solonne

Prima sedang duduk di salah satu kursi di ujung Hadiru Bakery, agak jauh dari counter table tapi di kanan dia ada jendela, sehingga perempuan itu bisa melihat aktivitas orang-orang — yang sebenarnya membuat dia terlihat sedikit menyeramkan — sambil menunggu Seven selesai shiftnya.

Waktu mereka berdua sampai di depan toko, Seven langsung disapa oleh ayahnya dan diminta untuk menjaga counter sampai jam tiga sore. Mereka datang sekitar pukul setengah dua, jadi Prima terpaksa menunggu satu setengah jam.

Dia tidak keberatan, karena dengan ini dia bisa menyaksikan Seven melayani para pelanggan. Seven terlihat tampan mengenakan celemek dan kemeja yang dua kancingnya terbuka. Walaupun ibunya sudah mengomelinya dengan mengatakan bahwa itu terlihat tidak rapih, Seven tetap membukanya karena merasa sesak.

Tapi satu hal yang membuat Prima risih adalah ketika ada anak-anak perempuan seumuran mereka yang mendatangi Seven sambil cengar-cengir, meminta nomor handphone-nya lelaki itu. Tentu saja, ia menolak permintaan tersebut. Tapi karena senyuman Seven yang begitu menawan, perempuan-perempuan itu tidak merasa tersinggung sama sekali.

Prima tidak menyukai bahwa dia cemburu. Toh, selama dia hidup, dia belum pernah merasakan cemburu seperti ini. Karena saat ia berpacaran dengan Abhian waktu SMP, tidak ada yang mendekati cowok itu karena dia terlihat jutek.

“Haha hihi haha hihi, gue tau cowok gue ganteng, tapi nggak usah depan gue dong,” Prima bergumam sendiri. Ia memutar-mutarkan sedotan dari jus stroberinya, sambil melirik-lirik ke arah Seven dan para perempuan itu.

Prima tidak menyukai perasaan ini, karena ia merasa dirinya sangat keanak-anakan. Dia tidak takut kehilangan Seven, karena ia tau pacarnya itu tidak akan meninggalkannya, tapi dia tidak suka saja melihat mereka yang sok asik dengan pacarnya.

Tapi dipikir-pikir lagi, gue dulu juga sok asik sama dia

“Kak.” Tidak menyadari bahwa daritadi ia memperhatikan anak-anak itu, Prima terkejut saat Seven tiba-tiba berada di sampingnya dan tersedak. “E-eh Seven, kenapa di sini? Kamu kan shift? Ada apa?”

Bukannya menjawab, justru lelaki itu tertawa melihat tingkah kakak kelasnya. “Kok malah ketawa?” tanya Prima heran. Seven menggelengkan kepala, “Nggak, habis kakak daritadi melototoin orang-orang tadi. Kenapa sih emang? Kakak kenal mereka?”

Prima merasakan pipinya memerah karena ketahuan telah memperhatikan perempuan-perempuan tadi. “Hah? Apa sih? Kagak kagak, lu salah liat kali. Orang gue tadi liatin jendela yang sana,” kata perempuan itu sambil menunjuk jendela yang terletak di dekat tempat duduk perempuan-perempuan tadi, tidak sadar bahwa ia menggunakan lu-gue dan bukan aku-kamu.

“Ngapain liat yang sana? Kan kakak juga ada jendelanya di sini?” Seven mengetuk jendela di bagian kanan Prima, membuat perempuan itu lebih malu lagi. “Yaaa nggak tau ah! Kamu balik aja sana, nanti dimarahin tante Farah loh.”

Seven dibuat tertawa oleh kakak kelasnya itu lagi, kali ini ia sambil menepuk-nepuk pundak perempuan itu. “Kak, kak, liatin merekanya biasa aja kali. Kan aku nggak kasih nomor aku.”

“Siapa juga yang melototin mereka? Kan aku bilang aku liatin jendela yeuu!”

Seven tau bahwa Prima hanya malu, makanya tidak ingin mengakui kelakuannya tadi. Tapi, hal itu terlihat lucu di mata lelaki itu. “Yakin?”

“Yakin,” jawab Prima. Masih tidak mau melihat ke arah Seven.

Lelaki itu tersenyum, lalu mengetuk pundak perempuan itu, menyuruhnya untuk menghadap dia. Prima akhirnya melihat ke arah adik kelasnya, pipinya sudah tidak semerah tadi tapi jantungnya masih berdegup kencang karena wajah mereka yang berdekatan.

“Don’t worry,” ia mendekatkan wajahnya dan mempertemukan hidungnya dengan hidung perempuan itu. “I’m yours, kak,” ucapnya lalu berjalan ke meja counter dengan santai, seolah-olah dia tidak melakukan apa-apa kepada Prima.

Sedangkan perempuan itu, masih membeku di tempat. Bukannya lebih tenang, justru ia wajahnya kembali memerah. Walaupun sentuhan tadi hanya berlangsung selama satu detik, kupu-kupu yang ia rasakan di perutnya akan bertahan selamanya. Ia mengipas-ngipas wajahnya dengan tangan, seolah-olah sedang kepanasan.

Gila, sejak kapan dia jadi sejago ini?

Langit sudah mulai gelap. Daritadi siang, Seven dan Prima sibuk mengurus tukaran tiket. Saking sibuknya, mereka tidak sempat mengobrol sama sekali — kecuali saat membutuh bantuan satu sama lain.

Sekarang, ticket booth sudah mulai sepi. Hanya beberapa orang tersisa di sana, termasuk Seven dan Prima yang saling mengkibas-kibaskan kipas plastik yang dipinjamkan oleh Naga dan Keanna.

Di jam segini, para panitia sudah merapat untuk menyaksikan pertunjukkan salah satu artis yang diundang, Kunto Aji. Sebenarnya, Prima merupakan salah satu penggemarnya artis tersebut. Tapi, karena terlalu lelah untuk bergabung dengan para panitia, ia memutuskan untuk duduk di ticket booth lebih lama.

Begitu pula juga Seven. Lelaki itu memang pada dasarnya tidak menyukai keramaian, tapi jika tadi Prima pergi untuk menonton Kunto Aji, ia akan mengikutinya.

“Kak,” panggil Seven, tatapan lurus ke depan. “Nggak nonton?”

Prima menggelengkan kepala, “Lo sendiri nggak nonton?”

“Nggak,” balas lelaki itu. “Kalo kak Prima nggak nonton, gue nggak nonton.”

“HAHAHAHA apaan deh? Nonton aja sih,” suruh Prima. Seven menggelengkan kepala, tidak mau beranjak dari kursinya, “Nggak ah.”

Kemudian hening. Mereka tidak mengeluarkan sepatah kata apapun, hanya terdiam sambil mendengarkan suara samar lagu Jakarta Jakarta oleh Kunto Aji dan sorakan para penonton dari ticket booth.

Seven melirik ke arah Prima, yang kebetulan daritadi mengetuk-ngetuk meja sambil bersenandung. Perempuan itu sedang menikmati dirinya sendiri, tanpa menyadari bahwa Seven telah menontonnya daritadi. Setidaknya, itu yang Seven kira.

“Gue bangun,” kata Prima, menghentikan senandungnya. “Waktu itu di UKS, gue bangun.”

Oh, dia bangun

Prima melirik ke arah lelaki itu, tapi diluar dugaannya, Seven tidak terlihat terkejut sama sekali. Malah, ia tersenyum kepada Prima, kemudian menatap lurus ke depan lagi.

“Kak,” panggil Seven, sekarang semua perhatian Prima menjadi miliknya. “Gue suka sama kakak.”

“Udah tau,” balas perempuan itu.

“Belum selesaaaiiii,” komplain Seven, yang kemudian dibalas dengan tawa oleh Prima. “Sorry sorry, lanjut.”

Seven mengubah posisinya, sekarang benar-benar menghadap Prima. “Gue suka sama kakak, kayaknya udah dari waktu gue anterin kakak pulang, mungkin jauh lebih lama dari itu. Tapi pertama-tama, gue mau bilang makasih karena kakak udah ngasih nomer kakak ke gue, dan mastiin kalo kita ini satu sekolah. Karena kalo nggak karena itu, kayaknya gue nggak akan sadar kalo ada perempuan secantik ini di dunia.”

“Ini emang cringey, tapi perasaan gue ini tulus. Perasaan gue terhadap kakak ini…gue yakin ini perasaan suka lebih dari suka ke teman. Gue juga…aduh malu…gue juga, kalo boleh, mau jadi pacarnya kakak.” Wajah Seven langsung memerah setelah mengatakan kalimat itu, tapi pandangannya tidak lepas, ia tetap menatap Prima walaupun rasanya memalukan.

“Sorry, kayaknya gue nggak bisa liat kakak dulu–”

“BOLEH!” Prima tanpa sengaja berteriak, ia buru-buru menutup mulutnya dan berdeham. “Maksud gue…mau, gue mau pacaran sama lu.”

Mata Seven berbinar, ia tidak bisa menahan senyumannya lagi sampai akhirnya tertawa. “K-kok ketawa sih?!” kata Prima malu. “Enggak enggak, gue cuma seneng.” Lelaki itu mengulurkan tangan kosongnya, sedangkan yang satu lagi menutupi setengah wajahnya yang merah itu.

“I’ve been dying to hold your hand. Can I, kak?”

“Why are you even asking?” Prima tertawa, kemudian melingkarkan jemarinya diantara jemari Seven erat. “You can hold my hand anytime you want, I’ll always say yes.”

Malam itu, mereka menghabiskan sisa malam mereka dengan candaan dan tawa. Juga rasa kupu-kupu di perut, yang takkan mereka lupakan.

Seven’s POV

Sesuai saran Cahya, gue pergi ke UKS buat jenguk kak Prima. Padahal, dia nggak ada ngechat gue kalo dia sakit atau gimana-gimana, gue juga sedikit khawatir sih. Oh iya, gue bilang ke temen-temen gue kalo gue mau ke toilet, jadi nggak bisa lama-lama.

“Permisi…” bisik gue saat membuka pintu UKS. Nggak ada suster atau staff lain di sini, kayaknya mereka ke kantin juga, soalnya emang lagi jam istirahat.

Mata gue tertuju kepada satu gorden yang tertutup, hanya gorden itu yang tertutup. I assume it’s kak Prima, karena emang nggak ada siapa-siapa lagi di sini.

Gue geserin gordennya pelan, agar kak Prima nggak kebangun. Dan ya, kayaknya dia nggak kebangun juga kalo gue bukanya terang-terangan, soalnya gue inget dia pernah bilang kalo dia emang heavy sleeper.

Kak Prima membelakangi gue, matanya tertutup rapat dan badannya diselimuti oleh selimut Hello Kitty milik sekolah. Aneh, mungkin gue emang aneh karena liatin orang tidur, tapi kak Prima keliatan peaceful banget waktu tidur.

Beda sama dirinya kalo bangun, ngoceh mulu, nggak ada henti. Tapi emang lucu sih dengerin kak Prima ngomong, dia nggak mau diem soalnya, lucu.

“Kak,” panggil gue pelan. “Kakak ngapain coba sampe masuk angin?”

Kak Prima berubah posisi menghadap gue, hanya beberapa detik sebelum kembali lagi ke posisi awalnya. Napas gue tertahan sejenak, gue kira dia bangun, gue udah takut dikira creep duluan.

Gue menarik kursi, kemudian duduk di sebelah kasur kak Prima. Gue udah bilang ini kayaknya, tapi gue merasa seperti orang aneh, ngeliatin cewek yang gue suka tidur.

Kak Prima cantik, cantik banget malahan. Gue kadang mikir, dia sadar nggak ya, betapa cantiknya dia? Walaupun gue udah sering liat dia di mana-mana, gue nggak pernah bosen liat mukanya. Everyday, she gets even prettier and prettier. Bukan cuma mukanya yang cantik, senyumannya juga cantik, tawanya juga cantik, suaranya juga cantik, jemarinya juga cantik — semua tentang kak Prima itu cantik.

Begitupun wajahnya saat tertidur, cantik.

Nggak jarang napas gue tertahan waktu liat kak Prima, walaupun nggak keliatan, gue gugup kalo ada kak Prima di deket gue. Oh, gue jadi inget, sama waktu gue nganter kak Prima pulang untuk pertama kalinya. Menurut gue, gue bukan orang yang suka memulai skinship, tapi waktu itu, ada dorongan di diri gue buat megang tangan kak Prima. Dan gue nggak pernah menyesal akan hal itu, justru gue berterima kasih kepada dorongan itu, karena gue bisa merasakan kembang api di perut gue untuk kedua kalinya.

Yang pertama? Waktu kak Prima suapin gue.

“Kak,” panggil gue lagi, masih dalam sebuah bisikan. Kali ini, gue mendekatkan tubuh gue ke perempuan itu, nggak terlalu deket.

Dorongan itu datang lagi, dorongan untuk melakukan hal yang entah akan gue sesali atau tidak, tapi gue rasa kali ini gue nggak akan menyesalinya.

“Gue suka sama kakak.”


Prima’s POV

Pintu UKS akhirnya tertutup.

Gue buru-buru bangun dari posisi gue yang tadinya berbaring sambil nutupin mulut gue.

Gue nggak salah denger kan? Seven? Seven suka sama…gue?

Pikiran gue kacau, karena baru saja kemarin gue menangisi nasib percintaan gue yang sial. Tapi sekarang, secara tiba-tiba, Seven dateng ke UKS dan bilang dia suka sama gue.

Bukan hanya pikiran gue aja, tapi hati gue juga kacau. Sejujurnya, gue denger suara kursi yang ditarik sama Seven tadi, makanya gue kebangun. Tapi gue nggak pernah mengira dia bakal…gue nggak pernah ngira dia suka sama gue beneran.

Terlalu lama menganggap semuanya candaan, giliran yang serius datang, jadi bingung harus gimana.

Gue yakin pipi gue merah banget sekarang, bukan karena masuk angin, tapi karena kejujuran Seven tadi. “Ahhhhh ini realita kan?” gumam gue kemudian mencupit kedua pipi gue, masih nggak percaya kalo ini nyata.

Lama-lama, sebuah senyuman mengembang, gue udah nggak bisa nahan lagi. Gue akui, gue seneng banget, rasanya kayak gue diangkat ke langit yang ke 7 dan nggak turun-turun. Untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun, ada orang yang suka sama gue.

Bukan itu aja, orang itu ternyata orang yang gue sukai juga.

Maybe, my life isn’t as bad as I thought.

“Terus habis diaduk gini, gue apain?” tanya Prima sambil mengaduk adonan yang tadi Seven bantu buat. Mereka berdua sekarang sedang berada di dapurnya Seven, hanya berdua saja karena orang tuanya Seven pergi ke toko.

Sekitar jam 1.30 siang tadi, Prima dan Seven sampai di rumah lelaki itu. Namun, sebelum mereka masuk ke dalam, mereka disambut oleh ibunya Seven yang baru saja keluar rumah.

Kalo dia macem-macem, jangan senggan untuk lapor ke saya ya!’ kira-kira begitu ucapan ibunya Seven sebelum beliau berangkat ke toko, meninggalkan mereka berduaan saja di rumahnya.

“Masukkin ke pan ini kak, udah gue taro parchment paper nya.” Prima perlahan-lahan menuangkan adonannya tersebut. Seven, yang daritadi berdiri di samping kakak kelasnya itu, sedang menahan tawanya karena wajah fokus Prima yang menurutnya menggemaskan.

Prima menghela napas lega, “Selesai!” serunya sambil menyeka keringat — yang sebenarnya tidak ada — di jidatnya.

Seven mengangkat pan itu, lalu memasukkannya ke dalam oven. “Sekarang kita tunggu 30 menit,” kata Seven, menutup ovennya kemudian mengaturnya menjadi 180 derajat celcius.

Prima menepuk tangannya girang, “Yaaay! Habis ini tinggal kasih whipped cream sama icing, terus topping, iya kan?” Seven mengangguk, ikut senang melihat kakak kelasnya yang tersenyum lebar.

Sebenarnya, saat diperjalanan ke rumah, Seven merasa gugup karena akan berduaan dengan Prima di rumahnya. Ditambah lagi, Seven ini orang yang susah memulai percakapan dan membangun suasana, ia takut kak Prima akan bosan menghabiskan waktu dengannya. Untungnya, karena Prima ini adalah orang yang tidak pernah berhenti mengoceh, tidak ada rasa canggung di antara mereka.

Prima pandai membangun suasana menjadi menyenangkan, ditambah lagi perempuan ini selalu mempunyai topik pembicaraan. Mungkin karena dengan sifat Prima yang seperti itu, Seven merasa nyaman saat bersamanya.

“Wow, Sev, ini lo waktu SMP?” Seven kaget ketika melihat Prima yang tiba-tiba berdiri di depan kumpulan framed photos di ruang tamunya. “AH, kok kakak liatin sih, gue maluuuu,” komplain Seven, menghampiri Prima yang tertawa karena reaksinya.

Prima mengambil salah satu foto Seven, yaitu foto saat wisuda SMP sekitar dua atau satu tahun yang lalu, ia tersenyum melihat sosok Seven yang masih imut.

“HAHAHAHA di sini kacamata lo masih kotak terus tebel,” ejek Prima, masih memegang foto itu sedangkan Seven berusaha untuk merebutnya kembali. “Duh, dulu gue dikatain culun mulu. Gara-gara udah anak fotografi, duduknya selalu paling depan, terus kacamata gue udah setebel buku latsol UN.”

Prima kemudian duduk di sofa, diikuti oleh Seven yang sudah menyerah dan akhirnya membiarkan Prima melihat foto-foto dari photo album milik keluarganya. “Ah, ini waktu gue pertama kali masuk SD, paling pendek di kelas waktu itu.” Seven menunjuk salah satu foto yang terletak di halaman pertama albumnya.

“Kocak ya, poni lo jelek banget, kayak Ehsan.” Prima sekali lagi mengejek adik kelasnya. Kali ini, Seven ikut tertawa karena ia setuju. “Iya ya, siapa coba yang bolehin gue ponian kayak gitu, jelek banget.”

Mata Prima sekilas melirik ke wajah Seven, yang hanya berjarak beberapa centimeter dari wajahnya. Mereka duduk sebelahan, dekat banget, karena Seven mendekatkan wajahnya untuk melihat photo albumnya juga.

Ganteng banget, mamanya ngidam apa ya waktu hamil? Gue juga mau punya anak seganteng ini

Prima tidak mau mengakuinya, tapi jantungnya daritadi berdebar. Walaupun ia sudah mencoba untuk menenangkannya, rasanya sulit karena Seven dekat banget.

“Kak,” panggil Seven sehingga membuat Prima menengok.

Oh!

Mata mereka bertemu.

Seven ikut kaget saat menyadari wajah Prima sangat dekat dengannya, ia membeku di tempat, napasnya tertahan karena gugup.

Begitupun juga Prima. Mata perempuan itu melebar, dan jantungnya makin berdebar. Ia bisa merasakan pipinya memerah, karena mereka sudah mulai hangat. Anehnya, ia tidak ada niatan untuk menjauhkan dirinya dari adik kelasnya itu.

Deheman Seven menyadarkan Prima. Ia menjauhkan wajahnya dari adik kelasnya itu, yang mulai rileks saat Prima menggeserkan tubuhnya menjauh sedikit. “Itu, um, handphone-nya geter daritadi,” Seven menunjuk ke handphone yang berada di dalam saku rok perempuan itu. “O-oh, iya, sebentar ya Sev.”

Setelah Prima pergi ke luar rumah untuk mengangkat telepon, Seven menjambak rambutnya sambil menjerit pelan, agar tidak terdengar oleh Prima. Ia malu sekaligus menyesal karena membuat suasana canggung. Seven selalu menganggap dirinya perusak suasana, sebab setiap kali ada suasana canggung bersama Prima, pasti ia yang memulainya.

Tidak sadar mereka telah menghabiskan waktu yang lama dengan melihat-lihat photo album, timer Seven berbunyi, menandakan bahwa adonannya sudah jadi. Ia bangkit dari sofa kemudian berjalan menuju oven sambil mencubit-cubit pipinya yang panas karena kejadian tadi.

“Tadi deket banget,” gumamnya. “Nyaris– ah, gue mikirin apaan sih?!”

“Terus habis diaduk gini, gue apain?” tanya Prima sambil mengaduk adonan yang tadi Seven bantu buat. Mereka berdua sekarang sedang berada di dapurnya Seven, hanya berdua saja karena orang tuanya Seven pergi ke toko.

Sekitar jam 1.30 siang tadi, Prima dan Seven sampai di rumah lelaki itu. Namun, sebelum mereka masuk ke dalam, mereka disambut oleh ibunya Seven yang baru saja keluar rumah.

‘*Kalo dia macem-macem, jangan senggan untuk lapor ke saya ya!’ kira-kira begitu ucapan ibunya Seven sebelum beliau berangkat ke toko, meninggalkan mereka berduaan saja di rumahnya.

“Masukkin ke pan ini kak, udah gue taro parchment paper nya.” Prima perlahan-lahan menuangkan adonannya tersebut. Seven, yang daritadi berdiri di samping kakak kelasnya itu, sedang menahan tawanya karena wajah fokus Prima yang menurutnya menggemaskan.

Prima menghela napas lega, “Selesai!” serunya sambil menyeka keringat — yang sebenarnya tidak ada — di jidatnya.

Seven mengangkat pan itu, lalu memasukkannya ke dalam oven. “Sekarang kita tunggu 30 menit,” kata Seven, menutup ovennya kemudian mengaturnya menjadi 180 derajat celcius.

Prima menepuk tangannya girang, “Yaaay! Habis ini tinggal kasih whipped cream sama icing, terus topping, iya kan?” Seven mengangguk, ikut senang melihat kakak kelasnya yang tersenyum lebar.

Sebenarnya, saat diperjalanan ke rumah, Seven merasa gugup karena akan berduaan dengan Prima di rumahnya. Ditambah lagi, Seven ini orang yang susah memulai percakapan dan membangun suasana, ia takut kak Prima akan bosan menghabiskan waktu dengannya. Untungnya, karena Prima ini adalah orang yang tidak pernah berhenti mengoceh, tidak ada rasa canggung di antara mereka.

Prima pandai membangun suasana menjadi menyenangkan, ditambah lagi perempuan ini selalu mempunyai topik pembicaraan. Mungkin karena dengan sifat Prima yang seperti itu, Seven merasa nyaman saat bersamanya.

“Wow, Sev, ini lo waktu SMP?” Seven kaget ketika melihat Prima yang tiba-tiba berdiri di depan kumpulan framed photos di ruang tamunya. “AH, kok kakak liatin sih, gue maluuuu,” komplain Seven, menghampiri Prima yang tertawa karena reaksinya.

Prima mengambil salah satu foto Seven, yaitu foto saat wisuda SMP sekitar dua atau satu tahun yang lalu, ia tersenyum melihat sosok Seven yang masih imut.

“HAHAHAHA di sini kacamata lo masih kotak terus tebel,” ejek Prima, masih memegang foto itu sedangkan Seven berusaha untuk merebutnya kembali. “Duh, dulu gue dikatain culun mulu. Gara-gara udah anak fotografi, duduknya selalu paling depan, terus kacamata gue udah setebel buku latsol UN.”

Prima kemudian duduk di sofa, diikuti oleh Seven yang sudah menyerah dan akhirnya membiarkan Prima melihat foto-foto dari photo album milik keluarganya. “Ah, ini waktu gue pertama kali masuk SD, paling pendek di kelas waktu itu.” Seven menunjuk salah satu foto yang terletak di halaman pertama albumnya.

“Kocak ya, poni lo jelek banget, kayak Ehsan.” Prima sekali lagi mengejek adik kelasnya. Kali ini, Seven ikut tertawa karena ia setuju. “Iya ya, siapa coba yang bolehin gue ponian kayak gitu, jelek banget.”

Mata Prima sekilas melirik ke wajah Seven, yang hanya berjarak beberapa centimeter dari wajahnya. Mereka duduk sebelahan, dekat banget, karena Seven mendekatkan wajahnya untuk melihat photo albumnya juga.

Ganteng banget, mamanya ngidam apa ya waktu hamil? Gue juga mau punya anak seganteng ini

Prima tidak mau mengakuinya, tapi jantungnya daritadi berdebar. Walaupun ia sudah mencoba untuk menenangkannya, rasanya sulit karena Seven dekat banget.

“Kak,” panggil Seven sehingga membuat Prima menengok.

Oh!

Mata mereka bertemu.

Seven ikut kaget saat menyadari wajah Prima sangat dekat dengannya, ia membeku di tempat, napasnya tertahan karena gugup.

Begitupun juga Prima. Mata perempuan itu melebar, dan jantungnya makin berdebar. Ia bisa merasakan pipinya memerah, karena mereka sudah mulai hangat. Anehnya, ia tidak ada niatan untuk menjauhkan dirinya dari adik kelasnya itu.

Deheman Seven menyadarkan Prima. Ia menjauhkan wajahnya dari adik kelasnya itu, yang mulai rileks saat Prima menggeserkan tubuhnya menjauh sedikit. “Itu, um, handphone-nya geter daritadi,” Seven menunjuk ke handphone yang berada di dalam saku rok perempuan itu. “O-oh, iya, sebentar ya Sev.”

Setelah Prima pergi ke luar rumah untuk mengangkat telepon, Seven menjambak rambutnya sambil menjerit pelan, agar tidak terdengar oleh Prima. Ia malu sekaligus menyesal karena membuat suasana canggung. Seven selalu menganggap dirinya perusak suasana, sebab setiap kali ada suasana canggung bersama Prima, pasti ia yang memulainya.

Tidak sadar mereka telah menghabiskan waktu yang lama dengan melihat-lihat photo album, timer Seven berbunyi, menandakan bahwa adonannya sudah jadi. Ia bangkit dari sofa kemudian berjalan menuju oven sambil mencubit-cubit pipinya yang panas karena kejadian tadi.

“Tadi deket banget,” gumamnya. “Nyaris– ah, gue mikirin apaan sih?!”

“Terus habis diaduk gini, gue apain?” tanya Prima sambil mengafuk adonan yang tadi Seven bantu buat. Mereka berdua sekarang sedang berada di dapurnya Seven, hanya berdua saja karena orang tuanya Seven pergi ke toko mereka.

Sekitar jam 1.30 siang tadi, Prima dan Seven sampai di rumah lelaki itu. Namun, sebelum mereka masuk ke dalam, mereka disambut oleh ibunya Seven yang baru saja keluar rumah.

“*Kalo dia macem-macem, jangan senggan untuk lapor ke saya ya!” kira-kira begitu ucapan ibunya Seven sebelum beliau berangkat ke toko, meninggalkan mereka berduaan saja di rumahnya.

“Masukkin ke pan ini kak, udah gue taro parchment paper-nya.” Prima perlahan-lahan menuangkan adonannya tersebut. Seven, yang daritadi berdiri di samping kakak kelasnya itu, sedang menahan tawanya karena wajah fokus Prima yang menurutnya menggemaskan.

Prima menghela napas lega, “Selesai!” serunya sambil menyeka keringat — yang sebenarnya tidak ada — di jidatnya.

Seven mengangkat pan itu, lalu memasukkannya ke dalam oven. “Sekarang kita tunggu 30 menit,” kata Seven, menutup ovennya kemudian mengaturnya menjadi 180 derajat celcius.

Prima menepuk tangannya girang, “Yaaay! Habis ini tinggal kasih whipped cream sama icing, terus topping, iya kan?” Seven mengangguk, ikut senang melihat kakak kelasnya yang tersenyum lebar itu.

Sebenarnya, saat diperjalanan ke rumah, Seven merasa gugup karena akan berduaan dengan Prima di rumahnya. Ditambah lagi, Seven ini orang yang susah memulai percakapan dan membangun suasana, ia takut kak Prima akan bosan menghabiskan waktu dengannya. Untungnya, karena Prima ini adalah orang yang nggak pernah berhenti mengoceh, tidak ada rasa canggung di antara mereka.

Prima pandai membangun suasana menjadi menyenangkan, ditambah lagi perempuan ini selalu mempunyai topik pembicaraan. Mungkin karena dengan sifat Prima yang seperti itu, Seven merasa nyaman saat bersamanya.

“Wow, Sev, ini lo waktu SMP?” Seven kaget ketika melihat Prima yang tiba-tiba berdiri di depan kumpulan framed photos di ruang tamunya. “AH, kok kakak liatin sih, gue maluuuu,” komplain Seven, menghampiri Prima yang tertawa karena reaksinya.

Prima mengambil salah satu foto Seven, yaitu foto saat wisuda SMP sekitar dua atau satu tahun yang lalu, ia tersenyum melihat sosok Seven yang masih imut.

“HAHAHAHA di sini kacamata lo masih kotak terus tebel,” ejek Prima, masih memegang foto itu sedangkan Seven berusaha untuk merebutnya kembali. “Duh, dulu gue dikatain culun mulu. Gara-gara udah anak fotografi, duduknya selalu paling depan, terus kacamata gue udah setebel buku latsol UN.”

Prima kemudian duduk di sofa, diikuti oleh Seven yang sudah menyerah dan akhirnya membiarkan Prima melihat foto-foto dari photo album milik keluarganya. “Ah, ini waktu gue pertama kali masuk SD, paling pendek di kelas waktu itu.” Seven menunjuk salah satu foto yang terletak di halaman pertama albumnya.

“Kocak ya, poni lo jelek banget, kayak Ehsan.” Prima sekali lagi mengejek adik kelasnya. Kali ini, Seven ikut tertawa karena ia setuju. “Iya ya, siapa coba yang bolehin gue ponian kayak gitu, jelek banget.”

Mata Prima sekilas melirik ke wajah Seven, yang hanya berjarak beberapa centimeter dari wajahnya. Mereka duduk sebelahan, dekat banget, karena Seven mendekatkan wajahnya untuk melihat photo albumnya juga.

Ganteng banget, mamanya ngidam apa ya waktu hamil? Gue juga mau punya anak seganteng ini

Prima tidak mau mengakuinya, tapi jantungnya daritadi berdebar. Walaupun ia sudah mencoba untuk menenangkannya, rasanya sulit karena Seven dekat banget.

“Kak,” panggil Seven sehingga membuat Prima menengok.

Oh!

Mata mereka bertemu.

Seven ikut kaget saat menyadari wajah Prima sangat dekat dengannya, ia membeku di tempat, napasnya tertahan karena gugup.

Begitupun juga Prima. Mata perempuan itu melebar, dan jantungnya makin berdebar. Ia bisa merasakan pipinya memerah, karena mereka sudah mulai hangat. Anehnya, ia tidak ada niatan untuk menjauhkan dirinya dari adik kelasnya itu.

Deheman Seven menyadarkan Prima. Ia menjauhkan wajahnya dari adik kelasnya itu, yang mulai rileks saat Prima menggeserkan tubuhnya menjauh sedikit. “Itu, um, handphone-nya geter daritadi,” Seven menunjuk ke handphone yang berada di dalam saku rok perempuan itu. “O-oh, iya, sebentar ya Sev.”

Setelah Prima pergi ke luar rumah untuk mengangkat telepon, Seven menjambak rambutnya sambil menjerit pelan, agar tidak terdengar oleh Prima. Ia malu sekaligus menyesal karena membuat suasana canggung. Seven selalu menganggap dirinya perusak suasana, sebab setiap kali ada suasana canggung bersama Prima, pasti ia yang memulainya.

Tidak sadar mereka telah menghabiskan waktu yang lama dengan melihat-lihat photo album, timer Seven berbunyi, menandakan bahwa adonannya sudah jadi. Ia bangkit dari sofa kemudian berjalan menuju oven sambil mencubit-cubit pipinya yang panas karena kejadian tadi.

“Tadi deket banget,” gumamnya. “Nyaris– ah, gue mikirin apaan sih?!”

Seven’s POV

Selagi nunggu ngeprint, gue liatin lagi film yang tadi gue cuci. Minggu lalu, gue ketemu sama kak Prima di depan tempat lesnya, waktu gue mau jemput mama dari salon.

Unfortunate yet fortunately, mama gue ternyata mau belanja bulanan dulu, jadi gue disuruh jalan-jalan sendiri. Ya udah, karena ada kak Prima, gue ajak aja jalan-jalan bareng.

Kebetulan juga, gue bawa film camera waktu itu. Jadi gue tawarin aja buat foto-foto, siapa tau dia pengen post hasilnya di feeds IG nya kan? Setau gue, orang-orang suka begitu.

“Haii,” kak Prima mendorong pintu ruang fotografi dengan badannya, dengan plastik berisi cemilan-cemilan dari supermarket tadi.

Gue pegangin pintunya, “Hai kak, banyak banget itu.”

Dia nyengir, “Buat stok ngemil di kamar gue. Oh iya, nih Nescafe lo,” katanya terus dikasih ke gue. “Lo suka kopi ya Sev?”

“Biasa aja sih sebenarnya, tapi karena bokap sama nyokap gue minumnya kopi mulu, gue jadi ikut-ikutan.”

“Tau nggak sih Sev, di mata gue tuh, orang yang suka minum kopi keren, apalagi kalo mereka suka americano,” ucap kak Prima. “Karena gue pribadi nggak bisa minum kopi, waktu itu gue nyoba terus pahitttttt banget! Gue juga agak takut sih, gara-gara ternyata yang gue minum itu kopi kadaluarsa.

Lu tau tiramisu kan? Eh pasti tau lah ya kan lo punya bakery. Nah, gue juga nggak suka tiramisu, gara-gara kayak kopi baunya. Eh eh gue jadi pensaran, tiramisu itu kopi bukan sih, Sev?”

Kak Prima kalo udah mulai ngoceh, kata-katanya selalu pas sama ekspresi yang dia pasang. Lucu, soalnya tangan dia juga nggak mau diem.

“Tiramisu tuh ada espressonya kak, tapi nggak banyak-banyak banget. Ya nggak sebanyak minuman kopi gitu deh, jadi nggak bikin lo melek, paham kan ya maksud gue? Kata bokap gue sih kayak gitu,” jelas gue sambil meneguk minuman kaleng yang dibeli sama kak Prima.

“Kalo kakak nggak suka kopi, waktu ke starbucks kakak mesen apa dong?” gue tanya, penasaran.

Dia meletakkan jarinya di dagu, “Hmm, gue sih sebenarnya emang kurang suka minuman yang creamy-creamy gitu. Jadi gue mesennya iced tea gitu dehhh, gue juga jarang ke starbucks sih.”

Gue ber oh ria, lalu nyimpen hasil print gue ke dalem folder. “Ya udah, balik yok kak? Takut kesorean.”

“Okaayyyyy.”


“Makasih Sev,” kak Prima turun dari motor, melepaskan helmnya lalu memberikannya ke gue. Rambutnya yang panjang itu jadi berantakan, dia nggak sadar, tapi dia jadi keliatan lucu.

“Sorry kak, sini bentar,” gue memintanya untuk majuan dikit. Dia nurut, tapi dari wajahnya, dia keliatan bingung.

Dengan sedikit rasa ragu, gue rapihin rambut kak Prima yang tadinya berantakan. Rambutnya halus, wanginya kayak wangi shampoonya The Body Shop, gue tau soalnya mama gue juga make shampoo yang wanginya persis sama yang dipake kak Prima.

Kak Prima nggak ngomong apa-apa, malah mukanya datar. Dia cuma berdiri diem seolah-olah dia membeku, tatapannya juga daritadi mengarah ke sepatunya doang.

Kak Prima cantik. Dari atas aja udah cantik banget. Waktu gue pertama kali liat kak Prima, di mata gue ya dia sama aja kayak cewek-cewek lainnya, cuma sedikit lebih aneh, in a good way. Tapi, semakin lama gue mengenalnya, semakin cantik dia di mata gue. Nggak tau kenapa, mungkin sesuatu di kak Prima ini membuatnya terlihat menarik — mungkin karena dia selalu senyum, mungkin karena cerita-cerita dia seru, mungkin karena dia bisa bikin orang-orang disekitarnya nyaman — apapun itu alasannya, gue seneng kalo ada kak Prima di sekitar gue.

“Lo tuh emang gini ya, Sev?” tiba-tiba dia nanya.

gue mengangkat alis, “Maksudnya?”

“Iya lo…” kak Prima semakin menundukkan kepalanya, “…jago bikin orang deg-degan.”

Prima’s POV

Ah! Handphone gue mati

Gue mendecak, kemudian menghembuskan napas kesal. Mama kebiasaan banget, suka telat ngabarin. Kalo dia daritadi bilang dia nggak jadi jemput, gue bisa nebeng Kirei.

Pasrah, gue akhirnya duduk di anak tangga lobby sekolah, nunggu ada orang yang gue kenal lewat biar bisa gue pinjemin HP-nya buat pesen ojol.

“Sial dah emang sial banget gue hari ini,” gumam gue. “Udah tadi ulangan fisika nilainya jeblok, presentasi buat PPKN tapi flashdisknya sempet ilang, terus pusing gara-gara nggak ngerti matmin,” gue turunin jari gue satu-satu seolah-olah lagi ngitung hal-hal jelek yang terjadi kepada gue hari ini.

“Kak?” tiba-tiba suara yang nggak asing di telinga gue terdengar, gue langsung nengok ke arah sumber suara itu.

Seven berdiri di samping gue, mengenakan kacamata buletnya yang mirip punya Harry Potter itu.

Ganteng.

“Hai,” sapa gue, sedikit malu karena teringat sama isi chattan kita kemarin.

Seven tersenyum, well at least kelihatannya kayak gitu dari masker yang ia pakai, lalu duduk di samping gue. “Belum dijemput kak?” tanya dia, gue menggelengkan kepala sebagai respon. “Nggak pulang sama kak Kirei?” tanya dia lagi, gue meggelengkan kepala gue lagi. “Tadinya mau pulang sama mama, tapi ternyata dia nggak jadi bisa gara-gara lembur. Handphone gue mati, jadi gue nggak tau mau gimana.”

Loh, gue kan bisa minjem handphone dia aja?

“Sev gue boleh pin–”

“Gimana kalo lu pulang bareng gue aja?” celetuk Seven. Tapi cowok itu telinganya memerah waktu sadar dia nggak sengaja menyela gue. “Maaf kak, kenapa?”

“Eh nggak nggak, ayo pulang bareng. Lo bawa apa emangnya?”

Seven kelihatan lebih tenang sekarang, “Motor sih kak, nggak apa-apa?”

Gue mengangguk, mengacungkan jempol ke Seven, “Boleh banget!” Cowok itu ikut mengacungkan jempol juga, kemudian kita berdua berjalan ke parkiran, sambil ngobrolin hal-hal yang sebenarnya nggak penting.

Sesampainya di parkiran, Seven tiba-tiba nahan gue yang berniat naik motornya. “Kenapa?” tanya gue heran, tapi Seven malah turun dari motornya terus mengeluarkan sesuatu dari ranselnya.

Seven mendekat ke gue, lalu nunduk, ngiketin jaketnya di pinggang gue. “Kakak roknya pendek, biar nyaman aja, hehe.”

Ya Tuhan gue bisa gila kalo kelamaan sama cowok ini


“Dingin nggak kak?” tanya cowok itu, tapi suaranya nggak begitu kedengeran gara-gara lagi naik motor. Ya terus juga banyak suara kendaraan juga sih.

“APA?!” teriak gue kencang, biar Seven bisa denger. Cowok itu malah meringis, “Aduh kak jangan kenceng-kenceng, gue bisa denger kok.”

Oalah bisa denger

Gue ketawa kecil, “Maaaffffff.”

Setelah itu kita nggak ngomong apa-apa, gue ngintip spion buat liatin Seven yang fokus liatin jalan. Ganteng. Cowok ini ganteng banget. Diem ganteng, fokus ganteng, ngomong ganteng, pokoknya semua yang cowok ini lakuin itu ganteng!

Gue nggak mau bohong, I’m a sucker for pretty guys, and my junior is one of them. Walaupun dia pake masker, dia tetep ganteng banget.

Udah berapa kali ya gue bilang dia ganteng?

“Ngeliatin spion mulu, kak?” Seven tiba-tiba nyaut ke gue. Gue yang baru aja ketauan liatin dia, wajahnya jadi panas karena malu. “Y-yaa soalnya nggak tau mau liatin apa lagi,” gumam gue, menyembunyikan wajah di punggungnya karena malu.

Gue bisa denger suara tawanya, gue makin malu.

“Pegangan kak,” katanya lalu menunjuk-nunjuk pundaknya. “Gue gelian orangnya, jadi pegang pundak gue aja ya. Biar nggak jatoh, hehe. Eh tapi jangan sampe nyekek gue ya kak.”

“Iyaaaa nggak bakal,” ucap gue lalu pegangan ke pundaknya.

Ini pertama kali gue sedeket ini sama cowok — cowok yang hampir setahun lebih muda dari gue, cowok yang jago bikin kue, cowok yang wanginya kayak cookies, cowok yang senyumanya manis, cowok yang dari minggu lalu menganggu pikiran gue.

Cowok itu bernama Seven.

Waktu begitu cepat berlalu, karena kita udah sampe di depan rumah gue. “Sebentar kak,” Seven turun dari motornya, lalu mengulurkan tangannya. “Sudah sampai, tuan putri,” candanya sambil tertawa kecil.

Gue ikut tertawa, lalu menyambut tangan kosongnya dengan tangan gue. “HAHAHA, terima kasih,” balas gue kemudian turun dari motornya.

Tangan kita masih berpegangan, walaupun nggak erat, rasanya mendebarkan. Begitu pun mata kita yang mereka masih menatap satu sama lain. Saat itu gue sadar, Seven memiliki mata yang cantik, even behind those thin round glasses of his. Terus waktu dia tersenyum, matanya juga ikut senyum.

Manis.

Persis kayak orangnya.

“Ya udah, masuk gih kak.” Ia menurunkan tangannya, sehingga rasa sentuhannya menghilang begitu saja. Ada sedikit rasa kecewa di dalam diri gue waktu tangan kita berpisah, karena gue masih mau pegangan lebih lama lagi.

Gila gue mikirin apa sih?

Seven kembali duduk di atas jok motornya lalu mengenakan helm hitam miliknya. “Get some rest kak, you’ve worked hard today as well,” ucapnya sambil melambaikan tangan.

Gue tersenyum, lalu membalasnya dengan acungan jempol, “Makasih ya Sev udah anterin gue.”

“No problem, duluan ya kak? See you tomorrow.”

Dengan itu, ia nancep gas lalu pergi. Walaupun punggungnya udah nggak keliatan, gue masih bisa merasakan keberadaannya di sini.

Di sini tuh di hati gue maksudnya.

JIAKHHHHHHHH BISAAN LU PRIM

Pintu kelas 12 MIPA 4 terbuka lebar, Prima langsung disambut oleh lehernya Seven. Perempuan itu kemudian menghadap ke atas, agar matanya bertemu mata adik kelasnya itu.

“Hai!” sapa Prima dengan senyuman yang lebar. Satu hal yang Seven sadari setiap melihat Prima di sekolah itu perempuan ini selalu tersenyum. Mungkin karena itu, orang-orang disekitarnya ikut tersenyum.

Termasuk Seven yang senyumin dia balik.

“Halo kak, ini kuenya,” lelaki itu menyodorkan sebuah kotak stereoform yang berisi kue lunchbox. Matanya berbinar, “Ehhhh ini lo buat sendiri? Sumpah? Sampe dekorasi juga? Padahal kalo polos biasa nggak apa-apa loh, ini cantik banget Sev…”

Seven merasakan telinganya mulai hangat, malu mendengar pujian dari perempuan itu. “Nggak apa-apa, gue paling suka bagian dekorasinya malah,” ucapnya malu-malu.

Prima mengangguk, “Ini rasa apa by the way Sev?”

“Cokelat– eh, kakak…kakak nggak alergi cokelat kan?”

“Nggak kok, gue bisa makan cokelat,” jawabnya kemudian menyicipi kuenya. Seven gugup. ‘Gimana ya kalo dia nggak suka? Gimana kalo nggak sesuai ekspektasi dia? Tadi gue nggak ketuker gula sama garam kan?’ kira-kira begitu isi pikirannya sekarang.

Matanya melebar, kemudian Prima mengacungkan jempol ke Seven. “ENAK BANGEEETTTTT! Sev, lo jago banget serius. Nggak heran sih dari son of a baker,” katanya dengan girang.

Seven menghela napas lega, “Gue udah takut nggak sengaja ketuker garam sama gulanya.”

“HAHAHAHA NGGAK MUNGKIN LAH LU KAYAK GITU, tapi serius ini enak banget.” Prima kemudian menyodorkan garpunya ke arah dia, “cobain juga dong, buka mulutnya.”

‘Ini gue…disuapin?’

Telinga Seven memerah, ia bisa merasakan seluruh wajahnya jadi panas banget. Lelaki itu membeku di tempat, dia belum pernah disuapin orang lain selain mamanya sendiri. Apa lagi, orang ini Prima, dia jadi makin malu.

“Ya udah kalo nggak mau–“

Sebelum ia menurunkan tangannya, Seven buru-buru menarik tangan Prima mendekat ke wajahnya, lalu melahap kue itu.

….

Sunyi.

Tidak ada suara apa-apa. Seven hanya bisa mendengarkan suara detak jantungnya yang daritadi nggak mau diem, kali ini dia yakin mukanya lebih merah dari tomat, karena malu banget.

Lelaki itu memberanikan diri dengan perlahan-lahan melirik wajah Prima. Tapi, bukannya lega, dia malah makin malu karena matanya langsung bertemu dengan mata perempuan itu.

‘MALU SERIUS GUE MALU BANGET’

“Gue balik duluan ya kak, keburu bel,” katanya buru-buru kemudian kabur menuju kelasnya. Prima, yang masih kaget karena tingkah laku Seven tadi, mulai merasakan wajahnya panas setelah menyadari apa yang telah terjadi.

“T-tadi deket banget…”

Tujuan pertama para murid setelah upacara dibubarkan adalah kantin, gue sama Keanna langsung lari ke tempat bu Ira berada, karena wanita itu jualan jus buah dan berbagai macam minuman dingin lainnya.

“Bu, jus mangganya sama nutrisari anggurnya satu ya!” pesan Keanna lalu duduk di sebrang gue. Untungnya, nggak banyak murid yang mesen ke Bu Ira, jadi kita bisa duduk-duduk santai tanpa mengkhawatirkan orang lain nyolong pesanan kita.

“Eh tujuh, tungguin gue anjir!” seru salah satu murid yang di kantin.

Tujuh? Panggilannya lucu amat, gue jadi keinget sama Seven, cowok yang waktu itu gue rusakin robotnya.

Apa kabar ya dia? Habis dia bilang kalo dia mau keluar robotik, gue sama dia udah nggak chattan lagi. Ya tapi ngapain juga sih, kan niatnya bantuin dia doang, bukan temenan gitu.

“Eh…”

Tepat setelah itu, ada sosok laki-laki yang familiar di belakang Keanna. Gue nggak bohong, tinggi badan dan back profile-nya mirip banget sama seseorang. Tapi gue nggak tau siapa, rasanya kayak gue kenal orang itu.

“Lo ngeliatin siapa sih?” Keanna menengok ke arah mata gue tertuju, kemudian kembali liatin gue penasaran. “Lo kenapa liatin Seven kayak gitu?”

Eh?

“Seven? Maksud lu tujuh? Angka?”

Cewek itu ketawa, “Nama dia emang Seven, Prim. Dia adek kelas kita yang tahun lalu ikut lomba mini movie terus dapet juara pertama itu loh, masa nggak tau?”

Gue menggelengkan kepala gue.

“Gini deh, lo tau Hadiru Bakery kan?” tanya Keanna yang kemudian gue jawab dengan anggukan. Dia menunjuk-nunjuk cowok tadi menggunakan dagunya, “Dia anak pemiliknya.”

OHHHHH DIA ANAK PEMILIKNYA?

Gue tau Hadiru Bakery karena mama gue suka beliin browniesnya setiap pulang kerja, terus kalo ada yang ulang tahun, pasti kita belinya di Hadiru Bakery juga.

“Serius? Gue sering ke situ dari kecil, gue baru tau kalo anak pemiliknya sekolah disini,” ucap gue. Mata gue terus ngeliatin Seven yang lagi ngobrol sama temen-temennya.

“Kok lu tau deh, Kea?” tanya gue curiga. “Tau lah, orang tahun lalu dia hot topic gitu. Lu sih nggak pernah buka tiktok, dia kan pernah viral karena sempet kerja di Hadiru Bakery, makanya dia remove followers sama private IG-nya,” balas Keanna.

“Makanya Prim, liatin sekeliling lu juga. Cowok mah yang lo perhatiin cuma Marius.”

Gue keselek nutrisari gue, “Eh itu udah lama ya! Gue udah nggak suka lagi sama dia, enak aja.”

Keanna malah ketawa doang, emang bener-bener ya setan. FYI, Marius ini dulu orang yang pernah gue sukain. Tapi waktu gue tau dia punya pacar, gue berhenti suka sama dia (walaupun sempet galau 3 bulan sih).

“Jus mangganya udah nih, punya siapa ambil!” panggil bu Ira yang kemudian disamperin sama Keanna, orang yang mesen jus mangga itu.

Jadi ternyata Seven ini satu sekolah sama gue ya? Buset, dunia ini sempit juga.