solonne

Fayre’s POV

Kemaren gue main hujan bareng Erloy, sekarang gue main hujan bareng sohibnya, Kairos.

Well, not really. Pas sama Erloy kita main-main beneran, kalo sama Kairos sekarang dia sambil ngomel-ngomel nyuruh gue cepetan masuk mobil. Jarak mobilnya sama McD lumayan jauh, tapi nggak jauh-jauh banget sih soalnya sekarang aja kita udah deket parkiran.

“Woi lama lu, Fay!” Sahut Kairos yang udah jauh di depan gue, mukanya kayak bete gitu, I think it’s funny.

Gue ketawa karena ekspresi Kairos yang lucu itu, dia beneran kayak bete, seru lihatnya.

Tapi Kairos cuma mendecak terus nyamperin gue, dia tarik tangan gue sambil lari ke arah mobilnya. “Nggak usah lama-lamain lu Fay, sepatu gue becek anjing.” Intonasinya kayak kesel, tapi nggak nyeremin sama sekali.

Sekarang kita udah masuk mobilnya, dia langsung copot sepatunya dan…ya…baunya langsung kecium.

“BAU BANGET ANJINGGG??” Gue ejek sambil nutup idung gue, menjauhkan diri dari Kairos yang barusan eye roll. “Makanya gue bilangin lu nggak usah lama-lamain bodoh.”

I laughed it off and sat comfortably on the passenger seat. Gue lagi sibuk nyari jepitan gue di tas sampe tiba-tiba gue ngerasa ada yang mendarat di kepala gue.

Kairos gave me his hoodie. He didn’t smile or anything, he just gave me his hoodie and adjusted his seatbelt. “Seragam kita warna putih, pake aja hoodienya. Nanti baju lo tembus.”

Déjà vu.

Gue menaikkan alis, “Such a sweet guy.” I teased. He picked the hoodie up and then threw it on my face. “Najis lo.”

Akhirnya, gue pake hoodie dia. It’s a bit smaller than Erloy’s, but it’s just as comfortable. The difference between his and Erloy’s hoodie was the thickness. Punya Erloy jauh lebih tebal dari pada punya Kairos.

“Hoodie lo tipis ya?” Gue tanya.

He glanced at me for a moment, “Yeah sorry about that, gue gampang kepanasan.”

“Oh, I don’t mind. Gue suka hoodie tipis.”


Kairos’ POV

After a few minutes we finally arrived at Erloy’s house. Rumahnya nggak terlalu jauh dari sekolah, tapi karena tadi mampir ke McD jadinya lebih lama.

“Stop.” Fayre tiba-tiba tahan gue yang tadinya mau keluar mobil. I turned to her, “Apaan?”

Without a warning, she wiped my face with a tissue. Gue yang kaget langsung menjauh, “Apaansih?”

“Lah, itu muka lo basah bego. Lap dulu, habis kena hujan kok kagak dilap.”

“Ya lo kan bisa kasih aja tissuenya ke gue.” I might’ve accidentally raised my voice a little high, but she doesn’t seem to notice. “Oh bener juga, sorry reflek.”

Gue nggak mau jawab, jadi gue langsung aja keluar dari mobil. We’re both in front of Erloy’s house now. Before I even get the chance to ring on the doorbell, Fayre knocked.

Mata kita bertemu, she was sticking her tongue out like she was mocking me. I rolled my eyes.

I don’t want to admit it, but…ah nggak jadi deh.

Anyway, I expected bang Revanzo buat buka pintu, but to my surprise, yang bukain malah Erloy.

Mata cowok itu langsung membulat, kaget pas liat Fayre di depan dia sambil megang McD. “Surprise!” The girl beamed, “Kita dateng buat jenguk lu, sekalian anterin buku-buku.”

I can tell Erloy’s both embarrassed and happy right now. Keliatan dari pipinya yang mulai merah dan matanya yang menyipit karena senyumnya lebar banget. “Kok nggak bilang sih?” Tanya dia.

Fayre tersenyum, selebar senyuman Erloy. “Namanya juga surprise.”

Gue mulai merasa terlupakan, mereka berdua bener-bener kayak lagi di dunia mereka sendiri.

“Ehem.”

The two turned to me and Erloy finally acknowledged my presence. “Eh lu juga ke sini?”

“Tsk, gue yang ngide ke sini goblok.” Decak gue.

He laughed, “Makasih ya.”

Udah. Gitu doang. Habis itu kita masuk ke dalem, Fayre asik ngobrol sama Erloy sedangkan gue duduk di sofa, liatin mereka berdua yang dari tadi ketawa-ketawa sendiri.

She’s still wearing my hoodie. She looks good in my hoodie.

Ya iyalah, orang hoodienya punya gue. Kalo Erloy yang make, palingan dia juga langsung jadi cakep. Iya nggak?

Iya bener, she looks good because of the hoodie. Bukan dia yang cakep. Tapi hoodie gue.

Betul.

Ini cuma gue yang risih karena nggak pernah deket sama cewek. Yeah, definitely. I have absolutely no feelings towards that girl. Gue juga cuma kesel dikit karena mereka berdua cuekin gue. I’m not asking for their attention but I don’t like how they act like I’m not here. Bener, gue cuma nggak suka dianggep nggak ada.

Iya.

Gue nggak suka sama Fayre. Sama sekali.

Habis dari sekolah, gue sama Fayre memutsukan buat makan di Burger King. Sekitar jam 6 kita udah duduk sambil makan pesanan kita, we talked, but not as much as I wanted. Mungkin karena gue emang nggak begitu jago nyari topik pembicaraan, that’s one of the reasons why I can’t get a girlfriend.

“It’s getting late, mau balik nggak?” Fayre suggested. But when I opened my mouth to respond, it suddenly started raining.

“Lah…”

Kita nengok ke arah jendela, makin lama hujannya jadi makin deras. Duh, gimana ya? Gue juga pengen pulang karena udah mau malem, tapi hujan gini masa kita—

“Terobos yok?” Ucap perempuan itu, matanya membulat kayak excited gitu.

“Lo suka main hujan?” Gue tanya.

Dia mengangguk, senyumnya makin lebar. “Dari kecil gue suka banget main hujan, abang gue badannya lebih lemah daripada gue jadi gue selalu main sendiri.”

“But this time, gue mau main hujan sama lo. Mau nggak, Loy?”

That’s unfair, gimana coba caranya gue nolak dia kalo dia masang muka kayak gitu?

“Ya udah, ayo.”


I know I said yes, tapi gue masih nggak percaya sekarang gue lagi hujan-hujanan sama Fayre, naik motor gue, sambil ketawa-ketawa nggak jelas.

It feels surreal, how her arms are wrapped around my shoulders. Iya, bahu, bukan pinggang. Kalo dia meluk gue, kayaknya gue bisa mencong-mencong nanti.

This reminds me of that one scene in Dilan. Eh atau Milea ya? Gue lupa yang mana, pokoknya salah satu dari kedua film itu.

“This reminds me of that scene di film Dilan sama Milea.” Fayre tiba-tiba bicara. Gila nih cewek, dia bisa baca pikiran gue apa gimana? Waktu itu peramal, sekarang mind reader nih?

“Really? Gue tadi juga mikir gitu.”

Jangan-jangan kita jo-

“Jangan-jangan kita jodoh, Loy?” Canda perempuan itu, tawa kecilnya terdengar jelas di kuping gue.

Hold on, dia beneran bukan mind reader kan?

“Nggak jelas.” That was all I could say, gue terlalu malu untuk jawab dia. Call me a simp, call me a loser, but I’m weak when it comes to things like this.

Fayre masih ketawa, kali ini sambil menepuk bahu gue. “Salting bilang aja sih.”

Gue nggak jawab, nggak bisa jawab juga. Gue beneran nggak kuat buat jawab. I can feel my cheeks heating up, gue nggak tau kenapa bisa, tapi gue yakin gue gini karena Fayre.

Nggak lama kemudian juga, Kita masuk ke perumahan Fayre. “Itu tuh yang pagarnya warna putih,” dia menunjuk ke arah rumahnya.

Hujan mulai reda pas kita udah berhenti di depan rumah Fayre. Gue turun duluan terus bantuin dia turun, soalnya dia pake rok.

“Thanks,” ucapnya sambil menepuk pundak gue pelan, “I had fun today.”

Gue cuma bisa senyum. Baju gue basah tapi rambut gue masih lumayan kering karena ketutup helm, sedangkan Fayre tadi make hoodie gue. We’re both soaked wet but somehow she still looks gorgeous in my eyes, I wonder why.

“Mau masuk nggak?” Tanya perempuan itu, “Minum teh dulu gitu, nanti lo masuk angin loh.”

ANJINGGGGGGG

Ya kali gue masuk rumahnya jam segini? It’s like, nearly 8 PM and we’re both wet from the rain. Nanti kalo gue ketemu sama orang tua dia bilang apa? Gue belom siap ketemu mereka. Kalo gue nggak sengaja manggil mereka calon mantu gimana? Nggak bercanda, nggak mungkin gue ngomong gitu.

“Nggak dulu deh, Fay. My mom is probably waiting for me right now, gue balik duluan ya.”

Gue nggak mau geer sumpah, tapi tadi Fayre mukanya kayak kecewa dikit kayak dikiiiiittt banget. Jahat nggak ya kalo gue seneng?

In the end, she smiled at me. “Bener juga, ya udah hati-hati baliknya.” Dia lepasin hoodie yang dia pake terus dia kasih ke gue– wait no, she’s making me wear the hoodie?

“Pake nih hoodie lo,” she covered my face with the hood and pulled the strings, tightening it. “Lucu ih.”

Gue malu.

“Kalo gini gue nanti nggak bisa liat jalan bodoh.”

Seolah-olah baru sadar, Fayre langsung lepasin genggamannya dari tali hoodie gue. I guess she was expecting me to push my hood back, tapi gue yakin banget pipi gue lagi merah sekarang, jadi gue diemin aja.

“Lo nggak lagi salting kan?”

“Nggak.”

“Bohong,” dia menunjuk-nunjuk muka gue. “You’re definitely blushing.”

“Nggak sama sekali.”

Setelah itu, Fayre jailin gue sampe gue akhirnya pulang.

Pak Doni tuh suka aneh, bilangnya mau ulangan, terus sebelum ulangan malah ngilang tiba-tiba ke ruang guru. Tapi nggak apa-apa sih, jadi masih ada waktu buat belajar (walau sebenernya gue sendiri nggak belajar).

Gue baru kelar beli kertas ulangan, tapi si Rafa nyuruh lama-lamain, jadi gue sekarang lagi ke kantin.

Ke kantin pun juga gue palingan beli minum terus duduk-duduk aja sekitar sepuluh menitan, terus baru balik ke kelas. Udah lumayan sering gue kayak gini, terus ntar kalo ditanya habis ngapain, jawab aja nunggu mas koperasinya dateng.

Lucunya, Pak Doni masih percaya sama gue padahal udah dari kelas 10 gue gini alesannya.

“Loy!” Tiba-tiba Kairos muncul dari belakang gue, “katanya lu UH, gimana dah?”

“Baru beli kertasnya, lagi nunggu 3 menit lagi baru ke atas.” Jawab gue.

“Oh, by the way, ada Fayre di sono.” Dia nunjuk ke arah pinggiran lapangan. Di situ ada Fayre sama temennya Miya, lagi ngobrol sambil ketawa-ketawa entag tentang apa. Gue tau Miya, kita berdua ekskul fotografi. Walaupun jarang ngobrol, but I know she’s a nice person. It’s a relief someone like her is friends with Fayre.

Kairos menepuk dada gue, “Mending lu beliin minum terus kasih ke dia dah.” Dia menunjuk-nunjuk mizone yang gue pegang, “Atau lo kasiu itu biar indirect ki-”

“DIEM.”

Si gila malah ketawa, seneng banget kayaknya bikin gua malu.

Tapi akhirnya juga gue beli air mineral, siapa tau dia kehausan kan? Sekalian modus. Hehe.

“Eh, eh, Fayre itu si Erloy di belakang lu.” Gue bisa denger Miya bisik-bisik ke Fayre sambil tepak-tepokin pundak cewek itu.

Dia nengok ke arah gue. Gila, mukanya aja tetep cakep walaupun keringetan. Nggak capek apa ya, cakep terus?

“Hai Loy.”

“Hai.”

Kita diem sejenak, gue daritadi cuma bisa liatin rumput yang dia dudukin dan dia cuma senyumin gue. Gue malu banget anjinggg, nggak sanggup liatin matanya.

“Ini buat lo,” gue menyodorkan minum ke dia. “Hari ini panas banget, enaknya tuh minum yang seger seger, Fay.”

Dia ketawa, terus menerima minuman dari gue. Her smile never leaving her face, “Thanks Loy.”

Gue ikut senyum ngeliatin senyumnya. I guess, bisa dibilang senyumnya Fayre ini contagious. Anjingggg cringe banget.

“Tapi,” Fayre ngelirik ke arah Kairos dan Miya yang daritadi liatin kita, “ngeliatin lu juga udah seger sih, Loy.”

Wah kampret nih cewek.

I don’t want to admit it, I hate to admit it, but my face felt like it was burning. “H-hah?” I stuttered, makin malu karena Kairos ketawain gue.

Fayre cuma senyum-senyum sedangkan Miya lagi nahan ketawa. Gue nggak tau kenapa, tapi kayaknya kalo gue sama Fayre, yang ada guenya yang salting. Padahal kan gue yang mau deketin dia.

Dear God, she’s driving me crazy.

Hari ini pelajaran pertama gue adalah PJOK, one of the subjects that I absolutely hate and suck at. Dari kecil gue emang nggak athletic sama sekali dan sampe sekarang gue masih nggak bisa dribble bola basket.

I think what made me hate PJOK even more was because dulu pas SMP gue diketawain mulu gara-gara nggak bisa main basket, gue malu sampe akhirnya benci banget sama pelajaran ini. Sekaligus bola basketnya.

Anyway, karena Miya izin nggak ikut PJOK, tuh anak duduk di pinggir lapangan sambil makan pempek, ngeliatin kita keringetan.

“Seru banget kayaknya makan pempeknya.” Gue berjalan ke arah Miya yang udah ketawa-ketawa ngeliatin gue kecapean. “Kasian amat lu, makanya gue bilang cabut aja sih.” Jawab perempuan itu. “Skip,” gue duduk di samping dia, “daripada ambil nilai pas yang lain udah, mending sekarang dah.”

Gue nggak tau ini gue doang atau enggak, tapi kayaknya hari ini cuacanya panas banget. Jujur ya, gue cuma pernah ngalamin pergantian dua musim. Gue belom pernah ngerasain musim semi, musim gugur, sama musim salju. But I know damn well that whatever or wherever it is, summer will always be my least favorite.

“By the way,” Miya nengok ke arah gue, “lo ngomongin siapa dah, di tweet lo?”

Mampus. Gue kan belom bilang kalo Erloy confess ke gue.

“Ada deh, gue baca webtoon gitu.”

“Bohong anjing, nggak ada webtoon kayak gitu.”

“Dih, tau apa lu?”

Miya natap gue nggak percaya, she lowered her eyebrows and stared at me, forcing me to tell the truth.

Gue menghela napas, percuma juga bohong sama Miya, akhirnya juga pasti ketauan.

“Itu kemaren si Erloy- eh tapi lo jangan cepu ya?”

Miya mendecak, “Iya elah buruan.”

Akhirnya, gue ceritain semuanya ke Miya. Sebenarnya gue awalnya nggak mau kasih tau dulu, lagian nggak enak juga sama Erloy. Gue nggak tau boleh kasih tau orang lain atau enggak soal dia suka sama gue, tapi karena Miya, semoga aja dia nggak keberatan.

“Oh.”

“Oh?”

“Iya, oh.”

Gue mengerutkan dahi, “Kok oh doang?”

“Yaaa udah kelihatan nggak sih? Ngapain dia dateng-dateng minta ramalan ke elo, itu aja udah mencurigakan banget.” Ucapnya kemudian melahap pempeknya lagi, “Tapi kocak juga sih, dia masih aja percaya lo peramal beneran.”

Mendengar itu gue jadi ketawa, ngebayangin ekspresi Erloy pas dia baru sadar kalo selama ini ramalan gue cuma bercandaan. Pasti lucu banget sumpah.

Lagian, pada dasarnya Erloy emang lucu nggak sih?

Hari ini pelajaran pertama gue adalah PJOK, one of the subjects that I absolutely hate and suck at. Dari kecil gue emang nggak athletic sama sekali dan sampe sekarang gue masih nggak bisa dribble bola basket.

I think what made me hate PJOK even more was because dulu pas SMP gue diketawain mulu gara-gara nggak bisa main basket, gue malu sampe akhirnya benci banget sama pelajaran ini. Sekaligus bola basketnya.

Anyway, karena Miya izin nggak ikut PJOK, tuh anak duduk di pinggir lapangan sambil makan pempek, ngeliatin kita keringetan.

“Seru banget kayaknya makan pempeknya.” Gue berjalan ke arah Miya yang udah ketawa-ketawa ngeliatin gue kecapean. “Kasian amat lu, makanya gue bilang cabut aja sih.” Jawab perempuan itu. “Skip,” gue duduk di samping dia, “daripada ambil nilai pas yang lain udah, mending sekarang dah.”

Gue nggak tau ini gue doang atau enggak, tapi kayaknya hari ini cuacanya panas banget. Jujur ya, gue cuma pernah ngalamin pergantian dua musim, gue belom pernah ngerasain musim semi, musim gugur, sama musim salju. But I know damn well that whatever it is, summer will always be my least favorite.

“By the way,” Miya nengok ke arah gue, “lo ngomongin siapa dah, di tweet lo?”

Mampus. Gue kan belom bilang kalo Erloy confess ke gue.

“Ada deh, gue baca webtoon gitu.”

“Bohong anjing, nggak ada webtoon kayak gitu.”

“Dih, tau apa lu?”

Miya natap gue nggak percaya, she lowered her eyebrows and stared at me, forcing me to tell the truth.

Gue menghela napas, percuma juga bohong sama Miya, akhirnya juga pasti ketauan.

“Itu kemaren si Erloy- eh tapi lo jangan cepu ya?”

Miya mendecak, “Iya elah buruan.”

Akhirnya, gue ceritain semuanya ke Miya. Sebenarnya gue awalnya nggak mau kasih tau dulu, lagian nggak enak juga sama Erloy. Gue nggak tau boleh kasih tau orang lain atau enggak soal dia suka sama gue, tapi karena Miya, semoga aja dia nggak keberatan.

“Oh.”

“Oh?”

“Iya, oh.”

Gue mengerutkan dahi, “Kok oh doang?”

“Yaaa udah kelihatan nggak sih? Ngapain dia dateng-dateng minta ramalan ke elo, itu aja udah mencurigakan banget.” Ucapnya kemudian melahap pempeknya lagi, “Tapi kocak juga sih, dia masih aja percaya lo peramal beneran.”

Mendengar itu gue jadi ketawa, ngebayangin ekspresi Erloy pas dia baru sadar kalo selama ini ramalan gue cuma bercandaan. Pasti lucu banget sumpah.

Lagian, pada dasarnya Erloy emang lucu nggak sih?