggak jauh dari sana, ada Fayre yang lagi foto sama anggota prom. Ada Gavin di samping Fayre, tangannya menyentuh bahu perempuan itu sehingga Erloy merasa kesal.
“Heh, liatin mulu.” Rafa menjitak kepala lelaki itu, “Kalo mau balikan mah samperin aja.”
“Nggak segampang itu njing, lo kira gua gamau balikan?”
Kairos, yang sudah muak melihat Erloy dan Fayre seperti ini, menarik Erloy dari kerah bajunya lalu berjalan menuju Fayre yang baru saja selesai foto.
“Woi.” Panggil Kairos dengan nada sewot, perempuan itu menoleh dengan tatapan kaget. “H-hah?” Fayre terbata-bata.
“Ngobrol lo berdua, gue nggak mau tau pokoknya kalian ngobrol sampe puas.” Paksa teman mereka itu, “Kalo kalian balik-balik masih ada yang nggak kesampean, gue tonjok lu berdua.”
Serem.
Erloy dan Fayre memutuskan untuk ke gym sekolah, di mana prom waktu itu diadakan.
Lelaki itu masih ingat waktu Fayre mojok sendirian, she was hiding from the spotlight in the corner all alone, away from the crowd. That night, even when she was not under the lights, She still looked beautiful that he felt like crying. He didn’t though.
Mereka berdiri di tengah-tengah gym. Rasanya canggung, jadi mereka cuma bisa curi-curi pandang.
That was until Fayre broke the silence, “Kita udah lulus ya, Loy?”
Erloy hanya mengangguk, nggak sanggup mengeluarkan kata-kata.
“Kita lulus kayak gini, Loy?”
Lagi-lagi, Erloy hanya mengangguk. Namun sekarang ada sedikit senandung dari dia.
“Erloy,” suara Fayre mulai bergetar, “Aku nggak mau putus.”
Kali ini, Erloy mengangkat wajahnya untuk menatap Fayre yang matanya sudah berkaca-kaca.
Ah, rasanya sudah lama banget melihat Fayre face to face begini. Ini juga baru kedua kalinya Erloy melihat seorang Fayre menangis.
“Gue nyesel Loy. Gue harusnya nggak langsung main ajak putus aja, maafin gue Loy.” Fayre menenggelamkan wajahnya di kedua tangannya, “Gue tau lo pasti juga capek sama gue yang suka tiba-tiba ngambek nggak jelas karena cemburu doang. Gue juga tau lo bingung harus gimana sama gue yang suka marah-marah tanpa alasan. Gue juga…gue juga tau lo pasti capek sama gue yang—”
Erloy menggelengkan kepalanya, “Gue nggak pernah bilang gue capek sama lo Fay.”
“Tapi nyatanya gitu, Loy. Admit it, you were tired of witnessing my stupid complaints and inconsistent mood. Gue juga capek Loy, gue juga nggak suka sama diri gue yang kayak gini. I don’t know if you like how I initiate things, jadi gue berusaha buat jadi kalem kayak kebanyakan cowok suka.” Fayre terisak, “Gue tau gue nggak sempurna Loy, maybe you didn’t expect this side of me. Mungkin lo kira gue nggak cemburuan, heck, gue juga kira gue nggak cemburuan.”
“Tapi ternyata gue salah, ternyata kita salah. Gue lebih emosional dari yang gue kira, lebih keanak-anakan lebih dari yang gue kira. I was scared that you’ll stop liking me, tapi ujung-ujungnya gue—”
Erloy yang tadinya hanya diam, ikut meneteskan air mata saat melihat perempuan yang dia sukai terisak di depannya. “Fay…” gumamnya. Each breath he took, a bullet pierced through his heart.
“Fay I love you,” he said while trying his best to hold his tears back. “I love you and I’m scared of losing you too. You’re not the only one afraid, Fay. Gue juga takut lo bakal illfeel sama gue. Gue juga nyesel udah iyain lo waktu itu, gue juga nyesel cuma bisa marah-marah balik waktu lo marah ke gue.”
“I’m not the perfect guy, I’m sorry Fay. I thought I was understanding, because of what we went through with Kairos, but it turns out I’m not as nice as I thought. Gue ternyata juga nggak pinter ngontrol emosi dan amarah gue Fay.”
“I said too many hurtful things to you back then, I can never forgive myself for that. But, fuck, Fay I can’t lose you. I can’t afford to lose you. I treasure you so much.”
“Maybe you’re right, maybe I was tired of getting yelled and yelling at you. But even so, I still love you. I love you Fay, nggak ada past tense di sini. Gue masih sayang sama lo.” Erloy kali ini membuang mukanya, he couldn’t hold it in anymore, so he cries in his own hands.
“I’m a shitty person for making the girl I love cry, I’m so fucking sorry Fay. I don’t know how I’ll make it up to you, But I love you so much. I love you more than I can afford.”
Fayre yang tadi sudah berhenti menangis, ikut menangis melihat Erloy nangis untuk pertama kalinya. Its was 10 times more painful when you see the love of your life crying in front of you, because of you.
“Erloy,” panggil gadis itu, ia berjalan ke hadapan lelaki itu. “I love you.”
Perlahan-lahan, Fayre menarik tangan Erloy dari wajah lelaki itu and held it tightly. “Ini pertama kalinya gue liat lo nangis, dan jujur gue nggak tau harus gimana. Tapi yang pasti, gue nggak suka liat lo nangis. The fact that you’re crying because of me hurts me even more. I’m sorry. I’m sorry for hurting you, Loy. You’re trying your best to be patient and understand me but I was blinded by jealousy, I’m so sorry.”
Fayre kissed the boy’s hands, “I was so blinded by jealousy, that I didn’t get to hold your hand longer. I would always push you away when you tried to hold mine. I—”
Tiba-tiba saja, Erloy menarik Fayre ke dalam pelukannya. Ia menangis tersedu-sedu di pundak perempuan itu, rasanya kangen banget. It has only been a month since they last hugged each other, but it felt like ten years.
“Fay,” he mumbled on her shoulder. “If you’ll let me, I’d love to start over. Gue mau memperbaiki semua ini, gue nggak mau putus sama lo Fay.”
“Pertanyaan goblok,” Fayre tertawa kecil dan mengeratkan pelukannya. “How can I say no?”