solonne

Selama 20 menit mereka berduaan di kamar Orlen, yang terdengar hanya suara perempuan itu yang sibuk mengetik-ngetik di handphone-nya dan Aubrey yang bergumam nggak jelas.

Aubrey mengangkat kepalanya, matanya tertuju kepada perempuan yang duduk di samping pintu itu. Wajahnya nggak terlalu kelihatan karena dia pake topi, tapi hidungnya yang mancung itu kelihatan banget.

“Woi, lu yang duduk di lantai.” Panggil Aubrey tiba-tiba, mengejutkan perempuan itu. “Hah?”

“Kalo misalnya lu diputusin sama orang pas lagi sayang-sayangnya, dengan alasan kalo dia nggak bisa nerima lo, tapi tiba-tiba dia malah balikan sama mantannya. Lu bakal gimana?” Tanya lelaki itu, matanya udah layu dan gerak-geriknya lemes.

“Hah?”

“Hah heh hoh,” Aubrey bangkit untuk duduk di kasur, “Kalo misalnya lu diputusin sama pacar lo karena—”

“Iya, iya, I heard you.” Perempuan itu memutarkan bola matanya, ia diam sebentar kemudian menengok ke arah Aubrey. Topinya masih dia pake sehingga wajahnya nggak begitu kelihatan. “Kalo kata gue, pasti orang-orang yang digituin kecewa banget. Tapi kalo dipikir lagi, perasaan nggak ada yang tau kapan datang kapan perginya.”

“Tapi gue nggak tau juga sih, gue nggak pernah pacaran.” Jelas perempuan itu kemudian kembali membelakangi Aubrey.

“So you think people can just come and go as they please?”

“It’s inevitable, in my opinion.”

There was silence in the room. Aubrey’s eyes were basically glued to her, and she felt a little uncomfortable due to his…long staring.

“By the way,” akhirnya Aubrey bersuara.

“Apa lagi?”

“Gue mau muntah.”


Orlen langsung berlari ke kamar mandi saat mendapat telpon dari temannya. Katanya, Aubrey nggak sengaja muntahin blazernya dan sekarang mereka lagi di kamar mandi. Perempuan itu menemani (dan membantu) Aubrey muntah dengan blazernya yang ia taro dekat wastafel.

“Oh my god, what happened?” Orlen langsung menghampiri mereka berdua, “Blazer lo apa kabar?”

Perempuan itu mendecak kesal, “Ya bau lah! Gimana lagi? Duh, ini blazernya mahal anjir.”

Lelaki itu menghela napas, ia menengok kepada Aubrey yang baru selesai muntah. “Lo nih bener-bener memalukan Brey, gue nggak tau harus bilang apa ke lo nanti waktu lo udah sadar diri.”

And right after Orlen finished his sentence, Aubrey passed out on the bathroom floor.

Maybe he took more than a sip.

Maybe he took the whole thing.

But it tasted better than he imagined, it’s not as bad as how his sister would say.

Aubrey sekarang lagi duduk di belakang meja dapur, wajahnya sembunyi di antara lututnya dengan air mata yang menetes.

He didn’t mean to actually drink. Tapi karena sebelum ke dapur dia lihat Freya pelukan sama Bastian, kayak ada peluru yang tembus ke dalam dadanya.

It hurts, seeing the person you like hugging someone else. It hurts even more when you thought you both had something. He genuinely thought Freya was happy with him, she made it seem like she was.

Was she happy with me? Dia pernah punya perasaan ke gue nggak? kedua pertanyaan itu selalu berputar di pikiran Aubrey.

Dia bilang dia baik-baik aja, dia pikir dia baik-baik aja setelah keluarin unek-unek yang selama ini dia tahan ke Freya. Tapi ternyata moving on itu nggak segampang yang orang-orang kira, nggak segampang yang dia kira.

It takes time, we shouldn’t be forced to move on so quickly. Itu yang Biya selalu katakan kepada Aubrey dan Arkansa.

Aubrey menghela napas panjang, “Semua ini cuma karena cewek? Lo payah Brey.” Gumamnya kemudian meneguk segelas bir lagi.

“There you are,” Orlen tiba-tiba muncul dari samping Aubrey. “Lo mabuk beneran Brey? Jesus christ, can’t you wait at least 30 minutes?”

Cowok itu terkekeh, “Sorry, nggak sengaja. My mistake.”

Orlen menggelengkan kepalanya, “Ya udah get up, gue anter lo ke kamar gue aja. Just sleep in there or whatever. Don’t do anything stupid.” He said and put Aubrey’s hands around his shoulder, “And don’t drunk text or call Freya, you’ll regret it.”

“Funny because I almost did.”

Orlen langsung buru-buru ambil handphone Aubrey, kemudian memblokir Freya dari semua social media yang Aubrey punya. “Gue block, kalo lu unblock gue nggak akan bolehin lo ke rumah gue lagi.”

Aubrey hanya tertawa melihat tingkah temannya yang khawatir itu, “Iya iya.”


“Siapa?”

Orlen membuka pintu kamarnya, ada seorang perempuan yang duduk di samping pintunya. “Oh elu?” Ucapnya.

“Kei, temen gue ada yang mabuk. Kalo gue titipin ke sini nggak apa-apa ya?” Lelaki itu membantu Aubrey tiduran di atas kasurnya, “Nggak bakal macem-macem kok.”

Perempuan itu membulatkan matanya, “Gila ya lo?! Lo ninggalin cowok yang gue nggak kenal, yang mabuk, sama gue? Di kamar? Yang bisa aja tiba-tiba pintunya ketutup?”

“Buka aja pintunya, Kei.” Orlen mengetuk-ngetuk pintunya, “I’ll come back here to check on you two, gue ke bawah dulu. Masih banyak guest yang baru dateng.”

“Are you seriously leaving me with a…with a drunk stranger?”

“He’s just going to sleep. He’s wasted, dia nggak akan bisa apa-apa.” Orlen meyakinkan perempuan itu sekali lagi, “Call me if anything happens, or just…scream. You’re really good at that.”

“Sounds wrong but sure.”

Orlen tertawa, “Maksud gue nggak gitu anjing. Udah ya? Gue tinggalin dulu, awasin dia jangan sampe dia buka hpnya atau nelpon-nelpon orang. Paksain tidur. Cekek kalo bisa.”

“Lo nyuruh gue bunuh dia?”

“Kalo dia macem-macem mah, bunuh aja.”

“Gue denger!” Aubrey yang setengah sadar itu berseru.

Reyvan’s POV

Gue sama kak Tara lagi di ruko depan, nyari makan malam soalnya mama udah tidur terus dia emang jarang masak. Ya kalo sibuk kerja mah emang nggak ada waktu buat masak sih, kita berdua juga biasanya dimasakin bibi tapi bibi lagi pulang kampung.

“Mau makan apa?” Kak Tara tanya ke gue, “Makan sate aja nggak? Tapi ngantrinya lama.”

Gue mengangguk, “Sate aja. Gue ke indomaret bentar ya kak, mau nitip nggak?”

“Hmm, choco pie deh.” Tiba-tiba dia nahan tangan gue, “Lo jangan beli rokok ya, awas lo.”

“Aduh iya iya, gue nggak bakal beli rokok sumpah.” Balas gue, genggaman kak Tara kenceng terus sakit banget anjir. Serem banget.

Finally, gue ke indomaret. Gue ke sini buat beli cemilan gara-gara udah abis, sekalian super bubur buat mama. Mama kalo buru-buru biasanya makannya super bubur, apa lagi sekarang gara-gara lagi nggak ada bibi.

Oh iya pada penasaran nggak kenapa kak Tara keras banget soal ngerokok? I’d tell you, but that’s a story for another time.

Pasti pada mikir kalo kak Tara keras banget sama rokok, orang tua gue juga anti rokok kan? Ironically, my mom smokes. Kak Tara tau soal mama ngerokok, dia udah berkali-kali ingetin mama tapi mama jawabannya selalu sama.

Iya iya, nanti berhenti juga kok. Nggak usah khawatirin mama, kamu kuliah yang bener aja.

Eventually she gave up, gue juga nggak tau mau ngelarang mama gimana lagi. Ya udah deh, akhirnya kita biarin. Mama juga ngerokoknya jauh-jauh dari rumah kok, jadi kita nggak kena asapnya.

“Totalnya 47.600 kak.” Kata mbak kasirnya, gue kasih dia 50.000 terus langsung ambil belanjaan gue. “Loh kembaliannya kak?”

“Simpen aja mbak, nggak apa-apa.”

“Terima kasih kak..”

Oh iya, back to soal ngerokok. Gue dulu pas SMP pernah sempet mikir buat nyobain. Bukan rokok sih, gue awalnya mau coba ngevape, tapi waktu itu kak Tara kebetulan dateng jadi gue nggak jadi.

Habis itu kak Tara marahin gue terus jelasin kenapa gue nggak boleh ngevape, ngerokok, minum dibawah umur, segala macem gitu dah.

Gue nggak berani ngelawan kak Tara, jadi gue iya-iyain aja. Tapi setelah mikir-mikir lagi, I’m glad gue nggak ngevape waktu itu. Bisa aja gue kecanduan terus susah berhenti kan? Lebih baik nggak usah nyoba dari awal—

“Aduh!”

ANJING ITU KEPALA ATO KEPALA SAKIT BANGET

“Duh duh duh, maaf saya nggak lihat jalan.” Orang yang nabrak gue meminta maaf. Suaranya familiar dah, kayak pernah denger. Dari mana ya?

“Loh, Reyvan?”

Lah?

Gue nunduk, mata gue bertemu dengan mata perempuan itu. “Eh, Yona ya?”

“Hah? Tau nama gue dari mana?” Dia natap gue sinis, anjir lagi-lagi dia sinisin gue.

Gue menaikkan alis, “Lo sendiri kenapa tau nama gue? Kepoin gue ya?”

Diem.

Kok diem.

Dia natep gue kenapa gitu banget sih? Kayak kakak kelas yang mau ngelabrak dekel.

“Apa sih? Freak banget.” She insulted me, but in a whisper. Tapi gimana ya? Gue denger anjir, terus gue kudu jawab gimana kalo dikatain kayak gitu?

Mata gue tertuju kepada plastik yang dipegang sama dia, “Lo ngapain ke apotek? Oh, buat bintitan lo ya?”

“Misi dong, gue mau ke parkiran.”

ANJIRRRRRRR GUE DIKACANGIN??

“Oh, iya sorry.”

And there she goes, gue liatin sampe dia masuk ke dalam mobilnya. Takutnya pas diperjalanan ke mobilnya dia nabrak orang lagi kan ya.

Tapi kenapa dia nggak suka banget liat gue sih? Gue salah apaan coba.

Masa gara-gara gue liatin bintitannya?

It was around early to mid December at the time, waktu itu suasana kelas rame banget lagi pada ngerjain tugas yang belom dikumpulin gara-gara bentar lagi ambil rapot semester 1. Fortunately, gue udah selesai semua tugasnya, jadi gue cuma duduk-duduk sambil main HP.

tiba-tiba aja di tengah pelajaran, pak Bambang mengetuk pintu kelas MIPA 2 dengan senyuman lebar. “Pak Rudi, ada anak kelas MIPA 6 yang telat nih. Katanya mau tampil sebagai hukumannya, boleh nggak pak?”

Pak Rudi melihat sekilas anak-anak yang telat itu, lalu tersenyum kembali. “Boleh pak, silahkan masuk.”

Kelas yang tadinya rame gara-gara nugas, sekarang diam dan memperhatikan dua murid yang telat itu.

Semua mata tertuju kepada mereka berdua. Gue cuma tau salah satu di antara dua orang itu, Aga, cowok yang pernah sekelas sama gue waktu kelas 10.

As for the guy next to him, I had no idea who he was. Walaupun udah deket-deket akhir semester 1, gue masih nggak begitu hafal anak-anak angkatan gue.

“Assalamualaikum nama saya Aga.”

“Nama saya Reyvan.”

“Hari ini kita akan menyanyikan lagu Garuda Pancasila.” Ucap Aga sebelum mereka mulai bernyanyi.

Jelek banget suara mereka, itu yang pertama muncul di otak gue. Tapi emang cowok-cowok biasanya gitu nggak sih? Kalau nyanyi, disengajain nggak bernada gitu, atau kayak dijelek-jelekin.

Seisi kelas tapi tertawa melihat mereka berdua, gue juga ikut ketawa karena Aga mukanya menghayati banget. Sedangkan cowok yang bernama Reyvan itu telinga dan lehernya mulai memerah, malu banget kayaknya.

“Aga oppa saranghae!” Sahut Zuran yang duduk di paling belakang. “Aga keren banget!” Lanjut teman sebangkunya, Niko.

Aga yang tadinya memejamkan mata langsung melotot terus tangannya kayak seolah-olah mau nonjok mereka, tapi pak Rudi duluan menurunkan tangannya Aga.

“Reyvan dari tadi ngeliatin lu tau, Yon.” Lea, sahabat gue, berbisik sambil menyenggol siku gue.

Hah? Reyvan?

Gue nengok ke cowok itu dan oh! Mata kita bertemu. Gue kira Reyvan bakal memalingkan wajahnya, tapi dia malah tetep ngeliatin gue, without breaking eye contact.

Karena mulai nggak enak, akhirnya gue break the eye contact.

“Apaan sih,” desis gue waktu Lea mulai memasang muka jailnya. “Kayaknya dia suka sama lu,” she teased.

“Ngomong sama tembok.”

“Ih serius, ngapain coba dia liatin lo kalo nggak karena naksir?”

I rolled my eyes, “Ada sesuatu kali di muka gue— lah iya, muka gue ada sesuatu nggak?”

Lea observed my face, “Um…nggak ada sih— eh…EH LO BINTITAN YONA?!”

“HAH?????”

“Fayre.”

Perempuan itu langsung menghadap Erloy, ia tidak bisa menyembunyikan pipinya yang merah merona dan matanya yang membulat.

“I’m gonna say this again, I’m really really bad at saying this kind of stuff.” He nervously scratched the back of his neck, “Fayre I like you.”

“I like you a lot. Setiap kali lo gombain gue atau mencoba buat bikin gue salah tingkah, rasa suka ini malah…malah makin-makin gitu. Aduh, gimana ya ngomongnya?”

She laughed, “Slow down, I’m listening.”

“I know.” He gave her a small smile in return, “I just want to word it nicely, since it’s a big thing for me.”

“I like you so much that I don’t know what I’ll do if I don’t do this sooner. Fayre, lo adalah perempuan pertama yang bisa bikin gue gila karena tingkah lo dan tenang karena keberadaan lo. Ah, does that make any sense? Pokoknya you’re literally the reason why my heart beats like crazy and also- you get it right?”

“Iya Loy.”

“I’m so so sorry gue beneran nggak jago merangkai kata-kata, tapi gue ada ramalan buat lo”

Fayre langsung tertawa, “Ramalan? Kan gue yang peramal?”

He rolled his eyes, “Oh please let me do this just once.”

“Hehe, okay sure. Apaan tuh?”

“Gue ramal malam ini lo bakal jadi pacar gue.”

Tepat setelah Erloy mengucapkan kalimat itu, Fayre langsung menarik lelaki itu mendekat ke wajahnya, their faces are only a few centimeters away from each other. “I guess you’re right, mulai malam ini gue pacar lo.” Gadis itu tersenyum manis, Erloy was sure he stopped breathing right at that moment.

“Shit.” Erloy tiba-tiba jongkok, mengejutkan Fayre. “Eh, kenapa? Sorry lo kaget ya? Gue nggak gitu lagi deh, sorry Loy.”

“JANGAN!”

“H-hah?”

“No it’s just-” he burried his face in the palm of his hands, “I’m just so happy I could die.”

Oh.

Mendengar itu, wajahnya Fayre langsung memerah. The butterflies in her stomach were driving her crazy. She wanted to marry Erloy right on the spot.

“I like you too Erloy, more than you think.”

Malam ini gue berencana buat nembak Fayre, entah bakal sukses apa enggak, yang penting gue udah berusaha.

Sekarang gue lagi duduk di ruang tamu rumah Fayre, sambil hadap-hadapan sama abangnya. I know him, kak Rangga, temennya kakak gue juga.

“MPK ya lo?”

“Iya kak,” jawab gue sedikit gugup. Biasanya yang gue lihat di film-film tuh kakak cowoknya pasti protective sama adek ceweknya, gue takut salah ngomong terus nanti nggak jadi dibolehin jalan bareng.

“Lo jurusan apa? IPS ya?”

“Iya kak, IPS.”

“Ekskul apaan?”

“Fotografi kak.”

“Oh, jago foto-foto ya lu?”

“Um, nggak juga sih kak. Hehe.” Buset nih orang nanya-nanya mulu, pertanyaannya masih banyak nggak sih?

“Kalo misalnya gue minta lu fotoin gue buat post instagram gue mau nggak?”

Ya ampun.

“Boleh aja sih kak, emangnya mau kayak gimana?”

Wajahnya yang tadi datar langsung berubah jadi lebih ramah dalam sekejap. “Gue mau kayak photoshoot gitu dong, terus kayak di cafe. Mayan juga nggak sih, gue kan ganteng gini.”

Pede bener.

“Dih pede banget lo?” Fayre tiba-tiba muncul terus menjitak kepala abangnya. “Heh! Gue lebih tua dari pada lo!” Seru kak Rangga, tapi Fayre cuma memutarkan bola matanya.

Ketika mata gue dan Fayre bertemu, gue langsung senyumin dia. Gue nggak tau, ini kayak otomatis aja gitu. Untungnya dia senyumin gue balik, “Berangkat yuk.”

Gue mengangguk kemudian bangkit dari sofa, “Mau nitip nggak kak?” Gue tanya kak Rangga.

“Eh?”

“Hah?”

“Hah…Kenapa…?”

“Mau dong, nitip kwetiau.” Kak Rangga tersenyum lebar ke arah gue, “Nanti duitnya gue ganti kalo lo anterin Fayre dengan selamat.”

“Itu pasti lah, kak.”

“Ya udah, sono sono. Jangan kemaleman yak, besok masih sekolah.”

“Bawel!” Seru Fayre sebelum kita berjalan menuju motor gue yang gue parkir di depan rumahnya.


“Ini di mana?” Tanya Fayre. Kita baru aja sampai di tempat tujuan, bukan di mall dan juga bukan di ruko. It’s only natural for her to be concerned. “Ini tempat menyendiri gue dulu, sebenarnya di belakang ini tuh rumah gue.”

“Lohhh? Terus kenapa nggak ke rumah lo aja?”

“I want to show you my old hideout, emangnya lu nggak mau liat?”

“Ya…mau sih…” jawabnya ragu-ragu, mungkin karena tempatnya gelap. But that’s because gue emang belum nyalain lampunya.

“If you feel uncomfortable, I’ll keep a safe 15 centimeters distance away from you.”

Dia natap gue. “Dari pada itu mending gini aja,” Fayre mengulurkan tangannya, “Mau?”

Mau lah gila, pake nanya.

“Boleh.” I intertwined my fingers with hers, a soft smile bloomed on both of our faces. See, this is the best feeling ever. The girl of your dreams holding hands with you while wearing a million dollar smile. No, kayaknya a million aja nggak cukup. Priceless lebih tepatnya.

“Ini dulu rumahnya nenek gue sebelum dia pindah ke bandung, rumahnya kecil kan? Dia tinggal seorang diri. Karena udah tua, akhirnya dia pindah ke rumah tante gue.” Gue mulai bercerita, I can see Fayre listening attentively to me.

“Dulu gue selalu ngevape di sini, sampai akhirnya kakak gue yang cewek ngegep gue. Dia langsung sita vape gue terus ngancem segala macem deh. Jujur, gue lebih takut sama kakak gue dari pada orang tua gue. Dia galak banget, serius. Mungkin juga karena orang tua gue terlalu sabar sama gue.”

“Lucu juga, pasti kakak lo cantik.”

“Tiba-tiba banget?”

She giggled, her eyes never leaving mine. “Kan adeknya aja ganteng, apa lagi kakaknya.”

God I am not one of your strongest soilders.

Gue menyentil jidat gadis itu, “Mulut lu banyak ngomong.” Fayre cuma ketawa-ketawa sendiri, aneh.

“Kita makan apaan emang di sini?” Dia akhirnya menanyakan pertanyaan yang gue tunggu-tunggu. “Kita delivery aja, siniin handphone lu.”

“Jadi ini makan di luar yang lu maksud- tunggu, kok handphone gue?”

“Handphone gue mati tadi, pinjem ya Fay?”

She looked at me suspiciously, “Ya udah, gue mau nasi goreng kambing aja ya.” Ucapnya terus dia ngasih handphone-nya ke gue.


Fayre’s POV

Udah sekitar 15 menit lebih Erloy megang handphone gue, katanya dia masih milih-milih makanan. Sumpah lama banget, gue udah keburu bosen duluan.

“Lama banget ngapain sih?” Tanya gue heran, Erloy lagi-lagi cuma menggelengkan kepalanya. “Bentar, gue udah tau kayaknya mau apa.”

“CEPETAN DONG GUE LAPER TAU!”

“Iya iya sorryyy.” Akhirnya dia kembaliin handphone gue, “Coba lu buka widget lo di homescreen slide ke tiga.”

“Hah?”

Kairos’ Pov

It’s been about 15 minutes since the bell rang, harusnya gue hari ini ekskul basket tapi gue nggak mood. Palingan ini ngobrol sama Erloy sebenarnya nggak lama-lama banget juga, but we usually end up going to McD after a long talk.

Dari kejauhan, gue bisa melihat sosok Erloy yang lagi duduk di salah satu kursi di kantin sambil minum pop ice. Matanya tertuju kepada anak-anak paskibra yang juga lagi ekskul di sebelah lapangan basket.

Ada Fayre juga di sana, he’s probably watching her.

“Gue bisa lihat muncul hati-hati dari mata lo.” I said and sat across from him. “Bacot lu,” Jawabnya.

Kita diam sebentar, mata gue sama Erloy tiba-tiba bertemu. “Jadi gimana?” Tanya lelaki itu, putting his pop ice aside.

“Where do I start,” Gue menghela napas, “Pertama-tama, gue mau bilang dulu kalo gue suka sama Fayre cuma baru-baru ini. Nggak selama lo kok, dan gue nggak ada niatan buat ngerebut atau deketin dia.”

“I’m sorry I didn’t tell you, tapi gue beneran nggak suka sama Fayre kayak lo. It’s more like…a really small crush, you know? Rasa suka yang bisa datang dan pergi gitu aja, it’s not that serious. I’m sure of it.”

“Lo boleh kecewa sama gue karena gue juga kecewa sama diri sendiri, gue nggak bermaksud buat suka sama Fayre juga Loy. It just happened.”

Erloy hanya mengangguk-angguk, ekspresinya susah ditebak. Dia nggak kelihatan marah, tapi gue nggak tau juga isi hatinya apa sekarang. Bisa aja dia diem-diem kesel sama gue kan?

“Gue nggak marah sih, Ros. I mean, what’s there to be mad about? Kan perasaan manusia nggak bisa diatur, jadi gue paham kok posisi lo.” Ucap Erloy. He’s always like this, really, always so understanding.

Mungkin itu alasan kenapa Fayre suka sama Erloy, dia punya rasa simpati yang tinggi.

“Though, I was a little disappointed that you didn’t tell me. Tapi itu juga bisa dimengerti, karena nggak gampang pasti ngasih tau temen lo sendiri lo suka sama gebetannya.”

“Thanks Loy, sorry gue nggak bilang ke lo duluan.” Gue menghela napas lega, Erloy senyum. “Nggak apa-apa, thanks for telling me.”

Hening lagi, but this time it wasn’t awkward. Mata Erloy kembali menonton Fayre yang lagi paskib, gue juga otomatis liatin anak paskib.

“Cantik banget.” Erloy senyum-senyum sendiri, “Keren juga, anjingg keren banget sih cewek orang.”

“Cewek lu.”

“Belom ah, gue belom tau mau nembaknya gimana.”

Gue menaikkan alis, “Lo udah mau nembak? Beneran?”

Dia mengangguk, “Kalo kelamaan pdktnya nanti nggak jadi-jadi.”

“Terus mau nembaknya gimana?” Gue bertanya, “Saran gue nembaknya jangan di depan orang-orang sih Loy, that’s embarrassing.”

“Buat lo.” Dia memutarkan bola matanya, “Nggak tau juga sih, I don’t have the balls to ask her out in public either.”

“So? What are you gonna do?”

“I’ll figure it out before Friday.”

Seeing Erloy thinking about asking Fayre out makes me feel happy. The thought of both of my friends having mutual feelings for each other really makes me feel good inside. Even though Fayre ini adalah perempuan pertama yang bikin gue nyaman, gue bakal lebih bahagia kalau dia jadian sama cowok yang selama ini perjuangin dia. Lagi pula, usaha Erloy nggak sia-sia kan?

Buktinya, Fayre juga jatuh cinta sama cowok itu.

Erloy’s POV

Sesampai rumah, gue langsung selonjoran di kasur gue. Pikiran gue kacau karena kejadian barusan, Kairos suka sama Fayre? Sejak kapan? Tunggu…kenapa dia bisa suka sama Fayre?

Gue nggak marah, gue nggak kecewa juga sahabat gue suka sama gebetan gue sendiri. Karena gue tau perasaan manusia itu nggak bisa diatur, lagi pula gue sama Fayre nggak punya status apa-apa.

Lebih tepatnya gue sedikit sedih karena Kairos nggak cerita ke gue, apa yang dipikirkan oleh cowok itu selama gue cerita tentang Fayre ke dia? Selama ini gue bikin dia sakit hati nggak ya ngomongin tentang proses gue sama Fayre mulu?

Gue belum hubungin Kairos, gue ragu. Gimana kalo orang itu nggak mau ngobrol sama gue dulu? Knowing Kairos, anak itu pasti sekarang lagi mau menyendiri.

“But what about Fayre?” I wondered. Gimana ya perempuan itu? Dia sadar nggak ya selama ini Kairos suka sama dia? Atau perasaannya sekarang gimana ya setelah dengar confession dari cowok itu?

“Should I text her?” Gue ngomong sama diri sendiri, I stared at my phone while debating whether to text her or not. “Tapi gue chat apaan ya…masa gue tanyain soal Kairos tadi? Gue kan bukan siapa-siapanya dia, ini kayak seolah-olah gue cemburu nggak sih entar?”

There are too many thoughts going through my mind right now, thoughts that I think I shouldn’t have cared about.

Tiba-tiba ada ketukan dari luar pintu gue, kak Revanzo masuk ke dalam kamar gue. “Ada temen lo di ruang tamu, temuin cepet. Udah malem banget, lo ngajak ketemuan?”

Gue mengerutkan dahi, “Nggak tuh?”

Gue langsung berjalan ke ruang tamu, ada Fayre yang hanya mengenakan kaos hitam dan celana lendek sambil menggigit-gigit kukunya. Ngapain coba dia malem-malem gini ke sini? Apa dia nggak kedinginan?

“Fay? Ngapain ke sini? Udah malem banget tau.” I softly said and sat next to her. Nggak terlalu deket, setidaknya kita berjarak sekitar 5 centimeter dari orang yang kita ajak bicara, biar lebih nyaman kalo kata kak Revanzo.

Dia masih gigit-gigit kukunya, gue perlahan menarik tangannya dari mulutnya. “Stop doing that,” ucap gue sebelum menggepalkan tangannya Fayre.

“Eh iya maaf, kebiasaan.”

I let go of her hand, tapi dia tarik tangan gue and intertwined our fingers together. “Bentar, jangan lepas dulu.”

Anjing dia kenapa??? Gue deg-degan.

“Erloy,” panggilnya lalu nengok menghadap gue, “Lo nggak marah kan?”

Hah?

“Marah? Marah kenapa?” Tanya gue heran. “Karena Kairos tadi?”

Dia mengangguk, “I swear gue nggak ada apa-apa sama Kairos kok. Kita cuma temenan, serius. But don’t blame him for what happened too, perasaan kan nggak bisa diatur. Eh tapi bukan berarti gue ngerasain hal yang sama ke dia..”

“Calm down Fay, gue nggak marah.”

“Iya?”

I nodded, “Iya, lagi pula emangnya gue punya hak buat marah? Nggak kan?”

“Ah…iya ya…”

Gue nggak pernah lihat Fayre segugup ini. Her thumb drew circles on the palm of my hand, I guess it’s her way to calm herself down. Tapi kenapa dia kayak takut banget ya? Gue sama dia kan nggak pacaran, dia beneran suka sama gue atau gimana? Kenapa kayak takut kehilangan?

Does she really like me?

“Fay.”

“Hm?”

Lo suka sama gue?

“Gue anterin pulang mau nggak?” Tawar gue, “Udah mau jam 12 malem, besok kita sekolah.”

“Gue bawa mobil kok, gue sendirian aja.”

“Beneran?”

“Iya.”

“Ya udah, pulang gih.” Gue tarik dia yang tadi duduk di sofa, I can see her cheeks turning red. Karena skinshipnya? Fayre akhir-akhir ini aneh.

“I don’t see you like this often.”

“Like what?”

“Nervous. Kenapa lo harus mastiin ke gue kalo lo sama Kairos nggak ada apa-apa? I mean, gue tau kok lo berdua nggak mungkin ada apa-apa.” Kita berjalan ke depan rumah gue menuju mobilnya sambil gandengan, “Lo pernah ada kejadian kayak gini Fay?”

Dia menggelengkan kepalanya, “Bukan gitu, lebih tepatnya karena gue…”

“Karena?”

“Karena…gue nggak mau ada kesalah pahaman diantara kita bertiga.”

Oh.

“Ohh gitu?”

Dia mengangguk, “Gue pulang ya Loy? Sorry to bother you malem-malem gini.”

“Nggak apa-apa, drive safe Fayre.”

Dia tersenyum, melepaskan genggamannya lalu mengelus-elus rambut gue. I got pretty used to it actually, tapi kadang gue masih kaget kalo dia tiba-tiba kayak gini.

“Ya udah gue masuk ya?”

“Eh, tunggu Fay.” Gue buru-buru melepaskan jaket gue yang dari tadi gue pake, awalnya mau gue kasih ke Fayre sebelum ngobrol tapi lupa. “Pake ini ya, udah malem banget pasti dingin di mobil lo.”

“Gue kan nggak gampang kedinginan, Loy.”

“Nggak usah nolak deh, let me take care of you for once.” I wrapped the jacket around her shoulders, “Kalo gini kan nggak terlalu dingin nanti.”

She laughed, “You’re so cute.”

“You’re cuter.”

“Apaan deh? Geli banget lo.” Dia memukul bahu gue pelan sebelum masuk ke dalam mobilnya.

“Kan lo duluan yang mulai?” I frowned. “Ya udah, pulang sana.”

“Kok ngusir sih?”

“FAYREEEEE PULANGGGG.”

“IYAAAAAAAAAAA, gue pulang yaa. See you tomorrow at school Loy!”

Kairos sekarang sedang duduk di passenger seat, sampingnya ada Fayre yang lagi benerin AC mobil biar nggak terlalu dingin.

“Kalo kedinginan tutup aja AC-nya.” Kata perempuan itu sebelum menancap gas, Kairos hanya membalasnya dengan anggukan lalu kembali fokus ke handphone-nya

Kairos couldn’t believe it. Untuk pertama kalinya, dia menghabiskan malam minggu ini dengan seorang perempuan yang bukan anggota keluarganya. Walaupun dia suka Fayre nggak selama Erloy, ada sedikit rasa bahagia di dalam hatinya.

The two were quiet, they didn’t talk much. But Fayre played the playlist that Erloy made for her and Kairos noticed. “Playlist buatan Erloy nih?” Dia menaikkan alisnya, sambil membaca deskripsi dan isi lagu di playlist itu.

“Hehe, iya. Lucu nggak? Jujur gue pas tau dia bikinin playlist buat gue, gue seneng banget.” Dia tersenyum sendiri, “Gue kira dia jarang dengerin lagu.”

“Emang.”

“Hah? Gimana?”

“Erloy emang jarang dengerin lagu, tapi gue inget waktu awal-awal suka sama lo dia bakal selalu check activity spotify lo lewat akun gue, terus dengerin lagu yang sama di akun dia sendiri.”

Wajah Fayre memerah and her heart was warm, ini perasaan yang sering dia rasain kalo dia bareng Erloy. At first, she would deny about it but as time passed she finally acknowledged it. “Really?”

“Really,” Kairos melirik perempuan itu, “He really likes you.”

Kedengerannya dia kayak biasa aja, tapi ada sedikit rasa pahit di dalam Kairos saat mengucapkan kalimat itu. “Really, really likes you.”

Fayre tertawa mendengar itu, “Thanks for telling me, walaupun gue tau tapi kalo denger itu dari temennya sendiri gue jadi seneng.”

“Bucin.” Kairos ejek kemudian keluar mobilnya saat mereka sudah selesai parkir di dekat ruko perumahannya.

“Berisik.”


“Mie yaminnya dua ya bang, terus minumnya aqua aja dua.”

“Dingin neng?” Tanya penjualnya.

“Iya—”

“Yang biasa aja,” Kairos interupsi. “Nggak boleh minum dingin malem-malem, sakit lu entar.”

Fayre mendecak, tapi dia nggak bisa membantah karena Kairos bener. Besok juga ada upacara, dia nggak boleh sakit karena dia pengibar bendera.

Setelah duduk, Mereka langsung membuka handphone masing-masing. It’s only natural to do so, ya emangnya mau ngapain lagi? Biasanya sebelum ngobrol juga pasti buka handphone dulu kan?

Tapi, Kairos bakal ngelirik Fayre setiap tiga menit. For no reason really, he just does it. Sebenarnya, lelaki itu lagi nggak buka apa-apa di handphone, melainkan dia sedang memikirkan percakapannya sama Rafa tadi di chat.

Confess? Batin Kairos sambil melirik Fayre yang lagi ketawa-ketiwi nonton tiktok, Yang bener aja

But to be honest, he did consider it. Dia juga capek harus pendem perasaan ini yang asing banget buat dia, karena ini juga pertama kalinya Kairos suka sama orang. He finds it ridiculous that the person is Fayre, his best friend’s soon-to-be-girlfriend.

“Kairos.” Panggil Fayre tiba-tiba.

“H-hah?”

“Emangnya lo pacaran sama anak kelas 10?” Dia bertanya, kemudian menunjukkan layar handphone-nya ke Kairos. “Kata Miya ada dekel yang ngaku-ngaku pacaran sama lo.”

Kairos membeku, ia mengerutkan dahinya tanpa menjawab pertanyaan Fayre. This made her suspicious.

“Beneran?! Kok lo nggak bilang sih anjir.” Dia menarik kembali handphone-nya, “Tapi nggak heran sih, dia emang cantik banget. Kalo nggak salah dia juga waktu itu menang olimpiade matematika deh waktu SMP.”

“Gue belom bilang iya.”

“Ah, nggak usah malu-malu dah luuu. Kalo mau backstreet nggak apa-apa deh, gue pura-pura nggak tau aja. Eh enggak, gue bakal jaga rahasia lo berdua, jadi tenang aja.”

Kairos mulai kesal, “Gue nggak pacaran.”

“Pembohong,” Fayre menggeleng-gelengkan kepalanya, “Kasihan gue sama cewe lo, nggak diakuin.”

“Ya gue nggak suka sama dia anjing!” Suaranya meninggi, “Orang gua sukanya sama lo goblok, masa gua pacaran sama orang lain?”

“Eh…”

“Eh.”

Keceplosan

Ah, fuck it

“Iya, gue suka sama lo. Kenapa? Kaget? Ya iya sih gimana lo nggak kaget. Gue sendiri juga kaget tau nggak tiba-tiba confess gini? Nggak, gue lebih kaget karena gue bisa suka sama gebetannya sahabat gue sendiri.” He paused to breathe, ia masih menatap Fayre tanpa memalingkan pandangannya.

“Tapi Fayre, I want you to know that I’m not expecting anything in return or just anything really. I’ve considered this for a while and I’m finally telling you how I feel. Don’t worry, gue yakin ini cuma small crush. Lagi pula, ini pertama kalinya gue suka sama orang. Gue nggak jatuh cinta sama lo, kayak yang Erloy rasain ke lo atau yang lo rasain ke Erloy, ini cuma rasa suka kecil yang akan hilang kapan aja.”

“Lo kalo nggak tau mau balas apa, nggak usah balas juga nggak apa-apa. Dengan ngomong kayak gini aja udah ngangkat satu beban gue. You listening to me right now is enough, I just hope that we’ll stay friends and I’m sorry if I’m making things awkward between us.”

“I’m finally letting it out, the feelings and the things I wanted to say since the day we decided to go to Erloy’s house to check up on him. Iya, Fay, gue suka sama lo sejak kita jenguk Erloy waktu itu.”

Fayre benar-benar bisu seribu bahasa, dia masih mencoba untuk memproses apa yang telah terjadi.

“Kairos—”

“Lo suka Fayre?”

Ada Erloy tepat di samping mereka, lelaki itu menatap kedua orang di depannya dengan tatapan bingung.“And you didn’t tell me?”

Shit. batin Kairos.

“Sorry, gue pulang dulu. Fayre ini duit buat bayarin mie gue, lo bungkus aja buat keluarga lo.” Kairos buru-buru pergi dari situasi canggung tadi. His heart felt heavy, melihat ekspresi Erloy tadi menumbuhkan rasa kecewa pada diri sendiri.

Kairos berhenti berlari saat dia sadar bahwa dia nggak bawa mobilnya, dia berdiri di samping jalanan sambil menatap langit yang gelap, saking gelapnya para bintang pun tak terlihat.

“Ah, I really didn’t think this through.”

It was a horrible, horrible night for him.

“Langsung cabut, Fay?” Tanya Raina, yang lagi menghapus eye make up-nya. Gue balas dengan anggukan, “Lo main sama yang lain habis ini?”

“Mhmm, pada mau nyari makan. Lo serius nggak mau ikut?”

Raina is such a nice girl, she makes sure everyone is included and never leaves anyone behind. “I’m good, thanks for the offer.” Balas gue dengan senyuman. Raina juga senyumin gue balik sambil mengangkat jempol, “Ya udah, hati-hati di jalan ya Fay!”

“I will!”


Gue sedikit kecewa.

Sedikiiiiit kecewa karena Erloy nggak bisa dateng. I was really happy when he told me he wanted to watch me, but now that he’s not coming, i feel a little bit disappointed.

Ya gimana nggak kecewa sih? Udah berharap tinggi ehh tau-taunya dia nggak bisa dateng. Tapi mungkin salah gue juga sih, udah berekspektasi tinggi.

It’s best not to expect anything from anyone—that’s what my brother told me.

Sekarang masih ada beberapa sekolah lagi yang siap-siap buat tampil. They all look really nervous, gue jadi keinget sama pertama kali gue lomba paskibra juga. Waktu itu, nggak ada yang nontonin gue. Sampe sekarang pun juga nggak ada yang nonton, my parents are busy with work and my brother isn’t really interested. I don’t blame them though, it can’t be helped.

Makanya gue seneng banget waktu Erloy bilang mau nonton gue.

“Ah, ya udah sih. Erloy juga punya kehidupan sendiri, you’re not his priority.” Gue ngomong ke diri sendiri. It’s my way of reminding myself that things won’t always go the way I want them to.

Coba aja Erloy dateng.

I felt a small tap on my shoulder. The moment I turned around, ada Erloy yang lagi tersenyum di belakang gue. Matanya menyipit dan senyumannya…his smile was shaped like a heart.

“Hai.” He waved his hand in front of my face, “Kaget nggak? Kaget ya, hehe.”

It was only natural for me to smile back at him, my heart felt warm and flowers were blooming in my stomach. God, is this what falling in love feels like?

Fayre, lo baru deket beberapa minggu sama Erloy. Slow down.

“Katanya ada acara keluarga?”

He giggled, “Bercanda doang, masa gue nggak dateng nonton lu? I promised I would.”

Gue menaikkan alis, “Lo nggak pernah ada janji kayak gitu ke gue tuh?”

“Emang. Gue janji ke diri sendiri bakal dateng buat nontonin lo.”

Bener-bener ya nih cowok, kenapa bisa lucu banget? Gue heran kenapa gue nggak kenal lebih deket lagi sama dia dari dulu.

“Lo liat gue tadi? Keren nggak?”

He nodded excitedly, “Iya, keren banget Fay! Believe it or not but I was really amazed.”

“Really?”

“Serius, lo keren banget. Waktu gue liat lo, rasanya kayak mau gue teriakin gini…” Erloy stepped away from me, his smile never leaving his face. “ANARELLE FAYRE KEREN BANGET AAAAAAAAAH GUE NGEFANS BERAAAT AAAHHH KAK FAYRE AKU—”

“HEH! Jangan teriak beneran goblok.” Gue jewer kuping cowok itu, malu banget soalnya tadi pak satpamnya ngeliatin kita.

Bodohnya cowok ini malah ketawa-ketawa, tapi sambil nepuk-nepuk tangan gue buat lepasin kupingnya. “Aduh, lepasin Fay please sorry sorry.”

“Lo gue gombalin malu, tapi teriak kayak tadi nggak malu? Aneh banget ya lo.” Gue menggelengkan kepala. But I’ll admit it, gue seneng dikit pas tadi dia teriak-teriak gitu. It was amusing.

Erloy masih ketawa, we both walked out of the school together. Gue nggak mau geer serius, tapi gue ngerasa kalo selama kita jalan ini Erloy tuh ngeliatin gue mulu. It’s making me a little nervous actually, karena sekarang gue suka sama Erloy.

Ah, gue jadi gugup tiba-tiba.

“Lo ke sini naik apa?” Gue tanya Erloy. Tapi pas mata kita bertemu, gue berhenti. I was right, he was staring at me after all. Gue malah jadi salah tingkah because he was still wearing the same smile. “Senyumin apaan sih?” I asked him.

“Lo.”

“Hah?”

“You looked really cool back there.”

Ini orang kenapa sih?

“Tadi lo udah bilang kayak gitu, nggak usah diulang gue paham kok.”

I glanced at him and he was still smiling. Dia nggak capek apa senyum mulu dari tadi? Jantung gue aja kayaknya capek liat dia senyum.

“Kok buang muka?” Erloy teased me, “Salting ya?”

This feeling is so…foreign to me. Gue nggak pernah segugup ini sama Erloy. Malah, biasanya gue kalo sama dia merasa tenang. Kenapa sekarang gue malah deg-degan?

Why is he the one teasing me now?

“Nggak.”

“Liaaaarrrr, I can see your ears turning red.” Dia senggol-senggol bahu gue.

“Coba nengok gue bentar.”

“Nggak ah.” Gue menolak.

“Ah bentar aja pleaseeeeee?”

“Banyak mau lu.”

Erloy wouldn’t stop annoying me dan terus senggol-senggol gue. Akhirnya gue terpaksa buat menengok ke arah dia. “Udah nih ah, puas lo?” Gue mendecak.

Erloy diem doang and it’s making me nervous. Apa gue salah ngomong ya?

Tiba-tiba, Erloy jongkok. His hands were covering his whole face. “Ahh gila Fayre,” he whimpered terus mengintip dari sela-sela jarinya, “Lo cantik banget.”

Apaan sih…

“Makasih, tapi please bangun. Kita lagi di tengah jalan, nggak usah malu-maluin.” Gue tarik-tarik lengan dia. He got up and he was still smiling, kelihatan banget walaupun dia masih nutupin mulutnya. “What’s gotten into you today?” I asked him as we both walked side by side, my hand was still grabbing his arm.

“Rencananya gue pengen bold sesekali, but I don’t think I can do it. Susah banget, apa lagi kalo ke elu.”

“Maksudnya?”

“Maksudnya walaupun gue udah berusaha buat bikin lo salah tingkah, ujung-ujungnya juga gue yang salah tingkah lihat lu salah tingkah.”

I laughed, “Belibet banget ngomongnya?”

“Lo aja yang bego.”

“Kurang ajar.” Gue pukul bahunya pelan.