Prologue
I hate parties.
I hate sitting in a room full of unfamiliar faces. I hate loud music. I hate it when people dance and accidentally bumped into me. I hate it that my mom forced me to come to a birthday party, when I don’t even know who the birthday boy is. She said it was her friend’s son. I didn’t even know she had friends who hold big parties like this for their son’s seventeenth birthday.
Sejak gue menginjak kaki di dalam rumah temannya mama gue, gue langsung bete banget. Gue nggak tau siapa-siapa di sini, gue merasa asing setiap kali mama gue ngobrol sama teman-temannya dan gue membuntuti dia dari belakang.
Sekarang, gue lagi duduk di paling pojok ruangan, kayak orang ansos. Kerjaan gue dari tadi cuma ngambil minum, ngambil makan, salam ke temen-temennya mama gue, dan seterusnya.
Berkali-kali mama gue nyamperin gue buat nyuruh gue ngobrol sama anaknya temen dia, tapi gue nggak nyaman with the idea of talking to someone who has been dancing and acting drunk even though there’s no alcohol around.
Akhirnya, gue memutuskan untuk bergerak dari posisi gue, ke luar rumah untuk mencari udara segar. Dari awal gue udah ngerasa sumpek di dalem, tapi nggak enak aja kalo tiba-tiba keluar, jadi gue mencari waktu yang pas.
“Finally…” gumam gue, menghirup udara segar sepuasnya lalu menghelanya.
Tapi, gue dibuat jengkel sama asap rokok yang tiba-tiba tercium. Gue membukakan mata, lalu menengok ke orang di samping gue.
Ada cowok yang duduk sambil ngerokok, mengenakan kemeja putih dan ada blazer hitam di pangkuannya. Mata kami bertemu. Gue terkejut saat menyadari siapa cowok itu.
Reyvan Pradipa, cowok yang pernah berpapasan dengan gue beberapa kali.
Pertama itu waktu kelas 10, di hari terakhir PAT. Saat itu, gue dipanggil sama kakak kelas gue, kak Dzaky, buat nemuin dia di ruang seni rupa. I won’t go into further details, but he asked me out. Waktu gue tolak, kita ribut sedikit, dan pas dia udah pergi, gue dibuat kaget sama Reyvan yang kejedot meja. Ternyata, dari awal sebelum gue masuk ruang seni rupa sama kak Dzaky, Reyvan udah di ruang seni rupa, tapi tidur di kolong meja.
Kedua kali gue papasan sama dia itu waktu sekolah kita lagi acara kompetisi antar sekolah. Saat itu, gue habis dimintain nomer handphone sama salah satu cowok dari sekolah lain yang ikut futsal. Setelah gue tolak dan cowon itu pergi, Reyvan datang dan nggak sengaja numpahin minuman Pop Ice nya, terus kena sweater gue dan sepatu dia. Tapi, bukannya minta maaf atau gimana-gimana, kita malah act like nothing happened.
Ketiga kali gue ketemu sama dia, itu waktu dia ke kelas gue karena telat sekolah, terus dihukum buat nyanyi Garuda Pancasila di depan kelas. Hari itu, dia ngeliatin gue mulu sampai gue ngerasa risih. Tapi, waktu gue tanya ke sahabat gue, Anais, katanya gara-gara ada bintitan di mata gue.
Selama tiga kali pertemuan itu, gue sama Reyvan belum pernah ngobrol sama sekali. Setiap kali mata kita bertemu, kita akan membuang muka dan pura-pura tidak kenal. Ya, emang gue sama dia nggak pernah kenalan sih.
Tapi, malam ini kayaknya akan menjadi pertama kalinya kita ngobrol. Dan mungkin, menjadi percakapan pertama dari banyak percakapan yang akan datang selanjutnya.