solonne

Dari tadi, Keenan sudah mengelap-elap tangannya di celana jeans yang sedang ia kenakan. Tangannya berkeringat, ia sangat gugup dan takut karena Jeanette yang mengajaknya untuk bertemu secara tiba-tiba di malam sabtu.

Ketukan di pintu mobil Keenan membuatnya menoleh, matanya langsung bertemu dengan mata perempuan cantik berambut oranye. Perempuan itu tersenyum tipis, sebelum masuk ke dalam mobilnya. “Mau ke mana?” tanya Keenan, membiarkan Jeanette mengabil alih. “Bebas, nyetir aja dulu. Kalo gue ngomong sambil di jalan, nggak masalah kan?”

“Gapapa. Emang mau ngomongin apa?”

“Lo,” Jeanette menegakkan posisi duduknya, seluruh atensinya sekarang berada pada Keenan yang dari tadi sudah menancap gas dan sedang fokus melihat perjalanan, “lo suka sama gue ya?”


Dari hujan turun sampai reda, Kahitna masih berada di posisi yang sama — masih di kasur, diselimuti oleh kain pemberian ibunya, sambil menggigit-gigit kukunya. Ia gugup, takut, lebih tepatnya. Apa yang sedang mereka bicarakan? Mengapa Jeanette tiba-tiba mengajak Keenan bertemu? Apa yang Jeanette rasakan sekarang? Apakah Jeanette sudah membuat keputusan? Apakah Jeanette sadar bahwa Keenan lah pilihan yang terbaik di antara kedua pilihannya? Ada seribu satu pertanyaan di kepala perempuan itu, dan seribu satu pertanyaannya tidak sabar mendapatkan jawabannya.

Kahitna takut, ia takut kalau seandainya Jeanette benar-benar menerima Keenan, ia tidak akan bisa mengontrol perasaannya. Selama ini, Kahitna lah jagoannya kalau soal menyimpan rahasia. Tapi, entah kenapa, perempuan itu merasa kali ini akan lebih sulit dari biasanya.

Berkali-kali Kahitna mengecek handphone-nya, menunggu pesan dari Keenan atau Jeanette.

Sudah tiga puluh menit ia seperti itu, dan sudah tiga puluh menit tidak ada kabar apapun.


“Jadi begitu, Je. Maaf kalau selama ini perbuatan gua ada yang bikin lu risih ya, I’ll be careful next time.

Jeanette terdiam. Sekarang, mereka sedang berada di jalan Asia Afrika, entah kenapa tiba-tiba mereka bisa sampai di sini, karena dari tadi Keenan hanya nyetir tanpa tujuan.

“Makasih ya, Nan, udah jujur sama gue.” Jeanette memecahkan keheningan. “Tapi, menurut gue, the choice is now in your hands. I’ve now made it clear that I’m in a situationship with a guy that I still love very much.

Keenan mengangguk.

“You’re a good person, Keenan. Menurut gue lo pantes menerima cinta dari orang yang tepat. And that person is not me. You and I know that very well, actually.

Keenan mengangguk lagi.

“Gue cuman punya satu permintaan buat lo, just one last request. Is that okay?

Shoot.

Whatever happens, jangan sakitin temen gue, ya? For your information, temen gue jauh lebih berharga dari pada lo atau Erol. Kalau lo bingung sama perasaan lo, ya udah, tapi jangan bikin temen gue ikut bingung sampai dia jadi orang gila, paham?”

Keenan mengangguk, kali ini dengan sedikit tawa lepas dari mulutnya.

“Kok ketawa sih?” Jeanette mengerutkan dahinya.

“Lo sesayang itu ya, sama Kahitna?” tanya Keenan. Perempuan di depannya tersenyum, senyuman yang ia tunjukkan begitu hangat sampai Keenan bisa memahami apa yang ia rasakan tanpa berbicara. “She’s my best friend. Even if we sometimes have little fights, gue akan selalu balik ke dia. Ujung-ujungnya, orang yang paling berharga di dunia ini buat gue tetep dia. Karena menurut gue, dunia gue akan baik-baik aja asal gue punya Kahitna, Neyra, dan Rulla.”

Laki-laki itu terkagum. Ternyata, pertemanan perempuan semanis ini ya? Ia iri, ia tidak akan pernah bisa berkata begitu tentang teman-temannya. Gengsinya lebih tinggi daripada gedung Burj Khalia.


Kedua mata Kahitna pelan-pelan terbuka begitu ia mendengar dering handphone-nya berbunyi. Ia buru-buru mengangkatnya begitu nama ‘Keenan’ tertera jelas di layarnya. “Halo?”

Gua udah selesai.

“Hah? Oh, iya. Terus?”

Ya udah.

“Iya. Terus kenapa? Tadi ngomongin apa aja?”

Nggak penting.

“Hah? Maksudnya?”

Gua di depan kosan lu.

“Ngapain? Habis nganterin Jeanette ya?”

Iyaa. Lu di kamar, Na?

“Iya, kenapa?”

Nggak apa-apa. Ya udah gua matiin ya.

“Hah? Eh? Gitu doang?”

I’ll talk to you later, ya, Kahitna.

Tut tut tut…

Kahitna terdiam, bingung dengan percakapan lewat teleponnya barusan. Percakapan paling tidak jelas yang pernah ia alami. Ia benar-benar dibuat bingung oleh Keenan. “Makin hari, kok gue ngerasa orang ini makin aneh aja sih.”

Dari tadi, Keenan sudah mengelap-elap tangannya di celana jeans yang sedang ia kenakan. Tangannya berkeringat, ia sangat gugup dan takut karena Jeanette yang mengajaknya untuk bertemu secara tiba-tiba di malam sabtu.

Ketukan di pintu mobil Keenan membuatnya menoleh, matanya langsung bertemu dengan mata perempuan cantik berambut oranye. Perempuan itu tersenyum tipis, sebelum masuk ke dalam mobilnya. “Mau ke mana?” tanya Keenan, membiarkan Jeanette mengabil alih. “Bebas, nyetir aja dulu. Kalo gue ngomong sambil di jalan, nggak masalah kan?”

“Gapapa. Emang mau ngomongin apa?”

“Lo,” Jeanette menegakkan posisi duduknya, seluruh atensinya sekarang berada pada Keenan yang dari tadi sudah menancap gas dan sedang fokus melihat perjalanan, “lo suka sama gue ya?”


Dari hujan turun sampai reda, Kahitna masih berada di posisi yang sama — masih di kasur, diselimuti oleh kain pemberian ibunya, sambil menggigit-gigit kukunya. Ia gugup, takut, lebih tepatnya. Apa yang sedang mereka bicarakan? Mengapa Jeanette tiba-tiba mengajak Keenan bertemu? Apa yang Jeanette rasakan sekarang? Apakah Jeanette sudah membuat keputusan? Apakah Jeanette sadar bahwa Keenan lah pilihan yang terbaik di antara kedua pilihannya? Ada seribu satu pertanyaan di kepala perempuan itu, dan seribu satu pertanyaannya tidak sabar mendapatkan jawabannya.

Kahitna takut, ia takut kalau seandainya Jeanette benar-benar menerima Keenan, ia tidak akan bisa mengontrol perasaannya. Selama ini, Kahitna lah jagoannya kalau soal menyimpan rahasia. Tapi, entah kenapa, perempuan itu merasa kali ini akan lebih sulit dari biasanya.

Berkali-kali Kahitna mengecek handphone-nya, menunggu pesan dari Keenan atau Jeanette.

Sudah tiga puluh menit ia seperti itu, dan sudah tiga puluh menit tidak ada kabar apapun.


“Jadi begitu, Je. Maaf kalau selama ini perbuatan gua ada yang bikin lu risih ya, I’ll be careful next time.

Jeanette terdiam. Sekarang, mereka sedang berada di jalan Asia Afrika, entah kenapa tiba-tiba mereka bisa sampai di sini, karena dari tadi Keenan hanya nyetir tanpa tujuan.

“Makasih ya, Nan, udah jujur sama gue.” Jeanette memecahkan keheningan. “Tapi, menurut gue, the choice is now in your hands. “I’ve now made it clear that I’m in a situationship with a guy that I still love very much.*”

Keenan mengangguk.

“You’re a good person, Keenan. Menurut gue lo pantes menerima cinta dari orang yang tepat. And that person is not me. You and I know that very well, actually.

Keenan mengangguk lagi.

“Gue cuman punya satu permintaan buat lo, just one last request. Is that okay?

Shoot.

Whatever happens, jangan sakitin temen gue, okay? For your information, temen gue jauh lebih berharga dari pada lo atau Erol. Kalau lo bingung sama perasaan lo, ya udah, tapi jangan bikin temen gue ikut bingung sampai dia jadi orang gila, paham?”

Keenan mengangguk, kali ini dengan sedikit tawa lepas dari mulutnya.

“Kok ketawa sih?” Jeanette mengerutkan dahinya.

“Lo sesayang itu ya, sama Kahitna?” tanya Keenan. Perempuan di depannya tersenyum, senyuman yang ia tunjukkan begitu hangat sampai Keenan bisa memahami apa yang Jeanette maksud tanpa berbicara. “She’s my best friend. Even if we sometimes have little fights, gue akan selalu kembali ke dia. Ujung-ujungnya, orang yang paling berharga di dunia ini buat gue tetep dia. Dunia gue akan baik-baik aja asal gue punya Kahitna, Neyra, dan Rulla.”

Laki-laki itu terkagum. Ternyata, pertemanan perempuan semanis ini ya? Ia iri, ia tidak akan pernah bisa berkata begitu tentang teman-temannya. Gengsinya lebih tinggi daripada gedung Burj Khalia.


Kedua mata Kahitna pelan-pelan terbuka begitu ia mendengar dering handphone-nya berbunyi. Ia buru-buru mengangkatnya begitu nama ‘Keenan’ tertera jelas di layarnya. “Halo?”

Gua udah selesai.

“Hah? Oh, iya. Terus?”

Ya udah.

“Iya. Terus kenapa? Tadi ngomongin apa aja?”

Nggak penting.

“Hah? Maksudnya?”

Gua di depan kosan lu.

“Ngapain? Habis nganterin Jeanette ya?”

Iyaa. Lu di kamar, Na?

“Iya, kenapa?”

Nggak apa-apa. Ya udah gua matiin ya.

“Hah? Eh? Gitu doang?”

I’ll talk to you later, ya, Kahitna.

Tut tut tut…

Kahitna terdiam, bingung dengan percakapan lewat teleponnya barusan. Percakapan paling tidak jelas yang pernah ia alami. Ia benar-benar dibuat bingung oleh Keenan. “Makin hari, kok gue ngerasa orang ini makin aneh aja sih.”

Kahitna buru-buru membuka pintu kamarnya begitu mendengar satu-dua ketuk dari luar. Hal yang pertama ia lihat adalah sosok tubuh Keenan yang tinggi sebelumnya matanya tertuju kepada wajah laki-laki itu. Dari raut wajahnya, Keenan terlihat khawatir, dan ngos-ngosan. Kayaknya dia lari naik tangganya.

“Nih, obat lu.” ucap laki-laki itu, menyondorkan sebuah kantong plastik yang berisi obat-obatan dan cemilan. Kahitna tersentuh, ia tidak pernah diperlakukan sebaik ini oleh seorang laki-laki sebelumnya (walaupun hanya sebagai teman).

“Obatnya diminum terus langsung tidur ya, lu jangan macem-macem dulu.” Keenan bersuara, menyadarkan Kahitna dari lamunannya. “Kayaknya gara-gara kemarin kita hujan-hujanan bareng, lu jadi sakit deh, Na. Maaf ya.” laki-laki itu menundukkan kepalanya, ada rasa bersalah di dalam dirinya ketika melihat wajah perempuan kecil di depannya itu yang biasanya penuh warna, menjadi pucat.

“Hah? Kok jadi lu sih?”

“Jeanette bilang kemaren, lu paling nggak suka kalo keluar kamar waktu hujan. Tapi lu iya-iya aja waktu gua ajak. Lu pasti gak enak ya, nolak gue? Maafin gua ya. Kalo gua tau, dari awal gua gak ngajak, dan lo gak bakal sakit.”

“Tunggu tunggu, kenapa lo langsung mikir giru sih? Gue gak apa-apa Keenan. Lagian, I voluntarily accepted your ajakan, jadi bukan salah lo.” tekan Kahitna, berusaha untuk menenangkan Keenan dan menyapu rasa bersalah di dalam diri laki-laki itu. “Terus juga, I had a lot of fun kemarin. Justru karena lu, mungkin aja mulai sekarang gue bisa jadi lebih suka sama hujan. Because you created a good memory for me. So instead of being sorry, I think you should be thankful that I accepted your request yesterday. I’d appreciate that more.

Keenan masih belum mengangkat kepalanya, matanya masih melihat ke lantai, membuat Kahitna khawatir kalau laki-laki itu ternyata benar-benar merasa bersalah. Tanpa berpikir panjang, perempuan itu meraih tangan lawan bicaranya, menggoyangkannya agar ia melihat matanya. “Jangan lihat ke bawah, mata gue di sini.”

Namun, Kahitna langsung menyesali perkataannya. Karena begitu kedua netra Keenan bertemu dengannya, detak jantung perempuan itu bertambah cepat dua kali lipat. Ia bisa merasakan perutnya berputar-putar hanya karena tatapan laki-laki itu. “Maaf.” hanya itu yang diucapkan Keenan, dengan suaranya yang melas.

Kahitna tidak menjawab, karena dirinya sedang sibuk mengatur nafas dan detak jantungnya. Sial, sejak kapan Keenan jadi begitu atraktif di matanya? Ia tidak paham, dan ia tidak mau memahaminya.

“Iya,” balasnya, “kayaknya panas gue naik deh.”

Tanpa aba-aba, telapak tangan laki-laki itu sudah menyentuh jidat Kahitna, mengejutkannya lagi. “Iya lagi, lu harus minum obat terus langsung tidur sekarang. Kalau butuh apa-apa, chat gua aja Na.”

Kahitna mengangguk pelan, masih shock dengan aksi skinship tadi. “Gua balik gapapa gak Na? I don’t think I should stay here for any longer, to be honest. Maaf nggak bisa nemenin. Apa lu mau gua panggil Jeanette aja buat nemenin lu?”

“Jangan.”

“Eh? Kenapa?”

“Kalau lu yang bilang, nanti nimbulin kesalahpahaman. Entar, dia pikir kita deket banget sampe lu dateng ke kosan cuman buat ngasih obat. Emangnya lu mau, dia mikir kita sedeket itu? Hahaha.”

“Tapi, kita kan emang deket?” Keenan terlihat bingung.

“Tapi nggak gini juga, Nan. Dan sebenarnya, you shouldn’t be doing this for me, if I didn’t know any better I would’ve fallen for you.” jelas Kahitna, lagi-lagi sambil tertawa, dengan harapan bahwa tawanya itu bisa menutupi kesedihan dibalik kalimatnya. Ia paham betul bahwa apa yang Keenan lakukan adalah hal yang seorang Keenan biasa lakukan untuk siapa saja. Tapi bagi Kahitna yang hatinya sudah dibuat acakadul oleh laki-laki itu, ini bukanlah hal biasa.

What if I told you, I care more about you than Jeanette at the moment?

Well, shit.

Hampir saja Kahitna dibawa ke atas langit. Tapi mendengar kata-kata terakhir itu, ia tersadarkan. ”At the moment” katanya. Itu saja jelas untuk Kahitna, bahwa semua ini hanya sementara. Setelah Keenan dan Jeanette memiliki status yang jelas, semua ini akan hilang begitu saja.

“Gue pusing. Lo balik aja, Nan. Makasih ya obatnya.” ucap perempuan itu, menahan rasa sakit di dadanya. Ia tidak bisa melihat wajah Keenan saat ini, karena yang ada di pikirannya hanya betapa pedihnya cinta bertepuk sebelah tangan. Ini pertama kali Kahitna menyukai seorang laki-laki segininya, terlebih lagi, laki-laki itu menyukai sahabatnya sendiri.

“Sakit juga ya.” bisiknya pada diri sendiri, sambil meremas kain bajunya di bagian dada, menahan tangisan yang akan keluar.

As soon as Mona opened the door, she was stunned by Marsel who’s smiling at her while carying a paper bag, filled with pastries from The Harvest. She didn’t need to say anything, Marsel could tell how happy and surprised she is. His hand made its way to the top of her head, patting it gently, making Mona’s heart beat ten times faster than it already is.

“Kenapa tiba-tiba..?”

Marsel didn’t answer. Instead, he puts the paper bag down and pulls her into a hug, a very short hug that only lasted for five seconds because he pulled away almost immediately, she didn’t even have the chance to hug him back.

“Boleh masuk, nggak?” he asks. Mona nods shyly, moving away from the door so that Marsel could step inside.


As soon as he enters her room, he pulls her in again, embracing her with warmth that she has never felt before from him.

“Na, lu tau kan gua gimana sama lu?”

She nods.

“Lu tau kan, gua susah ekspresiin perasaan gua?”

She nods again.

“Ya udah gitu aja. Gue balik ya, Na. Jangan sedih lagi.”

He pulls away, leaving tingling sensations. Mona was too surprised to say anything, but her instincts told her to make him stay. She tugs on his hoodie. “Bentar.”

“Kenapa?”

With just a little amount of sanity she has left, Mona cupped his cheeks, forcing him to look into her eyes. “Just today, stay longer please?”

The look Mona gave Marsel was enough for him to close the distance between the two.

“Mas, ngapain sih?” Naima menyolek pundak laki-laki di depannya. Perempuan itu sudah menunggu sekitar lima belas menitan dan laki-laki itu nggak gerak-gerak juga dari awal dia mengantri. Untungnya hanya mereka berdua pelanggan yang ada di bawah.

Laki-laki itu tidak berani membalikkan badannya, ia menggaruk-garuk lehernya seakan-akan dia sedang gelisah. “Aduh sorry mbak, ini Mbanking saya nggak bisa dibuka nggak tau kenapa. Maaf jadi nunggu lama, saya lagi minta teman saya top up gopay saya dulu maaf ya mbak.”

Naima curiga, kok suara laki-laki ini kayak nggak asing ya? Punggungnya, tinggi badannya, bahkan tas yang digunakan familiar banget rasanya. Rasa penasaran Naika semakin tinggi. “Ya udah mas, saya bayarin dulu aja deh, nanti mas gantiin aja.” ucap Naima, ia maju ke sampingnya lalu mengeluarkan kartu debitnya. “Gabungin aja mbak, saya pesen hojicha latte satu ya.”

“Berarti hojicha latte nya dua ya,” ucap mbak kasir.

“Loh, Naima kan?”

Hm?

Siapa dia? Kok dia tau namanya?

Naima menoleh ke laki-laki itu, kedua matanya membulat begitu mata mereka bertemu. Yang bener aja, laki-laki ngerepotin yang dari tadi Naima ngedumelin itu orang yang dia suka waktu SMP.

Kenzie Arvandi.

Kenzie tersenyum lebar begitu melihat Naima. “Nai, udah lama banget gua nggak liat lu!” serunya penuh dengan kegembiraan. Lucu, menurut Naima. “Iya hehe, kok lu di sini, Zi? Bukannya rumah lu jauh ya?” tanya perempuan itu, agak malu-malu.

“Gua pindah rumah bulan lalu. BTW, thanks ya Nai, nanti waktu temen gua dateng gua suruh gantiin duit lu.”

“Nggak usah, nggak apa-apa.” ITU NGGAK NGGAK APA-APA NAIMA BODOH!

“Jangan lah Nai,” Kenzie menunjukkan layar Handphone nya, menunjukkan isi chatnya dengan temannya yang bernama Oji, “udah gua suruh tuh, katanya juga ‘oke’. Oke, Nai?”

Nai, Nai, Nai, Nai.

STOP SEBUT NAMA GUE!

“Eh, berarti lu suka hojicha juga ya?”

Naima mengangguk kecil. Senyuman Kenzie makin melebar. Begitu lah Kenzie, kalau dia ketemu orang yang punya kesamaan sama dirinya, dia pasti seneng banget. “Gua juga suka, suka banget malah! Dulu padahal gua nggak suka kan ya, tapi waktu gua coba punya adek gue, ternyata enak juga, terus gua ketagihan jadinya kalau pergi terus ada hojicha pasti gue beli.”

Kenzie masih tetap sama kayak Kenzie yang dulu Naima kenal, masih suka ngomongin hal-hal yang sebenarnya nggak penting, yang too much information, tapi hal seperti itu lah yang bikin Naima pernah suka sama Kenzie.

“Kak, boleh ditinggal dulu ya, nanti dibawain pesanannya.” kata mbak kasirnya yang dari tadi sedang menunggu waktu yang tepat untuk berbicara, karena nggak enak menganggu moment reuni dua teman lama itu.

“Oh iya iya mbak, sip, oke, makasih ya mbak. Nai lu duduk di mana? Gua di smoking area soalnya. Lu nggak di smoking area kan ya, ya udah gue duluan ya Nai, nanti waktu temen gua udah dateng gua ke lu!”

Lagi-lagi, Naima hanya bisa mengangguk kecil.

Sumpah canggung banget.

Gue ketemuan sama Kenzie di depan lift, dan sesampainya di sana, kita harus nunggu liftnya dateng. Masalahnya liftnya lama nyampenya, gara-gara kita di lantai 19.

Jujur, dari dulu waktu SMP sampe sekarang, gue masih nggak tau cara ngobrol sama Kenzie dengan bener.

Dari dulu, gue nggak pernah bisa ngomong yang jelas kalau sama dia. Selalu gagap dan lebih banyak diemnya dari pada ngomongnya. Gue nggak tau kenapa, padahal sekarang gue sama dia nggak ada apa-apa. Cuman rasanya tetep susah aja gitu, heran dah.

“Lama ya liftnya.” Kenzie yang membuka pembicaraan duluan. Gue cuman bisa bergumam sambil ngangguk-ngangguk, pura-pura lagi sibuk main HP, chattan sama orang yang sebenarnya nggak ada. Gue cuman ngetik ngasal di chatroom gue sama Mahika karena bingung mau ngapain.

“Gue gak jadi beli di jalan by the way, jadinya GoFood.”

“Iya, tau.”

“Ohh, udah tau?”

“Iya.”

“Awkward amat dah lu, Nai.”

Gue ngeliatin Kenzie dari ujung mata dengan sinis. “Ya gue bingung harus ngomong apa, aneh tau nggak.”

“Apanya aneh?”

“Lo.”

Kenzie menatap gue dengan salah satu alisnya naik, mukanya bingung. “Gue? Gue ngapain lagi anjir. Dari tadi lu ngatain gue aneh mulu, elu kali yang aneehh.”

“Ya pokoknya lu aneh! Nggak ada angin nggak ada hujan, tiba-tiba ngechat gue tadi.” Pintu lift akhirnya kebuka, gue sama Kenzie buru-buru masuk. “Maksudnya kayak, kita udah hampir setahun lebih nggak ngobrol, terus tiba-tiba lu langsung ngomong sama gue dengan personality baru lo itu. Ya sebenarnya nggak kenapa-napa sih Zi, cuman aneh aja buat gue. Lagian gue nggak pernah expect kita bakal ngobrol lagi, honestly, I thought we weren’t going to talk to each other anymore sejak kelas 8. Cuman ya udah, kan? Tapi aneh aja anjir, kayak…damn…tapi lu nyebelin banget jujur makanya gue kayak apaan dah nih orang.”

“Apanya yang aneh? Gue atau…?”

“Ya elu! Your whole new personality is weird to me, and so was our interaction.”

Kenzie cuman ketawa, dia narik tangan gue buat keluar dari lift karena ternyata dari tadi liftnya udah sampai bawah. “Kebanyakan bawel lu, itu lift dari tadi udah nyampe.”

Oh.

Padahal tadi gue bilang kalo gue nggak bisa ngobrol sama Kenzie kayak orang normal, tapi kenapa tiba-tiba tadi gue bisa bacotin dia secara langsung? Aneh. Kenzie yang sekarang aneh. Ada sesuatu di dalam diri Kenzie yang sekarang yang bikin semua ini jadi beda.

Habis nerima pesenan GoFood nya, Kenzie diam dulu, tiba-tiba dia ngelepasin tangan gue dan menjambak rambutnya sendiri. “GOBLOKKKK!”

“Eh, eh, apaan sih lo jangan teriak anjir udah malem. Kenapa sih?”

“Lu bawa kunci kamar?” tanya Kenzie dengan mukanya yang agak panik, gue mengerutkan dahi terus masukkin tangan gue ke dalem kantong celana gue, nyari-nyari bentuk kunci yang MUNGKIN AJA ada di dalem kantong gue.

Tapi ternyata gue juga sama tololnya dengan Kenzie.

“Nggak…”


“Lagian kok lu bisa sih lupa bawa kuncinya anjing, padahal lu selalu ngingetin gua sama Ilio buat jangan tinggalin kuncinya.”

Kenzie tadi akhirnya nelpon Oji, maksa temennya yang udah ngantuk setengah mati itu buat turun ke bawah dan jemput kita. Gue senyumin Oji dengan senyuman nggak enak. “Maaf ya Ji, jadi ngerepotin gini.”

“Gapapa Nai, kalo lu mah.”

“Genit lu, gua aduin Dira mampus.”

“Bercanda doang anjing.”

Sesampainya di lantai 19, Oji pergi masuk ke kamar duluan sedangkan Kenzie dan gue lagi bagi-bagiin makanannya.

“Pulang jam berapa besok?”

“Deket-deket jam checkout palingan, kenapa?”

“Nanya doang.”

“Ya udah gue udah ambil makanan gue, sana lu balik lagi ke kamar.”

Kenzie ngeliatin gue. Lama banget. Lama banget as in beberapa detik tapi menurut gue lumayan lama buat eyecontact. Gue sampe bingung harus ngeliat ke mana karena gue pribadi nggak bisa tahan eyecontact sama orang. “Kenapa?” gue tanya.

“Gapapa.”

“Apaan sih, aneh lu.”

“Iya, sorry. Good night Naima, sorry ya.”

Gue nggak jawab, dan cuman melambaikan tangan terus masuk ke dalam kamar. Bingung, kenapa tiba-tiba dia sorry? Apa yang dia minta maaf-in? Aneh, Kenzie emang orang aneh.

Aubrey menoleh ke suara deritan pintu terbuka, di situ berdirilah Nakei dengan satu kotak rokok di tangannya. “Hai,” sapanya dengan senyuman tipis. Ia kemudian berdiri di samping Aubrey sambil menyalakan rokoknya.

“Apa kabar?” tanya Aubrey, memulai percakapan. Nakei tersenyum lagi, lebih lebar dari sebelumnya. “Baik. I’m doing really well actually. You?” ia menengok ke Aubrey, penasaran apakah teman lamanya itu punya kisah baru tentang kehidupannya.

Same old, same old,” balasnya, “hidup gue gini gini aja. Kuliah-pulang-kuliah-pulang, kadang kalau mood gue main sama Arkansa dan Biya, tapi mostly I just stay in my room.”

“Beda ya.”

“Apanya?”

“Sama diri lo yang dulu.” Nakei tertawa kecil mengingat masa-masa SMA nya bersama Aubrey. Dulu, laki-laki itu pasti selau mengajaknya keluar main tanpa henti, walaupun nggak ada uang pun mereka tetap jalan-jalan entah ke mana. “You used to take me out everytime, Nggak tau ke mana pokoknya main aja terus. Sekarang lo jadi anak rumahan, udah keburu capek sama kuliah ya?”

“Nggak sih,” Aubrey ikut tertawa, “lebih tepatnya gue dulu ngajak lu keluar terus karena gue pengen bareng sama lu terus.”

“Oh…”

“Dulu, Kei.”

Iya, dulu.

“Brey,” panggilnya lagi. “Lu punya pacar nggak sekarang?”

Aubrey menggelengkan kepalanya. “Jangankan pacaran, suka orang aja gue belum ada.”

“Kenapa?”

“Nggak tau, yang pasti sejak lu, gue belum pernah suka sama orang lagi.”

“Kenapa gitu?”

I don’t know,” ia mengedikkan bahunya, “I guess you left a pretty big mark on me, Kei.

Perempuan itu terdiam, ia bingung harus bereaksi seperti apa.

“Brey, gue harap lo bisa menemukan orang yang cocok sama lo ya. Maaf gue nggak bisa jadi orangnya.”

“Kenapa nggak bisa, Kei? Even after years, lu masih nggak bisa pacaran?”

Ia menggeleng-geleng. “Nggak segampang itu, tapi I’m slowly accepting someone into my life.

Mata Aubrey membesar. “Siapa?”

Nakei tersenyum, senyumannya menunjukkan bahwa ada rasa fondness dibaliknya. Kelihatan banget kalau dia udah ngerasa nyaman sama orang yang dia omongin. “Just someone I met in Uni, dia juga orang Indonesia, terus dia kayak yaa kakak tingkat gue I guess?

“Gue duluan ya Brey, dicariin sepupu gue. Thanks for chatting with me, it was nice seeing you again.” Ia menggepalkan tangannya, mengajak Aubrey fist bump yang kemudian dibalas oleh laki-laki itu.

While Nakei walked away, Aubrey stood still. It has been years since they last spoke, and just when he thought he had finally moved on and accepted their ending, turns out he was still frozen in time, staying in the same position as he was three years ago.

Everybody moved on, but not Aubrey.

He was always five steps behind everyone else.

Always.

Aubrey menoleh ke suara deritan pintu terbuka, di situ berdirilah Nakei dengan satu kotak rokok di tangannya. “Hai,” sapanya dengan senyuman tipis. Ia kemudian berdiri di samping Aubrey sambil menyalakan rokoknya.

“Apa kabar?” tanya Aubrey, memulai percakapan. Nakei tersenyum lagi, lebih lebar dari sebelumnya. “Baik. I’m doing really well actually. You?” ia menengok ke Aubrey, penasaran apakah teman lamanya itu punya kisah baru tentang kehidupannya.

Same old, same old,” balasnya, “hidup gue gini gini aja. Kuliah-pulang-kuliah-pulang, kadang kalau mood gue main sama Arkansa dan Biya, tapi mostly I just stay in my room.”

“Beda ya.”

“Apanya?”

“Sama diri lo yang dulu.” Nakei tertawa kecil mengingat masa-masa SMA nya bersama Aubrey. Dulu, laki-laki itu pasti selau mengajaknya keluar main tanpa henti, walaupun nggak ada uang pun mereka tetap jalan-jalan entah ke mana. “You used to take me out everytime, Nggak tau ke mana pokoknya main aja terus. Sekarang lo jadi anak rumahan, udah keburu capek sama kuliah ya?”

“Nggak sih,” Aubrey ikut tertawa, “lebih tepatnya gue dulu ngajak lu keluar terus karena gue pengen bareng sama lu terus.”

“Oh…”

“Dulu, Kei.”

Iya, dulu.

“Brey,” panggilnya lagi. “Lu punya pacar nggak sekarang?”

Aubrey menggelengkan kepalanya. “Jangankan pacaran, suka orang aja gue belum ada.”

“Kenapa?”

“Nggak tau, yang pasti sejak lu, gue belum pernah suka sama orang lagi.”

“Kenapa gitu?”

I don’t know,” ia mengedikkan bahunya, “I guess you left a pretty big mark on me, Kei.

Perempuan itu terdiam, ia bingung harus bereaksi seperti apa.

“Brey, gue harap lo bisa menemukan orang yang cocok sama lo ya. Maaf gue nggak bisa jadi orangnya.”

“Kenapa nggak bisa, Kei? Even after years, lu masih nggak bisa pacaran?”

Ia menggeleng-geleng. “Nggak segampang itu, tapi I’m slowly accepting someone into my life.

Mata Aubrey membesar. “Siapa?”

Nakei tersenyum, senyumannya menunjukkan bahwa ada rasa fondness dibaliknya. Kelihatan banget kalau dia udah ngerasa nyaman sama orang yang dia omongin. “Just someone I met in Uni, dia juga orang Indonesia, terus dia kayak yaa kakak tingkat gue I guess?

“Gue duluan ya Brey, dicariin sepupu gue. Thanks for chatting with me, it was nice seeing you again.” Ia menggepalkan tangannya, mengajak Aubrey fist bump yang kemudian dibalas oleh laki-laki itu.

While Nakei walked away, Aubrey stood still. It has been years since they spoke, and just when he thought he had finally moved on and accepted their ending, turns out he was still frozen in time, staying in the same position as he was three years ago.

Everybody moved on, but not Aubrey.

He was always five steps behind everyone else.

Always.

Kauna and Rafa has no idea how they ended up in this situation. Beberapa menit yang lalu, Kairos memaksa Kauna untuk pulang bersama Rafa karena kosan mereka dekat. Selain itu, Kairos memang ingin mengusir mereka berdua karena langit sudah mulai gelap, dan Kairos tidak ingin ada orang di rumahnya. Bagi Kairos, malam hari adalah waktu ia beristirahat.

Suasananya canggung. Rafa masih malu karena insiden kamar mandi dan begitu juga Kauna. Kadang Rafa akan melirik-lirik ke arah Kauna, memikirkan bagaimana cara memulai percakapan dengan cewek itu.

Kauna juga sama, ia ingin sekali meruntuhkan dinding di antara mereka dan memulai percakapan. Namun, cewek itu terlalu malu untuk menatap Rafa.

“Lu cewek yang gue kira kuntil anak waktu itu kan ya?” Rafa akhirnya berbicara. Kauna, yang tadinya sedang menghitung berapa kali ia menghirup dan menghela nafas, kaget karena tiba-tiba Rafa bersuara.

“Hah? Oh…iya kah?”

“Ya enggak tau. Makanya gue nanya.”

“Iya kali?”

“Jadi iya apa enggak?”

“Menurut lu iya apa enggak?”

“Jangan bikin gue pusing please.”

Kauna tertawa melihat Rafa mengacak-acak rambutnya. Ia sengaja membuat cowok itu bingung agar suasananya tidak canggung-canggung banget. “Lu sepupuan ya sama Kairos?” tanya Rafa. Matanya bertemu dengan Kauna sekilas sebelum pandangannya kembali lurus ke depan.

Kauna mengangguk pelan. “Iya, gue sering ke rumah Kai gara-gara rumahnya lebih deket sama kampus gue dari pada kosan gue.”

“Oh ya? Lu orang mana aslinya?”

“Orang Jakarta kok. Sebenarnya, rumah gue juga gak jauh-jauh banget dari kampus. Lumayan sih, tapi orang tua gue maksa buat ngekos. Kayaknya mereka pengen banget ngusir anaknya.” Kauna melirik Rafa, ia memperhatikan cowok itu dari atas sampai bawah. “Kalau lu sendiri, asalnya dari mana? Sini juga kah?”

Rafa mengangguk. “Gue sama Kairos udah temenan dari SMP. Kita baru dekat waktu kelas sembilan.”

Oddly enough, menurut Kauna dan Rafa sudah merasa lebih nyaman dibandingkan sebelumnya. Menurut Kauna, Rafa orangnya lebih easy going dan talkative dari yang ia kira. Kedua orang itu memang pernah berbicara waktu pertama kali mereka bertemu di depan café milik Shaqa, namun percakapan mereka berakhir lebih cepat dari yang mereka kira, so they never really had the chance to get to know each other up until now.

Sisa perjalanannya mereka mendengarkan lagu-lagu yang ada di playlist Rafa sambil bersenandung. Kalau lagunya seru, biasanya Rafa menyanyikannya kencang-kencang dan Kauna akan menertawainya sambil ikut bernyanyi. Walaupun baru berbicara sebentar, mereka tidak merasa canggung seperti sebelumnya. Interestingly, they get along pretty well. Rafa yang sering berbicara dan Kauna yang responsif ketika ia bersama orang yang menyenangkan, membuat suasananya jauh lebih baik daripada sebelumnya.

Before they knew it, mereka sudah sampai di depan kosannya Kauna. Cewek itu melepaskan sabuk pengamannya dan langsung keluar mobil Rafa. “Makasih ya, maaf ngerepotin um…”

“Rafa. Nama gue Rafa,” ucapnya sambil mengulurkan tangan dari dalam mobil. Kauna tersenyum, berjabat tangan dengan cowok itu. “Gue Kauna. Nice to meet you Rafa, sekali lagi thanks for the ride. Hati-hati ya di jalan pulang.” Cewek itu melambaikan tangannya begitu tangan mereka berpisah.

Sebelum Rafa menutup jendela mobilnya, ia menekan klakson sebanyak tiga kali sebelum ia akhirnya pergi. Ia tertawa saat melihat ke arah spionnya, ia bisa melihat sosok Kauna yang malu karena perbuatannya dan buru-buru masuk ke dalam kosannya.

Kedua orang itu berpisah dengan berpikir bahwa ini akan menjadi pertemuan terakhir mereka, bahwa mereka hanya kebetulan berpapasan lagi hari ini.

Malam ini adalah pertama kalinya mereka benar-benar mengobrol. Mungkin saja, ini bisa menjadi pertemuan pertama dari pertemuan lainnya yang akan datang.

They don’t know that though, at least not yet.

“Kalo lu gimana, Fa? Udah punya pacar belom?”

That question caught me off guard. Gue menoleh ke Sabita, yang nanya ke gue. “Gak punya,” balas gue sambil tertawa canggung.

Rehan menaikkan alisnya heran. “Masa sih? Bohong ah lu. Lu kan gak jelek, pasti ada yang deketin lah.”

Gue hanya tersenyum lalu lanjut makan. Dari tadi siang pembahasannya tuh pacar, tunangan, nikah, mantan, pokoknya soal cinta-cintaan aja. Mungkin Rafa yang dulu bakal seneng-seneng aja sama topik pembicaraan ini, tapi Rafa yang sekarang udah bosen.

Mungkin karena rasanya kayak gue doang yang di sini yang gak punya pacar atau orang yang disukai.

Tai.

Jaihan tiba-tiba rangkul gue. “Fa, lu mau gue kenalin ke temen gue gak? Kesepian dia, mau cowok,” candanya sambil ngacak-acak rambut gue. “Gak usah tapi makasih,” balas gue.

“Ah jangan malu-malu gitu lu Fa, gue tau lu kesepian juga kan?”

“Biasa aja.”

“Sok dingin ihh,” ejek Sabita. “Padahal dulu lu kalo soal cewek pasti girang banget.”

Gue melirik ke arah Erloy, ngode kalo gue gak nyaman sama topik pembicaraan ini. Untung Erloy ada waktu-waktu pekanya, dia langsung ngeh dan ngalihin topik.

Gue ambil ini sebagai kesempatan buat kabur ke toilet. “Gue ke toilet dulu ya, perut gue sakit. Toiletnya di mana Han?” tanya gue sambil megang perut, seolah-olah kebelet boker. “Masuk aja terus nanti di sebelah dapur ada kamar mandi noh.” Dia menunjuk-nunjuk dengan dagunya.

“Oke, makasih.”


Ada alasan kenapa gue awalnya ragu-ragu buat ikut reuni 8F. Bukan karena gue gak suka sama temen-temen SMP gue, tapi ada satu orang yang pengen gue avoid at all costs.

Sebelum gue masuk ke kamar mandi, gue berpapasan sama Callista. Cewek itu nyapa gue duluan, and as much as I regret it, gue balas dengan senyuman.

“Apa kabar, Fa?”

Baru aja gue keluar dari kamar mandi, ini orang tiba-tiba udah di depan gue aja. “Baik,” balas gue dengan anggukan.

“Gue juga baik-baik aja. Lo kuliah jurusan humas ya? Enjoy gak?”

Haduuhhh

Alasan gue ragu buat dateng ke acara reuni itu karena gue males ketemu sama Callista. Call me childish, tapi gue memang bukan orang yang bisa berteman lagi sama mantan, rasanya aneh. Tapi, karena orang ini Callista, rasanya jauh lebih aneh dari pada biasanya.

“Biasa aja. Lu?”

“Gue? Gue apa?” Callista menatap gue bingung sambil menunjuk dirinya sendiri.

“Kuliahnya gimana?”

“Ohh, gue kan drop out, hehe. Lo gak tau? Padahal semuanya tau loh.”

Emangnya kita temen sampai hal kayak gitu gue tau???

Gue menggelengkan kepala. “Enggak, haha.”

Habis itu malah hening. Suasananya jadi canggung, apa gue yang merusak suasananya ya? Atau jangan-jangan ini kesempatan gue buat kabur dan akhirin percakapan ini?

“Fa, lo lagi marah sama gue?”

??? Apa lagi ini bangsatttt

“Kagak, kenapa lu mikir gitu? Gue biasa aja.”

Callista menatap gue dengan ragu-ragu. Dari situ gue sadar, kayaknya gue terlalu kelihatan ngehindarin dia, sampe dia nanya langsung. “Tapi lo sombong banget. Dari awal lo kelihatannya kayak ngehindar dari gue, kenapa sih? Gue ada salah? Lo gak nyaman sama gue? Lo kesel sama gue? Kenapa?” Setiap pertanyaan, dia maju selangkah, kayak berusaha memojokkan gue.

Callista maksa banget buat natap mata gue, buat gue malah buang muka dan gak nyaman. “Cal, jangan kedeketan, sesek.”

“Apa jangan-jangan…” dia ragu-ragu, “…gara-gara masalah kita putus waktu itu? Lu ngehindar gue karena kita pernah pacaran? Tapi itu udah lama banget, and it’s not that big of a deal.”

Not that big of a deal katanya

Gue mendorong Callista perlahan, menyuruhnya untuk jangan terlalu dekat-dekat. “Bukan gitu, Cal. Gue cuman ngantuk, sorry kalo kelihatannya kayak ngehindarin lu.”

“Tapi tadi siang–”

“Tadi siang gue gak sadar, sorry. Gue gak bermaksud.”

Cewek itu menghela nafas lega. “So we’re good, right?”

Sebenarnya, banyak yang pengen gue bilang ke dia, rasanya gak puas kalau gue biarin hal-hal yang terjadi dulu berlalu aja kayak angin lewat, apa lagi karena orang itu lagi di depan mata sekarang.

Tapi ujung-ujungnya, gue cuman tersenyum.

“Bagus deh kalau gitu. Lagian waktu itu kita kan masih bocah SMP, jadi masih cinta monyet, iya kan?” candanya sambil menyenggol lengan gue.

Lagi-lagi, gue cuman bisa tersenyum.

Orang yang paling menyebalkan adalah orang yang nyakitin kita dan menganggap itu remeh, seolah-olah mereka bisa menilai besar kecilnya rasa sakit hati orang lain.