solonne

“Say it to my face,” perintah Aubrey ketika Nakei membuka pintu rumahnya. Perempuan itu kaget saat melihatnya di depan rumahnya, jantungnya berdegup kencang karena tegang.

“What?”

“Ngomong sekarang, depan muka gue, kalo lu benci gue, kalo lu nggak mau ketemu gue lagi, kalo selama ini gue bego karena udah ngira lu ada rasa sama gue juga, kalo lu–” Aubrey tak bisa melanjutkan kata-katanya, karena yang ia rasakan setelah melihat wajah Nakei di depannya hanyalah sakit hati. Perih banget, melihat Nakei di depannya dengan tatapan yang lagi-lagi sulit diartikan.

Campur aduk, itu yang dirasakan Nakei sekarang. Ada banyak sekali hal yang ia tak bisa sampaikan kepada Aubrey, yang ia pilih untuk tidak menyampaikannya, yang ia pilih untuk ditahan karena keegoisannya.

Mata Aubrey berkaca-kaca, dan Nakei bisa melihat itu dengan jelas. Ia sangat benci melihat orang menangis di depan dirinya, dan lebih parah lagi, orang itu adalah Aubrey.

“Kalo lu benci sama gue, kenapa lu meluk gue semalem Kei? Kalo lu benci sama gue, kenapa lu semalem bilang ke gue buat jangan pergi? Kalo lu benci gue, kenapa lu bilang lu takut kehilangan gue? Kalo lu benci gue, kenapa lu bilang…” Aubrey menghela napas, “kenapa lu bilang lu juga mau suka sama gue, Kei.”

Nakei terdiam. Bukan karena ia tidak ingat soal kejadian semalam, tapi karena apa yang diucapkan Aubrey benar. Ia tidak ingat pernah mengatakan itu kepada Aubrey secara langsung, tapi yang diucapkan Aubrey benar. Ia ingin menyukai lelaki itu juga, tapi ia takut.

“Lo salah,” perempuan itu membuang mukanya. “Gue nggak pernah suka sama lo, gue nggak pernah minta lo buat tetap disini sama gue, gue nggak pernah takut kehilangan lo.”

Sesak, perih, pahit.

“Udah kan? Mending lo pulang sekarang,” Nakei mundur untuk menarik pintunya tutup, matanya masih tidak menatap mata Aubrey. “Gue bakal pergi dari kehidupan lo, jadi jangan berharap sama gue Brey. Gue nggak mau ketemu lo lagi.”

Selesai.

Kisah cinta Nakei dan Aubrey selesai tepat setelah Nakei menutup pintu itu.

Kisah cinta yang pahit.

Kisah cinta yang hanya berlangsung selama 7 bulan.

Kisah cinta yang akan selalu membekas di hati kedua orang itu.

Kisah cinta yang penuh dengan penyesalan.

Kisah cinta yang Aubrey benci.

Kisah cinta yang ingin Nakei lupakan.

Kisah cinta yang bahkan nggak bisa disebut kisah cinta.

cw// underage drinking

Gue emang mau ketemuan sama Nakei, mau banget malah. Gue kangen liat dia, kangen chattan sama dia, kangen ngobrol, kangen dengerin tawanya, kangen sepedaan sama dia. Tapi gue nggak pernah nyangka pertemuan gue sama Nakei setelah kejadian waktu itu bakal kayak gini.

Freya lagi bopong Nakei waktu gue udah sampe di lokasi yang dikirimnya, gue nggak tau gimana mereka bisa masuk ke tempat kayak gini tanpa KTP, tapi gue nggak mau nanya dan nggak mau tau.

“Sorry ngerepotin Brey,” ucap Freya terus menyerahkan Nakei ke gue. Cewek itu keliatan banget mabuk, wajahnya merah dan kecium bau alkoholnya. “Dia kayaknya nggak sengaja beli minuman beralkohol deh, tadinya sih dia mesen teh gitu tapi kayaknya nggak liat ada alkoholnya,” jelasnya.

Gue mengangguk, nggak mau banyak ngomong karena pengen cepet-cepet selesai aja. “Thanks Frey,” balas gue terus gendong Nakei di pundak gue sambil jalan ke mobil. Ada Freya di belakang gue, jagain Nakei dari belakang sekalian buat bukain pintunya kata dia.

“I know you two aren’t in the best of terms right now,” tiba-tiba cewek itu memulai percakapan. “Tapi gue harap lo nggak merasa keberatan, karena gue bener-bener nggak bermaksud buat bikin ini makin canggung buat lu berdua.”

Halah, terserah lo anjir. Gua juga ngeiyain gara-gara takut gimana-gimana. Kagak peduli gua sama lu.

Ya nggak mungkin gua ngomong gitu kan ya.

“Iye, santai aja,” jawab gue. Pas banget habis itu kita sampe di depan mobil gue, Freya bukain pintunya terus bantu Nakei duduk di passenger seat.

Gue diem sejenak, terus nengok ke Freya yang baru aja nutupin pintu mobil. “Ya udah anterin pulang ya Brey, hati-hati.”

“Lo sendiri ama siapa?” don’t get me wrong, gua gini gara-gara khawatir sebagai sesama manusia aja. Nggak ada niatan modus.

“Gue sama kakak gue, nggak mungkin lah ya gue bawa temen mabok pulang. Nanti dikira gue mabok juga.”

Huh.

“Ya udah,” gue masuk ke dalem mobil gue. “Duluan ya Frey.”

Cewek itu ngangguk, melambaikan tangannya sambil tersenyum. Gue inget senyuman itu adalah senyuman yang bikin gue jatuh cinta sama dia dulu, gue inget dulu gue nggak sadar kalo pemilik senyuman itu bakal jadi orang pertama yang nyakitin hati gue.

But that’s all in the past, I have someone else I’m worried about.


Selama diperjalanan, Nakei bergumam nggak jelas. Dia juga suka tiba-tiba ketawa-ketawa nggak jelas gitu, kocak sih, tapi dia lagi mabok jadi serem dikit.

Dia nengok ke gue, terus ketawa-ketiwi kayak orgil. “Eh Aubreyyyyy,” panggilnya sambil cengar-cengir. Kalo dia nggak mabok, mungkin gue udah salting ya dipanggil kayak gitu.

“Hmm, tau nggak Brey?” dia mengangkat jarinya lalu menunjuk-nunjuk ke arah jalanan. “Deket-deket sini tuh rumah bokap gue sama cewek barunya, sama anak-anak barunya, terus baruuuu aja tadi gue ketemuan sama mereka.

Aneh ya Brey, dia nyuruh gue tinggal bareng dia dan keluarganya, tapi waktu ketemu gue dia langsung buang muka pura-pura nggak kenal.

Gue juga bingung deh Brey, kenapa dia masih suka ke rumah gue tiap bulan padahal udah punya keluarga baru. Dia ngarepin apa ya?”

Gue cuma iya-iyain aja. Tapi walaupun begitu, gue masih dengerin dia. Karena tepat setelah ngomong itu, ia langsung bercucuran air mata.

“Gue kangen papa,” tangisnya. “Gue kangen papa sama mama bareng, gue kangen abang gue, gue kangen … gue kangen kehidupan gue yang dulu. Gue kangen diri gue yang dulu, kenapa gue kayak gini sekarang? Kenapa gue jadi brengsek gini Brey? Gue rusak ya?”

Gua nggak tau harus jawab apa. Nakei benar-benar nangis sekarang, udah lama gue nggak liat dia nangis. And her tears still breaks my heart even after all she did.

“Aubrey,” panggilnya dengan suara serak. “I miss you a lot but I hate you.”

Sakit.

Sakit banget denger kata-kata itu keluar dari mulut Nakei sendiri. Gue tau kalo dia mungkin illfeel sama gue, tapi gue nggak nyangka kalo dia bakal benci sama gue.

Ya kayak kata-kata orang aja, drunk words sober thoughts.

“Gue benci banget sama lo Aubrey, kenapa lo harus ngerusak pertemanan kita sih? We were doing so good until you said that word.”

“I’m sorry.”

“Are you?” dia membuang mukanya. “Are you sorry? What are you sorry for? Kenapa minta maaf? Lo ada salah sama gue? Lo ngapain dibelakang gue?”

Hah, dia ngomongin apa sih sebenarnya? Makin lama ngomong, makin nggak jelas.

“I’m sorry for liking you,” gumam gue, melirik ke Nakei sekilas lalu tersenyum pahit, “I’m sorry for asking you out.”

Nakei diem sejenak, terus tiba-tiba nangis lagi. Gue pengen meluk dia, gue pengen banget meluk Nakei yang nangis di samping gue. Tapi ya lagi di mobil anying, terus juga dia nggak akan suka gue meluk dia.

“Gue benci sama lo, gue benci banget sama lo Brey.”

“Jadi mau cerita dari mana?” tanya Orlen saat Aubrey sudah masuk ke dalam kamarnya. Lelaki itu sudah berusaha mencari-cari bir di sekitaran rumah Orlen tapi menyerah karena Orlen telah menyembunyikan semuanya.

“Gue langsung aja ya?” Aubrey berbaring di atas kasur temannya. “Gue suka sama Nakei.”

Orlen menyemburkan air yang ia minum ke wajah Aubrey, lelaki itu langsung berdiri dari kasur Orlen kemudian mengelap wajahnya dengan hoodie yang ia kenakan. “ANJING JOROK BANGET BANGSAT!?”

“S-sorry sorry, gue kaget,” Orlen batuk-batuk lalu menutup erat botol minum tadi. “Lo suka sama Nakei? Serius? Emangnya dia-”

“Dia bilang ke gue buat janji jangan suka sama dia 2 minggu yang lalu, tapi gue suka sama dia udah 5 bulan yang lalu, terus kemaren gue confess ke dia.”

“Terus gimana?” Orlen duduk di bean bagnya yang berwarna navy itu sambil mendengarkan Aubrey, “Nakei reaksinya gimana?”

“Nakei?” Aubrey mengela napas, “Dia kecewa sama gue. Tapi gue nggak ngerti kenapa dia sekecewa itu Len, emangnya salah gue gitu kalo gue suka sama dia? I mean, gue confess juga biar gue lega kan? If she rejected me, I’m completely okay with that. Masalahnya ini dia sampe marah ke gue dan gue nggak ngerti why does she have to go that far.”

“You know, lo bukan orang pertama yang kayak gini,” Orlen melempar-lempar pesawat kertas sembari mendengarkan Aubrey tadi. “I’m not saying I’m the first, karena gue emang nggak pernah suka sama Nakei kayak gitu.

Dia emang orangnya susah buat dimengerti Brey, dia juga selalu bikin janji-janji kayak gitu ke cowok-cowok yang nunjukkin tanda-tanda suka sama dia. Tapi ini baru pertama kali ada yang berani confess secara langsung ke dia, apa lagi udah dia suruh bikin janji kayak gitu”

Also, you know her unfortunate background right? Gue nggak bermaksud bilang lo confess itu salah Brey, I just thought maybe you’d understand better why she’s like that.”

“What the hell does her trauma have to do with me?”

Orlen tersentak, ia mengerutkan dahinya karena tidak percaya kata-kata itu keluar dari mulut Aubrey. “Dude?”

Aubrey mengacak-acak rambutnya frustrasi, “No, bukan gitu maksud gue Len. Gue nggak ngerti kenapa dia harus segitunya ke gue, lo juga tau kan dia tarik ulur sama cowok-cowok yang deketin dia? Dia kira gua nggak punya perasaan apa? Dia kira cowok-cowok nggak punya perasaan hah?”

“Okay, fine, she has commitment issues. But that’s not an excuse for her actions,” lanjut Aubrey. “I like her, I like her a lot Len. Tapi gue boleh sakit hati kan? I’m not even mad, gue masih sedih karena dia tau gue suka sama dia tapi dia-”

“Iya iya gue paham,” Orlen menghampiri temannya itu yang matanya sudah mulai berkaca-kaca. Aubrey ini sensitif dan gampang sakit hati, hampir semua orang terdekatnya tau itu. “Gue ngerti lo sakit hati Brey, gue ngerti lo masih mau temenan sama dia. But give her time okay? Dia juga pasti kaget karena ini baru pertama kali ada yang confess langsung ke dia, iya dia disukain lumayan banyak cowok tapi yang confess ke dia baru beberapa orang doang.”

“Lah kalo dia udah sering disukain orang kenapa dia butuh waktu? Gua chat aja lah anj-.”

Sebuah sentilan mendarat di jidat Aubrey, “Lo tuh batu banget ya? Gue bilang jangan chat dulu ya jangan. Lo kira keadaan lo sekarang ini oke buat chattan sama Nakei yang lagi kebingungan? Lo kalo bertindak tanpa mikir-mikir gini tuh bisa jadi alesan kenapa hubungan kalian lebih parah!”

Satu hal yang Aubrey tau adalah Orlen lebih memahami dan lebih dekat dengan Nakei, jadi pasti ia tau yang lebih baik untuk mereka berdua sekarang.

“At least jangan chattan seminggu Brey, give her one week. Dan kalo dia masih nggak ngechat lo, baru lo samperin dia duluan.”

Aubrey’s POV

Gue kagak bakal paham kenapa Nakei dengan santainya nge-iyain Freya yang dengan sok akrabnya mau jalan bareng kita.

Rasanya aneh banget jalan bareng gebetan terus ada mantan lu ikutan. Ditambah lagi, Nakei ini orangnya gampang akrab jadi dia sama Freya kalo lu liat sekilas doang pasti ngiranya mereka udah temenan lumayan lama.

Mind you, mereka baru ketemu kemaren.

Sekarang kita lagi di toko buku, Nakei sama Freya misah dari gue karena mau liat-liat novel. Karena gue sendiri jarang baca buku, gue memutuskan buat liat-liat stationery aja.

“Brey,” seseorang menyenggol bahu gue dari samping. “Ada manga Demon Slayer tuh, nggak mau beli?”

Oh, itu Freya.

“Nggak usah, gua juga udah nggak baca lagi,” balas gue kemudian jalan menjauh dari Freya yang tadinya deket banget di samping gue. Freya tersenyum, “Jadi inget dulu setiap ke rumah lo suka kaget ngeliat rak buku isinya manga semua. Pas pertama liat lo, gue kira lo bukan orang yang suka anime gitu, ternyata salah.”

“Iye, gara-gara Arkansa juga.”

“Hahaha, nggak kerasa udah berbulan-bulan ya since we broke up.”

Lah anjing kenapa dia bawa-bawa bego???

Gue udah ngerasa mulai nggak nyaman karena Freya bawa-bawa soal status kita yang ‘mantanan’ itu. Niatnya sih gue kagak mau tuh kesel kesel sama Freya lagi, tapi dia selalu aja bawa-bawa soal kita mantanan ini. Kalo lu mau temenan sama mantan lu, ngapain sih lu sebutin kata ‘mantan’ itu terus?

“Hah, lo sama Freya mantanan?”

ANJINGGGGGGGG

ANJING KENAPA NAKEI TIMINGNYA NGGAK PAS BANGET

“Eh, lo nggak tau?” Freya dengan tai nya ngomong gitu, malah bikin gua tambah gedeg. “Gue kira Aubrey cerita sama lo anjir, kita emang mantanan, putusnya beberapa bulan yang lalu.”

Nakei matanya melebar, seolah-olah dia baru sadar apa yang telah ia lakukan. “Jadi lo tuh mantannya Aubrey? Mantan as in ex girlfriend?”

Sebelum Freya jawab, gue narik tangan Nakei buat pergi dari toko buku itu. “Duluan ya Frey, gua ama Nakei ada janji sama orang lain habis ini.”

Kita nggak ada janji bareng orang lain habis ini.


“Brey sorry I didn’t know…”

Gue nengok ke Nakei yang memasang wajah nggak enak, kita berdua lagi di mobil diem-dieman sambil dengerin radio.

“It’s fine,” balas gue. “Gue sendiri juga emang nggak ngasih tau namanya sih.”

Nakei mengangguk. “Tapi lo nggak apa-apa? You know, ketemu mantan lo.”

“Gue nggak apa-apa Kei.”

“Serius? Maksudnya juga, mantan lo itu yang nyakitin lo sampe lo gamon lama itu kan? Eh sorry maaf maaf tapi kayak, beneran? Kalo masih gamon bilang aja I’m sorry I didn’t know she’s-”

“Jesus christ Nakei, I’m in love with someone else!” seru gue karena udah mulai kesel sama pertanyaan Nakei. “Oh iya, gue lupa. Hey, you never really mentioned who you like. Siapa? Lo suka siapa Brey? Anak Astra? Atau anak sekolah lo? Terus kok bisa sih anjir gue kira lo bakal sad boy selamanya HAHA kidding. Anyway siapa? Gue kenal orangnya ngg-”

Ini cewek pertanyaannya kagak ada berhentinya anjing.

“Lo.”

“Gue? Gue apa?”

Gue menghela napas panjang, mempersiapkan diri untuk ditolak sama Nakei. “Gue suka sama lo Kei, I have for a while now. But I can’t tell you that right? Karena itu artinya gue ngingkar janji.”

To be honest, gue udah berencana buat confess ke Nakei sooner or later. Gue bilang gue bakal gas kan? Iya, maksud gue confess ke Nakei. Baru 2 minggu yang lalu dia bilang ke gue buat jangan suka sama dia, tapi gue udah suka sama dia dari 5 bulan yang lalu.

“Brey..”

“No, let me finish,” gue mematikan radio lalu menghadap Nakei yang wajahnya susah diartikan. “Kei, gue tau lo nggak mau gue suka sama lo. Tapi gue udah suka sama lo dari 5 bulan yang lalu, can you imagine how I felt when you told me to promise you to not fall for you? Perasaan gue ke lo ini tulus Kei. I like you and I’m asking you for your permission if I can be your boyfriend.”

Gue sadar, selama gue ngomong panjang lebar tadi, Nakei malah mengerutkan dahinya.

“No you can’t,” ucap Nakei tegas. “5 bulan itu waktu yang sebentar banget Brey, kita aja baru kenal 5 bulan yang lalu juga kan? Itu nggak cukup buat lo suka sama gue. You don’t like me like that, mungkin lo cuma baper.”

“What?” gue mulai bingung, “Lo ngomong apaan sih Kei? Gue tau apa yang gue rasain ke lo itu rasa su-”

“Stop that,” perempuan itu membuang mukanya. “God, Brey, gue kira lo bakal paham waktu gue bilang jangan suka sama gue.”

“Maksudnya?”

“Can you be any more clueless?” Nakei menatap gue dengan kecewa, “Gue minta janji kayak gitu, itu biar lo nyerah.”

“Itu siapa?” tanya Aubrey yang tadi mengintip layar handphone perempuan di sampingnya. Nakei, pemegang handphone tersebut, mengedikkan bahunya. “Nggak tau, dari profile sama followingnya dia kakak kelas gue kayaknya. Emang suka nge-DM sama reply story gitu,” ujarnya lalu mematikan handphone.

Lelaki itu mengerutkan alisnya, ada rasa nggak nyaman di dadanya saat sekilas membaca isi percakapan Nakei dan kakak kelasnya itu. Tapi, tidak mungkin ia ngaku kalo yang ia rasakan adalah kecemburuan, jadi ia mengabaikan perasaan itu.

“Ah tapi,” Nakei menunjukkan isi percakapannya dengan kakak kelasnya kepada Aubrey, “menurut lu ini dia kayak mau deketin gue nggak sih? Nggak bermaksud kegeeran tapi dia kayak modus.”

Memang benar, Aubrey sekilas lihat percakapan mereka saja udah sadar kalo kakak kelasnya itu berniat deketin Nakei. “Iya dah kayaknye, sok asik anjir,” kata Aubrey. “Tapi gua liat lu ladenin aja tuh njir, ngape? Gua kira lu nggak demen ginian?”

“Emang,” jawabnya. “Tapi nggak apa-apa, seru lihat orang berusaha kayak gini. Ya, kalo dia udah mulai creepy, baru gue ghosting.”

Aubrey mengangkat alisnya, “Lu apa nggak tarik ulur kayak gitu? Dilihat dari respon lu juga lu kayak tertarik sama dia.”

“Gue tertarik kok,” perempuan itu mematikan handphonenya kembali lalu menghadap Aubrey yang dari tadi menatapnya. “Tapi bukan berarti gue mau pacaran, kan?”

Hah?

“Maksudnya? Kan, kalo tertarik, berarti lo ada rasa suka juga?”

Nakei tertawa mendengar pertanyaan Aubrey, “Ya enggak lah? Gue tertarik, tapi gue nggak suka sama dia. Kalo gue suka, bukan berarti gue mau pacaran kan?”

“Kenapa enggak?”

“Kenapa harus?” perempuan itu nanya balik. “Emangnya nggak bisa dua orang deket aja tanpa menjalin hubungan romantis? Lagi pula, pacaran itu temporary kalo menurut gue Brey. Nggak ada cinta yang permanen.”

Baru pertama kali Aubrey mendengar pandangan orang terhadap cinta seperti itu. Tatapan Nakei kosong, dan nada berbicaranya itu seolah-olah ia sudah ditanya hal ini berkali-kali dan sudah muak menjelaskannya.

“Lo…nggak pernah suka sama orang, Kei? Romantically?”

Pertanyaan Aubrey sukses membuat Nakei tersentak. “Pernah lah,” jawabnya. “But they never last more than a month. Tau nggak kenapa?”

Lelaki itu menggelengkan kepalanya.

“Because they always want something more from me,” Nakei menghela nafas. “That thing they want, I can’t give it to them. Actually, I can’t give it to anyone. Mau gue suka sama orang itu pake banget mau enggak, gue nggak akan bisa ngasih kepastian atau pacaran dengan mereka.”

“Itu artinya you don’t want them, Kei. You’re just in love with the idea of being in love, but you don’t take it seriously.”

“You’re right,” ia tersenyum. “I don’t, I can’t, and I won’t. It’s too much work.”

Tatapan itu lagi, batin Aubrey.

“Jadi jangan suka sama gue ya Brey?” Nakei menggepalkan tangannya untuk fist bump, “Bercanda, hehe. Tapi serius, gue bersyukur banget punya temen kayak lo Brey. Jadi gue harap kita bisa kayak gini selamanya.”

Dada Aubrey rasanya sesak, dan ada rasa beban di dirinya setelah mendengar itu. Ia paham kenapa Nakei mengatakan itu, tapi dirinya sendiri menginginkan mereka menjadi lebih dari teman. Secara tidak langsung, perempuan itu menolaknya sebelum ia diberi kesempatan untuk menembak.

“Oke,” jawab Aubrey lalu membalas fist bumpnya.

Tapi semuanya sudah terlambat, Aubrey sudah jatuh cinta terlalu dalam.

cw// mentions of divorce and cheating

Sore menjelang malam, Nakei tiba-tibe ngechat gue buat ngajak ketemuan, atau lebih tepatnya, minta dijemput.

I don’t know why, I forgot to ask her why, tapi gue langsung masuk mobil gue, nancap gas, dan pergi ke lokasi yang dikirim perempuan itu.

Beruntungnya, jalanan hari ini nggak terlalu macet, jadi perkiraannya 5 menit lagi gue sampai di tujuan.

Dan gue benar, dalam sekejap, gue udah di depan lokasi yang Nakei kirim. Gue tunggu di parkiran, nunggu Nakei keluar dari restoran tersebut. While waiting, gue ngechat Nakei kalo gue udah sampai, sekaligus nanya kenapa dia tiba-tiba minta dijemput di tempat kayak gini.

tok tok tok

Ketukan itu berasal dari jendela mobil gue, waktu gue keluar dari mobil … Nakei tiba-tiba menangis dengan kedua tangan menutupi wajahnya.

Gue … yang jelas gue kaget. Tapi gue harus apa? I don’t want to look like I’m the reason she’s crying, because I’m not! Tapi, gue bingung beneran harus gimana.

“Kei, lo mau masuk dulu nggak?” tanya gue khawatir. Gue nggak pernah lihat Nakei nangis separah ini, walaupun wajahnya nggak keliatan, gue tau pasti matanya udah mulai bengkak.

Perempuan itu menggelengkan kepalanya, instead, dia narik gue ke sisi lain mobil biar nggak deket pintu depan restorannya.

Dia masih nangis, dan gue masih berdiri di sampingnya canggung. Satu tangannya menutupi wajahnya sedangkan yang satu lagi megang tangan gue.

Sebenarnya … ada satu hal yang ingin gue lakuin, yang ingin gue tanyakan, tapi gue bakal kena tabok nggak sih, kalo gitu?

“Kei,” panggil gue sambil menggoyangkan genggamannya di tangan gue biar nengok, “Do you need a hug?”

Tanpa basa basi lagi, Nakei langsung menjatuhkan dirinya ke dalam pelukan gue. Karena tinggi kita yang nggak terlalu beda jauh, Nakei menangis tepat di bahu gue dengan kedua tangannya mengenggam hoodie gue erat. Tangisannya semakin menjadi, gue kebelet nanya tapi gue nggak enak.

And to be honest, it breaks my heart seeing her crying like this. Mungkin baru sebulan atau dua bulan sejak gue kenal sama Nakei, tapi melihat dia nangis kayak gini bikin gue ikut sedih juga.

Seeing the people you are close to crying makes you feel awful, especially when you don’t know how to help them.

Gue meletakkan salah satu tangan gue di dekat punggung Nakei, sedangkan yang satu lagi mengelus-elus rambutnya pelan. Dulu, kalo Biya lagi nangis karena kalah adu bacot sama Arkansa, gue lihat pacarnya selalu giniin dia. Mungkin Nakei akan merasa lebih baik kalo gue giniin.

At least, I hope so.

Around 10 minutes have passed, Nakei akhirnya berhenti menangis dan melepaskan dirinya dari pelukan gue. “Sorry about that,” ucap perempuan itu dengan tawa kecil.

“Nggak apa-apa,” balas gue. “Mau masuk nggak sekarang? If it makes you feel better, we can go for a night drive?”

Untungnya, Nakei tersenyum saat mendengar itu, “Boleh banget.”


The rest of the night, we drove around Jakarta while listening to our favorite songs. We don’t have a playlist together, because Nakei herself once said she doesn’t really make playlists. The reason? It was because her taste in music always change and she said it was a bother to make another playlist or change the songs in it once she was bored of it.

Menurut gue dia aneh dan alesannya nggak jelas, tapi gue iyain aja.

“Gue boleh cerita nggak, Brey?” Nakei tiba-tiba bersuara. Gue kaget dan langsung nengok ke perempuan itu, “Hah? Oh iya, cerita aja.”

Dia tersenyum sekilas, kemudian tatapannya kembali ke jalanan malam hari, “Tadi gue habis ketemu sama ayah gue, it was the first time after months, terakhir tuh waktu that night where I basically forced you to go to Dominos with me.” Gue sedikit kaget, gue kira dia selalu ketemu bokapnya at least once a week? I guess I was wrong.

“Usually, I would reject the offer. Tapi karena gue merasa gue selama ini keterlaluan sama ayah gue, akhirnya gue terima ajakannya. Sebenarnya, selama ini gue juga merasa gue egois karena jauhin ayah gue. Gue dulu nggak pernah mikirin perasaan ayah gue kalo gue jauhin, karena dipikiran gue waktu itu, dia jahat sama gue dan mama gue.”

“So, I thought, maybe if I had dinner with him once, things would be fine, kalo gue dinner sama dia sekali ini aja, gue bisa deket lagi sama dia, nerima dia, maafin dia, and … spend time with him like the old days.”

Nakei mengehela napas dan gue yang menyadarinya langsung dapet feeling kalo ini nggak akan berakhir baik-baik aja. “But I was wrong,” lanjutnya dengan senyuman pahit.

“He showed up, obviously, but he wasn’t alone. Dia datang dan duduk berhadapan sama gue bareng istri barunya. He didn’t look at me directly in the eye or answered me when I asked ‘dia siapa yah?’ so she had to introduce herself, he didn’t even bother to mention her name and … status? Gitu deh.”

Kali ini, Nakei memainkan jarinya, “Gue kaget yang pasti, tapi gue lebih kaget karena waktu ditengah-tengah lagi makan, dia ngajak gue tinggal sama dia dan keluarga barunya. Keluarga barunya that consists of 2 daughters and 1 son.”

I stopped the car in front of Dominos, the same Dominos we went to a few months ago. Kenapa gue berhenti? Karena one, gue capek nyetir, and two, gue kaget sama ucapan Nakei barusan.

Nakei tertawa lagi, “Kurang ajar nggak sih? Dia selingkuhin mama gue di hari wisuda SMP gue, habis itu dia dengan brengseknya bilang itu nggak sengaja, and after that he disappeared and suddenly came back to file a divorce! Now, he’s asking me to move in with him, which literally means leaving my mom all by herself and-”

Nakei kelihatannya nggak sanggup ngelanjutin kalimatnya, karena setelah itu, dia nangis lagi. Kali ini, dia nggak nutupin wajahnya.

Gue dibuat panik sekaligus kaget sama Nakei yang tiba-tiba memukul-mukul kepalanya sendiri, gue langsung cepet-cepet tarik kedua tangan perempuan itu dan mengenggamnya erat agar dia nggak mukul dirinya sendiri lagi.

“Hey hey hey, calm down Kei,” kata gue sambil menepuk-nepuk bahunya pelan. Perempuan itu masih menangis. Menangis karena kesal, sedih, frustrasi, dan kecewa. I can’t imagine how horrible she feels right now.

Nakei terisak, “Gue kira ayah gue cinta sama mama gue, Brey. Beliau bilang kalo mama adalah satu-satunya wanita di dunia ini yang ia cintai setelah ibunya. Fuck, how am I supposed to believe in love after what he did, Brey? He ruined everything!”

Gue bisa merasakan tangannya Nakei gemeteran di genggaman gue. God, I want to help her so much, I really do. But in the end, there’s nothing much I can do right? Gue cuma bisa mendengarkannya, karena gue rasa gue nggak jago soal ginian.

“Nggak usah ceritain semuanya nggak apa-apa Kei, gue akan selalu dengerin lu cerita kok, pelan-pelan aja. You can tell me next time, when you’re ready,” bisik gue sambil menarik Nakei ke dalam pelukan gue.

“Nangis aja Kei, if it makes you feel better, you can cry on my shoulder. But don’t hit yourself out of frustration or anything like that okay? Nanti kepala lu pusing loh.”

Nakei mengangguk sambil mengeratkan pelukannya, “Jangan lepas dulu ya, Brey? Kayaknya gue ingusan, mau ngelap di hoodie lo.”

“Kalo gue lagi nggak baik gue udah pukul lo sekarang, tau nggak?”

“Hehe,” perempuan itu nyengir. “Tapi serius, makasih ya Aubrey. Maaf juga udah bikin repot gini, I just needed someone to lean on for a moment.”

Tangan gue mengelus-elus punggung Nakei, “You can always lean on me, Kei.”

“Nggak ah, keberatan nanti,” canda perempuan itu.

“Lu bisa nggak, jangan ngerusak suasana gini?”

Malam itu, Aubrey mendengarkan lagu-lagu Valley bersama Nakei sembari mengantar gadis itu pulang.

Rumahnya nggak terlalu jauh, tapi cukup jauh untuk mereka mendengarkan sekitar 10 lagu.

“Itu tuh, yang pagarnya warna item,” Nakei menunjuk ke arah rumahnya yang sudah dekat. Aubrey kemudian berhenti di depan rumah gadis itu. “Thanks for the ride Brey,” ucapnya kemudian menutup pintu mobil.

Tepat sebelum Aubrey menancap gas, ia melihat dompet Nakei yang tertinggal di kursi penumpang. “Nyaris aja ketinggalan,” gumam lelaki itu lalu keluar dari mobilnya untuk mengembalikan dompet Nakei.

“Kei, dompet lo–”

“Kamu mau ke mana?” suara bapak-bapak itu menghentikan langkah Aubrey. Ia menebak bahwa itu adalah suara ayahnya Nakei, jadi ia memutuskan untuk menunggu beliau pergi sebelum mengembalikan dompetnya.

“Pergi sama temen,” balas Nakei dingin. “Aku pergi dulu ya, dah.”

Aubrey, yang tadi nggak sengaja nguping sekilas dari pembicaraan mereka, kaget waktu melihat Nakei sudah berdiri di sampingnya. Dari tatapan gadis itu, ia paham bahwa Nakei ingin membawanya pergi dari tempat ini.

Keduanya kembali masuk ke dalam mobil Aubrey. Lelaki itu mengintip dari jendela mobilnya sebelum menancap gas untuk pergi dari rumah itu.

Hening. Tidak ada sepatah kata yang keluar dari kedua orang yang menguasai mobil itu. Aubrey ingin bertanya, tapi ia takut akan merusak mood gadis itu makanya dia diam saja. Sedangkan Nakei, ia terlalu malu karena Aubrey tadi menyaksikan percakapan canggungnya dengan sang ayah.

“Lo nggak mau nanya, gitu?” Nakei akhirnya mulai bersuara, tapi tatapannya masih tertuju ke jarinya yang dari tadi ia mainkan.

Tatapan Aubrey fokus ke jalan di depannya, “Kalo lu mau cerita, I’m all ears.”

Ada sebuah senyuman tipis di wajah Nakei setelah mendengar kalimat itu dari Aubrey, ia lega Aubrey tidak memaksakan atau membuat ini menjadi canggung.

“Barusan tadi itu ayah gue,” ia mulai bercerita. “Beliau adalah orang yang paling deket sama gue dulu, bisa dibilang gue dulu ini daddy’s girl gitu deh. Hahaha.”

“Tapi, sekitar dua tahun yang lalu, orang tua gue cerai.” Aubrey mulai penasaran sekaligus tegang, ia jarang menjadi tempat orang bercerita karena sifatnya yang cerewet. Jadi, dia sedang berusaha keras untuk diam dan mendengarkan cerita Nakei tanpa menyela.

“Mereka sering berantem gitu deh. Biasa lah, nggak cocok palingan mereka hahaha. Eh, lu mau ke Dominos nggak? Gue laper.”

Aubrey paham kalo Nakei tak ingin menceritakan secara detail, jadi ia hanya mengangguk-ngangguk. “Sure, lu mau ngajak gue ke Ancol buat gue cemplungin lu juga boleh. Terserah lu mau ngapain Kei, kita malming bareng.”

Nakei tertawa mendengar respon Aubrey, “Out of all people, gue nggak nyangka gue bakal malmingan sama lo. Orang yang baru gue kenal beberapa minggu yang lalu.”

Lelaki itu menaikkan alisnya, “Jodoh kali kita, Kei.”

“Dih, pengen banget lo?”

“Pengen dong kalo sama anak Astra. Biar kayak mantan gue.”

“Masih aja bahas mantan lu,” Nakei menggeleng-gelengkan kepalanya. “Move on Breeeeey, gimana sih.”

Aubrey terkekeh, “Gue move on sama lu aja gimana?”

“Jangan bikin gue ill feel sama lu.”

“Oke oke, maaf.”

Sore itu, gue memutuskan untuk pergi keliling komplek gue. Agak boros bensin sih, naik mobil keliling komplek gini.

Oh iya, I don’t have a motorcycle.

Bokap gue anti banget sama motor, ya mungkin karena itu gue juga jadi kurang suka naik motor.

Setelah keliling entah berapa kali, gue akhirnya parkir deket ruko yang biasanya gue kunjungin.

Di hari sabtu gini, ruko biasanya rame sama pasangan-pasangan lagi ngedate. Liatnya tuh bikin pengen ratain seluruh Indonesia tau nggak? Iri banget anjing.

Iya iya, gue juga pernah jadi salah satu orang yang pacaran di ruko ini. Tapi itu kayak, hampir sebulan atau dua bulan yang lalu.

AH gue ngapain jadi ngomongin ginian. Padahal, tujuan utama gue juga buat kosongin pikiran. Eh, tapi kalo pikiran gue kosong nanti gue nggak bisa jalan dong ya? Kan, kalo mau jalan lu harus mikir dulu.

Maap, lupain aja. Gue suka nggak ngerti juga gue ngomong apaan.

Nggak jauh dari mata gue, ada sosok gadis familiar yang lagi duduk di salah satu bangku deket abang-abang yang jualan soto.

Gue melangkah mendekati gadis itu, “Mbak, nggak apa-apa?”

Dia buru-buru melepaskan sepatunya lalu mengayun-ayunkan tangannya sebagai gestur kalo dia nggak apa-apa. “Eh, iya nggak apa-apa mas. Saya baik-baik aja,” ucapnya dengan tawa canggung.

Eh, suaranya familiar juga.

Gue mengerutkan dahi, wajah cewek ini nggak kelihatan gara-gara lagi nunduk. “Beneran mbak?”

“Beneran mas– loh, Aubrey?”

Wah!

Kayak ada yang rasukin gue, tiba-tiba kedua ujung bibir gue langsung naik. “Nakei? Gue nggak nyangka kita bakal ketemuan di sini,” kata gue kemudian duduk di sebelahnya.

Nakei menampakkan senyuman manisnya. “Gue habis ketemuan sama kenalan gue di cafe situ,” Nakei menunjuk ke arah cafe di sebrang kita. “Terus gue kesel sama dia, ya udah kan gue cabut duluan deh. Ehh kaki gue malah makin sakit, salah gue juga sih make sepatu ini.”

Mata gue otomatis tertuju ke kaki Nakei yang memerah, “Tunggu di sini.”

Belum sempet Nakei jawab, tapi gue udah lari ke indomaret duluan.

I’ve dealt with this before, or at least I’ve witnessed it. Dulu Freya kalo pake flat shoes yang kayak gitu, kakinya suka sakit sampe luka. Kayaknya sih, ini terjadi sekitar tiga kali. Setelah itu, dia nggak pernah make flat shoes lagi (kecuali ada acara penting).

Loh, kok jadi ngomongin Freya sih. Udah cukup Aubrey, lu kan mau move on, gimana sih?


“Nakei!” seru gue yang baru aja balik dari indomaret dengan handsaplast di tangan gue. “Nih, gue ada handsaplast.”

Nakei yang dari tadi bengong nungguin gue, matanya membulat saat melihat satu kotak handsaplast edisi frozen di tangan gue.

“Waaah, makasih ya Bre–”

“Eh,” sela gue sambil menahan tangan Nakei, “lu pake rok, gue aja yang pakein. Nggak mungkin kan, lu ngangkang-ngangkang pake rok gitu?”

Nakei tertawa, “Kan gue bisa nungging ajaaaa.”

“Ah, udah gue aja,” tegas gue kemudian jongkok biar se-level sama kakinya Nakei. “Gue pilihin handsaplastnya, nggak terima komplain.”

Gue membuka kotak handsaplast itu kemudian memasukkan tangan gue sambil tutup mata. Ceritanya, gue kayak lagi ambil undian.

Setelah menggerak-gerakan tangan gue asal-asalan, gue akhirnya mengeluarkan tangan gue dan …tada!

“Sven?” celetuk Nakei, matanya menyipit karena tertawa kecil. Seriously, cewek ini selalu ketawa atau nggak senyum. Padahal kalo lu sekilas liat dia, pasti lu ngira dia ini jutek-jutek sinis. “Kok nggak Anna aja sih? Gue sukanya Anna,” dia cemberut.

“Nggak nerima komplain wle,” ejek gue lalu membuka handsaplastnya, menempelkannya di kaki Nakei yang lecet itu.

Gue menghela napas kemudian kembali duduk di samping Nakei. Ini adalah pertemuan kita yang ketiga di bulan ini, ternyata kita lebih sering bertemu dari yang gue kira.

“Lo tinggal deket sini?” tanya gue untuk memulai percakapan, Nakei balas gue dengan senandung. “Oh ya? Gue juga deket sini tinggalnya. Wow, dunia ini sempit juga.”

“Iya ya, gue nggak nyangka kita bakal ketemuan lagi,” kata Nakei. Tiba-tiba dia berdiri dari duduknya dan mengenakan tasnya, “Gue mau balik duluan ya Brey. Makasih handsaplastnya.”

Now, now, gue nggak mungkin biarin dia pulang sendirian kan? Apa lagi, kakinya yang luka gitu.

“I’ll give you a ride,” tawar gue lalu ikut berdiri di samping Nakei. Gue baru sadar, kalo berdiri deket dia gini, tinggi kita nggak beda-beda banget. She’s really tall.

“Oh, boleh?” matanya berbinar, “kalo gitu, gue mau nebeng ya!”

Aubrey’s POV

Ketemuan di sushi tei aja itu notif dari Nala Keisha. Kebetulan gue emang lagi di depan sushi tei, jadi nggak perlu jalan-jalan ke sana-sini lagi.

Udah sekitar 15 menit, tapi Nala Keisha masih belum muncul di hadapan gue.

Nggak mungkin kan dia ngeprank gue? Masa gue jauh-jauh ke sency out of nowhere tapi gue dijailin? Kan kagak lucu.

Tapi selama 15 menit itu, gue tiba-tiba kepikiran, kira-kira gue ngapain aja dah semalem? Oke gue mabuk, gue inget gue liat Freya sama Bastian berduaan terus gue kayaknya sih minum bir habis itu.

Terus apa? Gue ngapain ya habis itu?

Karena penasaran, gue akhirnya buka handphone gue. Jari gue scroll naik turun di contacts dan recent chats gue. Dan di antara 20 lebih chatroom, gue nggak menemukan nama Freya sama sekali.

Jangan bilang gue ngeblock dia?

“Aubrey bukan?” Tiba-tiba ada tangan yang mendarat di pundak gue.

Gue memalingkan wajah gue dari handphone ke sumber suara itu. Dan sesuai dugaan gue, orang yang nepok gue itu Nala Keisha.

At least I think so?

“Nala Keisha…kan?” Tanya gue untuk memastikan gue nggak salah orang.

Dia cuma ngangguk, nggak ada senyuman kecil atau kedipan mata. Cuma anggukan yang kemudian diikuti dengan sebuah “Iya.”

Belom sempet gue jawab lagi, dia udah masuk aja ke dalem sushi tei-nya. Asli ya nih cewek, at least ngobrol kecil dulu gitu. Malah main pergi aja.

Tapi, mungkin dia gitu biar cepet selesai kan?


Gue kira kita bakal duduk di depan yang sushi-sushi lewat gitu, tau-taunya dia mau duduk di pojokan. Lokasi yang aneh, tapi gue iyain aja.

“Jumbo dragon roll-nya satu sama ocha dingin satu.” Pesan perempuan itu, ia melirik ke arah gue, “Nggak apa-apa kan?”

Iya sumpah nggak apa-apa, tapi jangan liatin gue kayak gitu dong. Tatapan orang kaya nyeremin banget.

Gue menangguk sambil memberikan senyuman tipis. “Saya chicken katsu soba satu sama ocha dingin satu aja.”

Habis waitress-nya pergi. Gue sama si Nala Keisha ini diem-dieman.

Gimana ya, gue sih mau ajak ngobrol, tapi dari tampaknya dia yang malah nggak mau diajak ngobrol gitu.

Kenapa? Soalnya dari tadi dia cuma lihatin handphone-nya.

“Lo temennya Orlen juga ya?” Gue coba buat memulai percakapan, “Tapi kok gue nggak pernah liat lo?”

Dia meletakkan handphone-nya di meja, finally showing interest in me. “Iya, gue sama Orlen temen dari kecil. Ayah kita sahabatan waktu kuliah terus gara-gara itu, gue sama Orlen jadi sering main bareng deh. Kita satu sekolah dari playgroup sampe SMP, tapi sekarang kita SMA beda sekolah.”

Wow.

Gue agak kaget dia ngomongnya banyak juga.

“Oh iya, gue sama lo beda sekolah. Mungkin karena itu lo nggak pernah ketemu sama gue? Gue sekolah di—” tiba-tiba dia berhenti, “Gue…kayaknya dari tadi ngomong sendiri.”

Lucu.

“Nggak apa-apa elah, lo dipanggil apa by the way? Nala Keisha?” Tanya gue biar dia nggak merasa canggung. Dia menggelengkan kepalanya, “No way. Itu kepanjangan, gue biasanya dipanggil Nakei.”

“Nakei? Na for Nala, Kei for Keisha?”

Nakei mengangguk. Dan untuk pertama kalinya, dia tersenyum.

Cantik.

“Keren kan nama gue? Orlen bilang kalo Nala doang agak ngebosenin, jadi dia bikin nickname Nakei.”

Nakei ini suka sama Orlen apa gimana? Dari tadi Orlen mulu yang dia bicarain. Waktu bawa-bawa Orlen, matanya kayak berbinar gitu. Lucu sih, cantik juga, tapi dia suka Orlen apa gimana?

Nggak mungkin gue nanya gitu, kan?

“Gue anak SMA Astra by the way, tau nggak lu?”

SMA Astra? Sounds awfully familiar. Nggak asing sama sekali di kuping gue, tapi kenapa? Rasanya kayak ada orang yang selalu aja bawa-bawa nama SMA Astra setiap ngobrol sama gue.

Oh gue inget.

Gue terkekeh, “Mantan gue balikan sama anak Astra.”

Hening.

Shit, did I make things awkward?

“Bercanda doang. Tapi beneran sih, balikan sama anak Astra. Tapi gue nggak bermaksud gimana-gimana.”

To my surprise, Nakei malah kelihatan tertarik sama cerita gue. “Mantan? Yang lo waktu mabuk itu omongin?”

Woah woah woah, gue ngomongin Freya ke stranger waktu gue mabuk?

Tapi, kayaknya nggak apa-apa juga gue ngomongin tentang mantan gue ke dia. Lagi pula kita nggak akan ketemu lagi habis ini. Mungkin iya, sekali dua kali, but it’s not like we’re gonna see each other all the time.

“Kalo gue ceritain semuanya, lo mau denger nggak?”

Nggak disangka hari ini adalah hari dimana mereka akan lulus.

Akhirnya, setelah 3 Tahun di SMA, mereka akan lulus.

Semua murid mengenakan robe dan topi graduation-nya. ada yang nangis, ada yang ketawa bahagia, ada juga yang lagi berpelukkan dengan teman-teman mereka.

As for Erloy dan Fayre, mereka sedang berbicara dengan orang tua masing-masing. Kedua orang itu memasang raut wajah masam. di waktu yang bersamaan, mereka kepikiran soal masa depan without each other.

It feels weird, since the two of them planned on staying together until their 90s.

Kairos menarik lengan Erloy untuk foto bertiga bersama Rafa, nggak jauh dari sana, ada Fayre yang lagi foto sama anggota prom. Ada Gavin di samping Fayre, tangannya menyentuh bahu perempuan itu sehingga Erloy merasa kesal.

“Heh, liatin mulu.” Rafa menjitak kepala lelaki itu, “Kalo mau balikan mah samperin aja.”

“Nggak segampang itu njing, lo kira gua gamau balikan?”

Kairos, yang sudah muak melihat Erloy dan Fayre seperti ini, menarik Erloy dari kerah bajunya lalu berjalan menuju Fayre yang baru saja selesai foto.

“Woi.” Panggil Kairos dengan nada sewot, perempuan itu menoleh dengan tatapan kaget. “H-hah?” Fayre terbata-bata.

“Ngobrol lo berdua, gue nggak mau tau pokoknya kalian ngobrol sampe puas.” Paksa teman mereka itu, “Kalo kalian balik-balik masih ada yang nggak kesampean, gue tonjok lu berdua.”

Serem.


Erloy dan Fayre memutuskan untuk ke gym sekolah, di mana prom waktu itu diadakan.

Lelaki itu masih ingat waktu Fayre mojok sendirian, she was hiding from the spotlight in the corner all alone, away from the crowd. That night, even when she was not under the lights, She still looked beautiful that he felt like crying. He didn’t though.

Mereka berdiri di tengah-tengah gym. Rasanya canggung, jadi mereka cuma bisa curi-curi pandang.

That was until Fayre broke the silence, “Kita udah lulus ya, Loy?”

Erloy hanya mengangguk, nggak sanggup mengeluarkan kata-kata.

“Kita lulus kayak gini, Loy?”

Lagi-lagi, Erloy hanya mengangguk. Namun sekarang ada sedikit senandung dari dia.

“Erloy,” suara Fayre mulai bergetar, “Aku nggak mau putus.”

Kali ini, Erloy mengangkat wajahnya untuk menatap Fayre yang matanya sudah berkaca-kaca.

Ah, rasanya sudah lama banget melihat Fayre face to face begini. Ini juga baru kedua kalinya Erloy melihat seorang Fayre menangis.

“Gue nyesel Loy. Gue harusnya nggak langsung main ajak putus aja, maafin gue Loy.” Fayre menenggelamkan wajahnya di kedua tangannya, “Gue tau lo pasti juga capek sama gue yang suka tiba-tiba ngambek nggak jelas karena cemburu doang. Gue juga tau lo bingung harus gimana sama gue yang suka marah-marah tanpa alasan. Gue juga…gue juga tau lo pasti capek sama gue yang—”

Erloy menggelengkan kepalanya, “Gue nggak pernah bilang gue capek sama lo Fay.”

“Tapi nyatanya gitu, Loy. Admit it, you were tired of witnessing my stupid complaints and inconsistent mood. Gue juga capek Loy, gue juga nggak suka sama diri gue yang kayak gini. I don’t know if you like how I initiate things, jadi gue berusaha buat jadi kalem kayak kebanyakan cowok suka.” Fayre terisak, “Gue tau gue nggak sempurna Loy, maybe you didn’t expect this side of me. Mungkin lo kira gue nggak cemburuan, heck, gue juga kira gue nggak cemburuan.”

“Tapi ternyata gue salah, ternyata kita salah. Gue lebih emosional dari yang gue kira, lebih keanak-anakan lebih dari yang gue kira. I was scared that you’ll stop liking me, tapi ujung-ujungnya gue—”

Erloy yang tadinya hanya diam, ikut meneteskan air mata saat melihat perempuan yang dia sukai terisak di depannya. “Fay…” gumamnya. Each breath he took, a bullet pierced through his heart.

“Fay I love you,” he said while trying his best to hold his tears back. “I love you and I’m scared of losing you too. You’re not the only one afraid, Fay. Gue juga takut lo bakal illfeel sama gue. Gue juga nyesel udah iyain lo waktu itu, gue juga nyesel cuma bisa marah-marah balik waktu lo marah ke gue.”

“I’m not the perfect guy, I’m sorry Fay. I thought I was understanding, because of what we went through with Kairos, but it turns out I’m not as nice as I thought. Gue ternyata juga nggak pinter ngontrol emosi dan amarah gue Fay.”

“I said too many hurtful things to you back then, I can never forgive myself for that. But, fuck, Fay I can’t lose you. I can’t afford to lose you. I treasure you so much.”

“Maybe you’re right, maybe I was tired of getting yelled and yelling at you. But even so, I still love you. I love you Fay, nggak ada past tense di sini. Gue masih sayang sama lo.” Erloy kali ini membuang mukanya, he couldn’t hold it in anymore, so he cries in his own hands.

“I’m a shitty person for making the girl I love cry, I’m so fucking sorry Fay. I don’t know how I’ll make it up to you, But I love you so much. I love you more than I can afford.”

Fayre yang tadi sudah berhenti menangis, ikut menangis melihat Erloy nangis untuk pertama kalinya. Its was 10 times more painful when you see the love of your life crying in front of you, because of you.

“Erloy,” panggil gadis itu, ia berjalan ke hadapan lelaki itu. “I love you.”

Perlahan-lahan, Fayre menarik tangan Erloy dari wajah lelaki itu and held it tightly. “Ini pertama kalinya gue liat lo nangis, dan jujur gue nggak tau harus gimana. Tapi yang pasti, gue nggak suka liat lo nangis. The fact that you’re crying because of me hurts me even more. I’m sorry. I’m sorry for hurting you, Loy. You’re trying your best to be patient and understand me but I was blinded by jealousy, I’m so sorry.”

Fayre kissed the boy’s hands, “I was so blinded by jealousy, that I didn’t get to hold your hand longer. I would always push you away when you tried to hold mine. I—”

Tiba-tiba saja, Erloy menarik Fayre ke dalam pelukannya. Ia menangis tersedu-sedu di pundak perempuan itu, rasanya kangen banget. It has only been a month since they last hugged each other, but it felt like ten years.

“Fay,” he mumbled on her shoulder. “If you’ll let me, I’d love to start over. Gue mau memperbaiki semua ini, gue nggak mau putus sama lo Fay.”

“Pertanyaan goblok,” Fayre tertawa kecil dan mengeratkan pelukannya. “How can I say no?”