solonne

Jora’s POV

Gue deg-degan.

Entah udah berapa lama gue nggak ngobrol sama Asa, palingan sih cuma beberapa hari, tapi rasanya kayak udah lamaaaaaa banget.

Sejak hari itu, Asa nggak ada ngechat atau nyapa gue sama sekali. Tapi, gue ngerti sih, kayaknya dia beneran sakit hati sama ucapan gue waktu itu. Dan, gue akui, kayaknya gue emang berlebihan.

Gue ngerasa bersalah banget.

Sekarang, gue berjarak lima langkah dari pintu rumah Asa. Gue takut. Takut kalo Asa nggak mau maafin gue, atau lebih parah, jadi benci sama gue.

Tujuan gue buat ketemu Asa itu buat minta maaf. Samperin ke rumah dia buat minjemin buku ekonomi itu cuma alasan doang. Sebenarnya, gue mau minta maaf. Dan semoga aja, setelah ngobrol sama Asa nanti, kita akan kembali seperti dulu.

HAHAHA “dulu” padahal baru kenal beberapa minggu juga.

Gue menarik napas lalu memencet bel rumahnya. Berharap Asa yang membuka pintu.

Tapi, bukannya Asa, seorang perempuan yang wajahnya mirip banget sama Asa buka pintunya.

“Nyari siapa ya?” tanya perempuan itu. Suaranya halus, tapi membuat gue gugup. “Oh, um, itu, saya temennya Asa.” Gue memberikan senyuman teramah gue, biar nggak kelihatan takut-takut banget.

Mata perempuan itu membulat, dan wajahnya yang tadi kelihatan lelah berubah jadi segar. “OOHHHH kamu temannya Asa? Wah wah, ini pertama kali aku lihat Asa ngajak temen perempuan ke rumah malem-malem. Ayo masuk sini, Asa nya aku panggil, kamu duduk dulu di sana.” Ia menunjuk ke arah sofa, nggak jauh dari pintu masuk rumahnya.

Gue tadinya berniat nolak, dan bilang kalo gue nunggu Asa dateng di luar aja. Tapi, dia nggak kasih gue waktu buat jawab, jadi gue terpaksa iyain aja.

“Kejora?”

Oh, udah lama banget gue nggak denger Asa manggil nama gue.

Mata gue tertuju ke pada Asa yang berjalan turun dari tangga, sebelum ia duduk di sofa, agak jauhan dari gue. “Harusnya lu chat gue dulu, atuh, kalo udah di depan rumah. Biat gue yang bukain, bukan kakak gue,” katanya, sambil mengeringkan rambut dengan handuk warna cokelat tua miliknya.

Setelah itu hening. Tatapan gue terkunci pada buku ekonomi di pangkuan gue, sedangkan Asa ngeliatin jam dinding sambil mengetuk-ketuk sofa dengan jarinya. “Ini…buku ekonominya, Sa,” ucap gue untuk mencairkan suasana.

Seolah-olah baru inget dia mau minjem buku ekonomi, Asa terkesiap dan langsung mengambil bukunya dari tangan gue. “Eh, iya, makasih Kejora. Lu ekonomi hari selasa kan? Nanti gue balikin secepatnya, oke?”

Gue mengangguk. “Ya udah, lu langsung balik? Mau gue anterin sampe depan rumah?” Asa bertanya, tapi tatapannya malah melihat ke jemarinya, dan bukan mata gue.

“Nggak. Gue sebenarnya ke sini karena mau ngomong sesuatu sama lu.”

Cowok itu tampaknya kaget. “Mau ngomongin…apa?”

I guess, that’s my cue to start.

“Asa,” panggil gue, memintanya untuk menatap gue. “Gue minta maaf soal waktu itu. Yang gue marah ke lu nggak jelas, padahal lu nggak ada salah sama gue sama sekali. Gue minta maaf banget, karena gue waktu itu lagi emosi dan malah ngelampiasin ke elu. And what I said about you being annoying…that’s not true at all. Lu nggak annoying, kok, Sa. Well, technically I didn’t say you were annoying. Tapi, maksud gue–”

“Kejora,” sela Asa. “Ini pertama kali lu ngomong sebanyak ini sama gue.”

Gue mengerutkan dahi bingung. Tapi, begitu melihat Asa yang tersenyum lebar, gue merasakan kedua pipi gue hangat. “Masa sih?” tanya gue nggak yakin. Asa mengangguk-angguk antusias, lalu tertawa kecil. “I think it’s cute when you ramble. Kayaknya kita kudu sering diem-dieman terus gue tunggu lu dateng ke rumah gue buat minta maaf, biar gue bisa–”

“Gue pulang.”

Asa langsung panik waktu lihat gue berdiri dan narik tangan gue. “Eh eh eh, bercanda dong Kejora. Jangan pulang dulu, emangnya gue udah maafin? Wayoloooooh.”

Ngeselin banget nih orang

Gue menghembuskan napas lalu duduk kembali. Cowok itu malah senyum-senyum kayak orang bodoh, kedua tangan memangku dagunya. “Kejora rela malem-malem ke rumah aku buat minta maaf, aku jadi terharu banget.”

“Don’t push it, Angkasa.”

Matanya membulat begitu gue ucapin nama pertamanya dengan lengkap, dan bukan dengan singkat seperti biasanya. “Panggil gue lagi.”

“Apaan?”

“Panggil gue lagi,” ulangnya. “Pake nama pertama gue yang lengkap.”

“Hah?” gue menatapnya aneh. “Apaan sih, buat apaan?”

“Panggil ajaaaaaa,” balasnya dengan nada merengek. Asa udah masang wajahnya yang katanya sih wajah imut, tapi menurut gue, lebih kayak nyebelin sih.

Gue memutarkan kedua bola mata gue, lalu menghela napas.

“Angkasa.”

Cowok itu membungkam mulutnya. “Aduh, Kejora. Kalo lu manggil nama pertama gue lengkap gitu, gue bisa kena serangan jantung.”

“Heh! Omongan lo, anjir!”

Dia tertawa, lalu pindah untuk duduk di sebelah gue, nggak sejauh tadi. “Sekarang karena kita udah baikan — walaupun sebenarnya gue nggak marah sama lu sih — kayaknya gue bakal lebih sering nempel sama lu. Gimana, Kejora? Boleh nggak? Boleh dong, masa enggak. Eh, boleh beneran kan?”

“Nempel nempel, nanti kalo gue bilang lu bacot juga lu jauhin gue lagi, kan?”

“Hmm tapi kalo Kejora dateng ke rumah gue buat minta maaf, gue bakal selalu maafin. Hehe.” Ia mendekatkan wajahnya ke bahu gue, gue yang kaget karena wajahnya yang deket banget langsung mendorongnya menjauh. Tapi bukannya cemberut, Asa justru tertawa melihat gue salah tingkah.

“Kenapa lo selalu ikut campur hubungan gue sama dia sih?” tanya Gerald dengan nada kesal.

Hanya ada Gerald dan Jora di kelas saat itu. Di saat yang lain pergi untuk pulang, mereka berdua malah berdebat di kelas. Lebih tepatnya, Jora yang sedang berusaha untuk membantu Gerald dan Hiromi baikan dan Gerald yang keras kepala, tidak ingin mengalah.

Jora menghela napas panjang. “Gue nggak bermaksud ikut campur, Ger. Tapi masalahnya lo sama Hiromi ini melibatkan gue, paham nggak? Kalian berantem, ya udah, tapi lo berdua tuh…lo berdua tuh bikin gue repot juga.”

“Repot apaan?” Gerald terkekeh. “Emangnya lo ngapain? Hubungan ini, kan, punya gue sama Hiromi. Lu aja kali, yang ngerasa harus ikut campur semua masalah kita.”

“Maksud lo?”

“I mean, think about it, Jo.” Laki-laki itu berjalan ke Jora dengan wajah menyebalkannya. “Kalo kita ada berantem, you always feel like you have the need to include yourself. Kayak, lo tuh, selalu melibatkan diri lo. Nggak ada yang ngajak lo. Lo aja, yang pengen ikut campur. Bener kan?”

Jora menatap temannya itu dengan tatapan tidak percaya. Ia merasa tersinggung, dan marah karena tidak terima disalahkan padahal ia hanya ingin kedua temannya baikan. “Oh, okay, I get it. Jadi gue ikut campur, gue yang nyebelin, gue yang nggak tau posisi gue. Yang berantem lo sama Hiromi, dan gue salah karena mau kalian baikan, gitu? Gue salah karena gue nggak mau ngerasa canggung, iya?”

Perempuan itu mengambil buku dari meja, lalu melempar bukunya sehingga mendarat di wajah Gerald, membuat laki-laki itu meringis kesakitan. “ANJING! What the hell was that for?”

“For being fucking selfish.” Jora mengambil bukunya kembali dengan kesal. “Do you even realize, the fight you have going on with Hiromi is bothering me, too? Lo bilang gue yang ikut campur, padahal lo sama dia yang libatin gue. I don’t care, kalo kalian berantem sampe jambak-jambakan. Tapi kalo kalian berantem sampe bikin orang-orang di sekitar kalian — termasuk gue — ngerasa nggak enak, ya gue nggak bisa biarin aja lah!”

Gerald terdiam, masih mengelus wajahnya yang sakit karena buku yang dilempar oleh perempuan itu. “Gue lama-lama juga capek, tau nggak? Harus keep up with kalian, harus sabar sama kalian, harus jadi perantara kalian. This is my last straw, Gerald. If you two don’t talk things out, gue nggak mau ngobrol sama kalian lagi.”

Tidak ada balasan dari laki-laki itu. Jora menghela napas kecewa, lalu ia pergi keluar kelas, meninggalkan Gerald sendirian.

Jarang-jarangnya Jora marah seperti tadi. Ia dikenal sebagai orang yang paling kalem di antara mereka bertiga. Biasanya, pertengkaran Hiromi dan Gerald akan berakhir dalam dua hari. Tapi, kali ini, sudah dua minggu berlalu dan mereka masih berantem.

Jora lelah. Ia lelah karena Gerald dan Hiromi terus-terusan rebutin dia. Dan jika Jora mengikuti salah satunya, yang satu lagi akan marah dan menyuekinya. Ia membenci hal itu, karena rasanya ia yang salah, padahal yang berantem mereka berdua.

Jora bisa melihat sosok familiar dari kejauhan menghampiri dia. Ia menghela napas panjang, lelah hanya dengan melihat orang itu. Karena orang itu adalah orang yang paling bawel yang ia kenal. Jora sedang tidak mau diajak berbicara, ia sedang ingin sendiri. Tapi, tentu saja, orang itu tidak tau. Karena ia berjalan ke arah Jora dengan senyumannya yang sangat lebar, menandakan bahwa orang itu akan mengoceh tanpa henti untuk kesekian kalinya.

“Hai,” sapa Asa. “Mukanya kusut amat, neng. Napa? Habis ulangan ya? Tadi gua habis ulangan geografi sih. Gilaaa dah gila, susah banget. Mana pak Hanan itu nyeremin banget ya, ngawasin kita ulangan kayak ngawasin apa aja. Oh iya, lu baru mau balik? Gue juga, tadi habis kerkel, ujung-ujungnya juga cuma Julian yang kerjain sih soalnya gue bingung mau ngapain. Atau enggak, dia rasa kalo gue bantu malah bakal gagal. Tapi emangnya gue kelihatan se-unreliable itu apa?”

“Berisik,” gumam Jora. Laki-laki itu mengangkat alisnya, lalu mendekatkan telinganya ke Jora. “Apa? Nggak kedengeran, Kejora. Soalnya Kejora lebih pendek daripada gue. HAHAHAHA BERCANDA BERCANDA, serius ngomong apaan tadi?”

Perempuan itu menghela napas kasar, lalu mendecak begitu ia berhasil menjauhkan dirinya dari Asa. “Gue bilang lu berisik, tau nggak? Lo tuh, emang nggak bisa baca situasi ya? Lo nggak liat, kalo gue nggak mau diajak ngobrol? Gue nggak pernah nanya juga tentang keseharian lo, gue nggak mau tau dan nggak perlu tau. Gosh, Asa, you’re so chatty for a guy. I can’t stand you.”

Asa tersentak karena Jora yang tiba-tiba mengecangkan suaranya. Jora juga shock dengan ucapannya sendiri. Ia menutup mulutnya kaget, dan hatinya menciut begitu ia melihat senyuman Asa yang memudar. “Sa, maksud gue–”

“Sorry, Kejora. Kayaknya gue yang bodoh karena nggak sadar lu lagi capek. Gue duluan ya. Sorry if I was annoying you, hehe. Nanti waktu udah sampe rumah, cepet-cepet istirahat ya, dadaaaah!” potong Asa. Ia memberikan senyuman terbaiknya ke Jora, melambaikan tangannya lalu buru-buru menuju parkiran.

Jora menenggelamkan wajah di kedua telapak tangannya. Ia merasa bersalah, tapi ia juga merasa lega setelah mengeluarkan kata-kata itu. Namun, tetap saja, ia tidak bermaksud untuk menyinggung Asa.

“Kerja bagus Jora, you let your emotions get the better of you.”

“Kenapa lo selalu ikut campur hubungan gue sama dia sih?” tanya Gerald dengan nada kesal.

Hanya ada Gerald dan Jora di kelas saat itu. Di saat yang lain pergi untuk pulang, mereka berdua malah berdebat di kelas. Lebih tepatnya, Jora yang sedang berusaha untuk membantu Gerald dan Hiromi baikan dan Gerald yang keras kepala, tidak ingin mengalah.

Jora menghela napas panjang. “Gue nggak bermaksud ikut campur, Ger. Tapi masalahnya lo sama Hiromi ini melibatkan gue, paham nggak? Kalian berantem, ya udah, tapi lo berdua tuh…lo berdua tuh bikin gue repot juga.”

“Repot apaan?” Gerald terkekeh. “Emangnya lo ngapain? Hubungan ini, kan, punya gue sama Hiromi. Lu aja kali, yang ngerasa harus ikut campur semua masalah kita.”

“Maksud lo?”

“I mean, think about it, Jo.” Laki-laki itu berjalan ke Jora dengan wajah menyebalkannya. “Kalo kita ada berantem, you always feel like you have the need to include yourself. Kayak, lo tuh, selalu melibatkan diri lo. Nggak ada yang ngajak lo. Lo aja, yang pengen ikut campur. Bener kan?”

Jora menatap temannya itu dengan tatapan tidak percaya. Ia merasa tersinggung, dan marah karena tidak terima disalahkan padahal ia hanya ingin kedua temannya baikan. “Oh, okay, I get it. Jadi gue ikut campur, gue yang nyebelin, gue yang nggak tau posisi gue. Yang berantem lo sama Hiromi, dan gue salah karena mau kalian baikan, gitu? Gue salah karena gue nggak mau ngerasa canggung, iya? ”

Perempuan itu mengambil buku dari meja, lalu melempar bukunya sehingga mendarat di wajah Gerald, membuat laki-laki itu meringis kesakitan. “ANJING! What the hell was that for?”

“For being fucking selfish.” Jora mengambil bukunya kembali dengan kesal. “Do you even realize, the fight you have going on with Hiromi is stressing me out, too? Lo bilang gue yang ikut campur, padahal lo sama dia yang libatin gue. I don’t care, kalo kalian berantem sampe jambak-jambakan. Tapi kalo kalian berantem sampe bikin orang-orang di sekitar kalian — termasuk gue — ngerasa nggak enak, ya gue nggak bisa biarin aja lah!”

Gerald terdiam, masih mengelus wajahnya yang sakit karena buku yang dilempar oleh perempuan itu. “Gue lama-lama juga capek, tau nggak? Harus keep up with kalian, harus sabar sama kalian, harus jadi perantara kalian. This is my last straw, Gerald. If you two don’t talk things out, gue nggak mau ngobrol sama kalian lagi.”

Tidak ada balasan dari laki-laki itu. Jora menghela napas kecewa, lalu ia pergi keluar kelas, meninggalkan Gerald sendirian.

Jarang-jarangnya Jora marah seperti tadi. Ia dikenal sebagai orang yang paling kalem di antara mereka bertiga. Biasanya, pertengkaran Hiromi dan Gerald akan berakhir dalam dua hari. Tapi, kali ini, sudah dua minggu berlalu dan mereka masih berantem.

Jora lelah. Ia lelah karena Gerald dan Hiromi terus-terusan rebutin dia. Dan jika Jora mengikuti salah satunya, yang satu lagi akan marah dan menyuekinya. Ia membenci hal itu, karena rasanya ia yang salah, padahal yang berantem mereka berdua.

Jora bisa melihat sosok familiar dari kejauhan menghampiri dia. Ia menghela napas panjang, lelah hanya dengan melihat orang itu. Karena orang itu adalah orang yang paling bawel yang ia kenal. Jora sedang tidak mau diajak berbicara, ia sedang ingin sendiri. Tapi, tentu saja, orang itu tidak tau. Karena ia berjalan ke arah Jora dengan senyumannya yang sangat lebar, menandakan bahwa orang itu akan mengoceh tanpa henti untuk kesekian kalinya.

“Hai,” sapa Asa. “Mukanya kusut amat, neng. Napa? Habis ulangan ya? Tadi gua habis ulangan geografi sih. Gilaaa dah gila, susah banget. Mana pak Hanan itu nyeremin banget ya, ngawasin kita ulangan kayak ngawasin apa aja. Oh iya, lu baru mau balik? Gue juga, tadi habis kerkel, ujung-ujungnya juga cuma Julian yang kerjain sih soalnya gue bingung mau ngapain. Atau enggak, dia rasa kalo gue bantu malah bakal gagal. Tapi emangnya gue kelihatan se-unreliable itu apa?”

“Berisik,” gumam Jora. Laki-laki itu mengangkat alisnya, lalu mendekatkan telinganya ke Jora. “Apa? Nggak kedengeran, Kejora. Soalnya Kejora lebih pendek daripada gue. HAHAHAHA BERCANDA BERCANDA, serius ngomong apaan tadi?”

Perempuan itu menghela napas kasar, lalu mendecak begitu ia berhasil menjauhkan dirinya dari Asa. “Gue bilang lu berisik, tau nggak? Lo tuh, emang nggak bisa baca situasi ya? Lo nggak liat, kalo gue nggak mau diajak ngobrol? Gue nggak pernah nanya juga tentang keseharian lo, gue nggak mau tau dan nggak perlu tau. Gosh, Asa, you’re so chatty for a guy. I can’t stand you.”

Asa tersentak karena Jora yang tiba-tiba mengecangkan suaranya. Jora juga shock dengan ucapannya sendiri. Ia menutup mulutnya kaget, dan hatinya menciut begitu ia melihat senyuman Asa yang memudar. “Sa, maksud gue–”

“Sorry, Kejora. Kayaknya gue yang bodoh karena nggak sadar lu lagi capek. Gue duluan ya. Sorry if I was annoying you, hehe. Nanti waktu udah sampe rumah, cepet-cepet istirahat ya, dadaaaah!” potong Asa. Ia memberikan senyuman terbaiknya ke Jora, melambaikan tangannya lalu buru-buru menuju parkiran.

Jora menenggelamkan wajah di kedua telapak tangannya. Ia merasa bersalah, tapi ia juga merasa lega setelah mengeluarkan kata-kata itu. Namun, tetap saja, ia tidak bermaksud untuk menyinggung Asa.

“Kerja bagus Jora, you let your emotions get the better of you.”

Jora’s POV

Sesuai permintaan Asa, gue izin ke guru buat ke toilet. Padahal, gue ke gerbang belakang sekolah. Gue bukan tipe murid yang suka cabut kelas atau kegiatan sekolah, karena gue tau itu akan mempengaruhi kehidupan gue ke depannya, tapi kali ini gue penasaran sama apa yang Asa mau lakuin.

Asa — cowok yang baru-baru ini gue kenal. Asa ini gue kira awalnya orang lewat aja, karena gue kira pertemuan pertama dan terakhir kita itu di ruang guru waktu itu. Tapi, semakin kenal sama Asa, gue semakin paham kenapa usernamenya twitter anak ini adalah Oddwin.

Odd, aneh, just like Asa.

Waktu gue udah sampe di belakang gerbang sekolah, gue lihat ada mobil HRV hitam di sana. Sama persis seperti mobil yang waktu itu Asa pake buat anterin gue pulang. Dan, benar aja, waktu jendelanya turun, ada Asa dengan senyuman girangnya menghadap ke gue.

“Lo beneran dateng ternyata,” kata cowok itu. Gue mengedikkan bahu. “Ya, gue juga penasaran dikit lo mau ngapain. Ini…lo beneran mau cabut kelas?”

Dia mengangguk. “Beneran. Nggak lama-lama banget sih, cuma sampe mapel BK kelar. Come on, get in.”

Mata gue membulat kaget. “Lo gila ya?! Ini masih jam sekolah, bodoh!” omel gue yang kemudian hanya dibalas dengan tawa oleh Asa. “Ya elah, santai aja kali. Nggak bakal ketahuan, percaya sama gue. Ayo masuk, Kejora. You don’t get to experience something like this often. Just ditch class once with me, just once and never again.”

Gue menggigit bibir ragu. Gue belum pernah cabut atau bolos sekolah sama sekali di hidup gue. Karena, ya, kalo gue bolos juga gue mau ngapain, kan? Nggak ada kerjaan juga di rumah. Dan ini baru pertama kalinya ada yang ngajak gue cabut kelas terang-terangan kayak gini. Bahkan, Gerald dan Hiromi pun yang udah temenan sama gue dari SMP nggak pernah ngajak gue kayak gini.

“Nggak deh, it’s fine if you don’t wanna go. I won’t force you–”

Gue buru-buru manjat gerbang, mengangetkan Asa yang kemudian langsung membuang mukanya. Waktu gue udah masuk ke dalam mobil Asa, jantung gue berdebar. “Ini baru pertama kalinya gue cabut kelas, so don’t do anything stupid please. And don’t take me to weird places, I’ll kill you,” gue memperingatinya. Asa mengangguk cepat. “Oke, kita ke cafe abangnya si Valdin aja gimana? Gue sering ke sana kalo cabut kelas, beli kopi, terus balik lagi ke sekolah. Kadang juga gue–”

“Aduh iya, iya ssuuuut! Mending cepet lu jalan. Nanti ketahuan sama satpam mampus kita.”

And just like that, gue cabut kelas untuk pertama kalinya dengan seorang Asa — cowok yang gue kira hanyalah angin lewat di hidup gue.

Jora’s POV

Waktu udah selesai masuk-masukin barang ke dalam tote bag, gue langsung berjalan menuju tangga. Tepat sebelum gue menginjak anak tangga, muncul Asa dengan wajahnya yang berkeringat dan sebuah senyuman mengembang di bibirnya. “Hai Kejora,” sapa cowok itu.

Gue yang melihat senyumnya, ikut tersenyum tipis. “Halo.”

“Mau pulang sekarang?” tanya dia, mengulurkan tangannya untuk ngambil tote bag gue. “Sini gue bawain, isinya buku-buku kan? Berat pasti.”

“Eh? Ah…oke,” balas gue lalu ngasih tote bagnya. Sebenarnya gue agak nggak enak, tapi sesuatu di diri gue tuh berfeeling, kalo gue nggak iyain anak ini pasti dia punya seribu cara lain buat bikin gue iyain dia.

Kita berdua berjalan menuju parkiran. Selama di jalan, Asa ngoceh nggak ada henti. Dia lihat satpam disapa, dia lihat guru yang udah naik motor disapa, dia lihat Bu Ika — pemilik warung depan sekolah — juga disapa. Dan lucunya, mereka semua ternyata kenal Asa. Setiap Asa nyapa, mereka pasti balas dengan gelengan kepala baru melambaikan tangan mereka. Kayaknya Asa ini emang banyak tingkahnya, sampe mereka geleng-geleng lihat anaknya.

Selain itu, Asa juga komentarin hampir semua hal yang kita lewatin. Daun, kucing, bahkan cone parkir aja dia komentarin. Tapi seru sih dengerinnya, jadi gue tanggepin-tanggepin aja.

“Oh iya, lu suka sate padang nggak, Kejora?”

Kejora

Selain guru dan staff sekolah, Asa adalah satu-satunya orang yang manggil gue Kejora. Gue nggak tau kenapa dia manggil gue itu dan bukan Jora, tapi gue nggak bakal berkomentar. Karena, gue nggak benci hal itu juga. Aneh dikit aja, dia juga nggak pernah singkat-singkatin nama gue soalnya.

“Suka, kenapa?”

Mata Asa berbinar. “Gue tau tempat sate padang di ruko perumahan kita, mau ke sana nggak? Biasanya tuh ya, kalo malem-malem, sate rasanya lebih enaaaaak!”

Gue tertawa. “Bukannya sate emang biasa dimakan malem-malem?”

Langkah Asa berhenti sejenak, ia memanyunkan bibirnya lalu mengangguk pelan. “Bener juga sih…tapi, gue juga sering kok, makan sate pagi-pagi.” Gue hanya menggelengkan kepala. “Iya iya, terserah lu. By the way, lu naik mobil atau motor ke sini?”

Asa mengayun-ayunkan kunci mobil di tangannya. “Mobil donggg. Mama gue nggak bolehin gue naik motor, gara-gara waktu SMP gue jatoh terus lutut gue dislokasi. Ya udah deh, habis itu gue belajar naik mobil.”

Gue meringis mendengar cerita dari cowok itu. “Nyeri ah, Sa.”

“Biasa aja kali, Kejora.” Ia tertawa melihat reaksi gue. Oh, ternyata kita udah sampe di depan mobilnya. “Masuk masuk masukkkkk,” panggil Asa yang udah bukain pintu buat gue. “Iya Asaaa,” balas gue, kemudian duduk di kursi depan.


Gue nggak tau apa yang membuat gue mengiakan ajakan cowok ini lagi. Tapi, sekarang gue sama Asa lagi di tempat sate padang yang tadi dia bilangin.

“Nah, ini nih! Enak banget anjir. BTW, suka lontong nggak Kejora? Kalau suka, mau punya gue nggak? Gue nggak suka lontong, hehe.”

“Eh? Ah iya boleh sini.”

Kita berdua makan di mobil. Soalnya nggak dapet tempat duduk tadi di luar. Gue belum sempet gigit satenya, si Asa udah gerak-gerak kayak salting. Katanya sih, gara-gara enak banget. Emphasize the ‘banget.’

“Makan, Kejora. Enak banget serius. Sate padangnya pak Rio tuh paling top di Jakarta!”

“You’re overreacting, Asa.” Gue menggelengkan kepala, baru bisa nyobain sate padangnya. “Eh serius Kejora. Gue udah nyobain sate padang di mana-mana, even di Padang langsung, tapi sate padangnya pak Rio tetep paling enak menurut gua. Dulu, ini punya ayahnya pak Rio, tapi karena beliau udah nggak ada, pak Rio yang ambil alih gitu. Makanya namanya ‘Sate Padang Danang’ bukan Rio.”

Ya ampun, ni anak tau dari mana coba informasi kayak gitu? Jangan bilang dia temenan sama bapak-bapaknya juga

“Kok tau sih?”

“Tau lah! Gue kan, kenal sama pak Rio. Gue ke sini pertama kali waktu SMP. Waktu itu gue habis main bareng anak-anak SD. Nah, gue kalah terus disuruh beliin mereka sate padangnya pak Rio. Dari situ, gue kenalan sama pak Rio.”

“Wow. Lo kayaknya temenan sama semua orang di dunia ya, Sa?” tanya gue terkagum-kagum. Karena yang bener aja, dia main sama anak SD terus gara-gara itu dia temenan sama bapak-bapak yang jual sate padang ini. Selain itu, dia juga dikenal sama guru-guru, staff, bahkan sampai satpam. Oh, sama penjual-penjual di kantin juga kayaknya kenal dia, deh.

“Ih, kalo gitu mah, gua mau temenan sama Justin Bieber dah,” kata Asa yang mulutnya masih penuh dengan sate padang. “Kenapa Justin, deh?” Gue mengangkat alis.

“Soalnya gue denger-denger, lu suka Justin Bieber. Jadi, waktu lu ultah, gue bisa minta tolong JB buat ucapin HBD ke lu, hehe.”

Jora’s POV

Jarum jam sekarang menunjuk ke angka 9, biasanya jam segini bentar lagi bel istirahat kelar bunyi. Sedangkan gue dan Julian masih di ruang guru, belum selesai koreksi tugas-tugas kelas 10.

Sebenarnya, udah biasa sih kita diminta bantuan sama guru-guru. Malah, karena gue sama Julian sering diminta bantuan, gue jadi bisa temenan sama orangnya. Cuman karena minggu lalu Julian sibuk tanding basket, gue semingguan itu bantu-bantu sendirian.

Julian anaknya baik, terus lumayan ganteng. Ya, selain itu, dia juga banyak disukain orang-orang sih, apa lagi adik kelas. Nggak heran juga, Julian anaknya murah senyum dan nggak mengintimidasi, makanya orang-orang seneng sama dia. Termasuk gue.

“Gue udah selesai, lo udah?” tanya Julian ke gue, yang masih ditengah-tengah koreksi. “Eh? Belum An. Tapi lu duluan aja, keburu udah bel istirahat noh.”

Julian mengangkat alisnya, lalu mengintip tumpukkan buku tulis kelas 10 yang masih banyak belum gue koreksiin. “Mau gue bantuin aja nggak?”

“Boleh? Eh, maksudnya, nggak usaaah lo duluan aja sana.” Gue melambaikan tangan. Nggak enak juga minta bantuan sama Julian, pasti dia juga mau istirahat.

Julian cuma senyumin gue. “Nggak apa-apa udah, gue bantuin aja. Nih, gue ambil setengahnya, lu kerjain setengahnya. Biar cepet selesai terus lu bisa istirahat juga,” ujar cowok itu sambil ngambilin setengah dari tumpukan buku yang gue belum koreksi. Sumpah, gue masih suka terkagum-kagum sama kebaikannya Julian ini. Gue cuma bisa bilang makasih kepada Tuhan dan pak Indra yang udah ngasih gue partner kerja sebaik dia. Ya, itu sih, kalo kita emang bisa disebut partner kerja.


Tiga menit udah lewat setelah bel istirahat bunyi. Gue sama Julian masih di ruang guru dan baru aja selesai koreksi tugas-tugasnya.

Gue menghela napas, sambil senderan ke kursi yang udah dikasih sama pak Indra sebelum beliau pergi ke sekolah lain untuk mengajar. “Sorry ya An, gara-gara gue lo jadi nggak bisa istirahat.”

Julian menggelengkan kepalanya, lagi-lagi cuman tersenyum. “Santai aja, yang penting tugasnya udah kelar. Lagian, gue bisa izin ke guru nanti buat ke kantin. Percaya kok dia sama gue.”

Gue tersenyum lega mendengar jawabannya. Awalnya, niat gue tuh buat bales Julian, tapi tiba-tiba pintu ruang guru terbuka dan ada cowok yang nyamperin kita, menyodorkan sebungkus siomay ke Julian. “Nih, siomay lo,” katanya.

Gue mengerutkan dahi, cowok itu dateng-dateng tanpa permisi atau salam, jadi gue agak kaget sama kehadirannya. “Oh, thanks,” balas Julian, kemudian bangkit dari kursinya. Gue ikut berdiri.

“Mau balik ke kelas bareng, Jo? Kelas kita nggak jauh-jauhan juga,” tawar Julian sambil menyantap siomaynya. Gue diem untuk berpikir, lalu pandangan gue jatuh kepada temennya Julian yang lagi liatin gue.

Hah? Kenapa sih?

“Ehm, nggak usah deh An. Gue mau PJOK juga habis ini, gua duluan ya An.” Gue melambaikan tangan gue lalu pamit, dibalas oleh Julian dengan acungan jempol sedangkan temannya itu masih ngeliatin gue. Tatapannya intens banget, gue jadi nggak nyaman. Cowok aneh.

“Mama kamu mana?” tanya Seven. Prima dan Seven sekarang berada di rooftop rumah perempuan itu, karena jarum jam sudah menunjuk ke angka 11.

Prima mengedikkan bahu, “Nggak tau, katanya ke rooftop aja duluan. Mungkin nyuruh kita berduaan, jiaaaakh.” Ia menyenggol-nyenggol Seven, yang kemudian dibalas dengan tawa oleh lelaki itu.

Lalu, hening. Mereka hanya duduk di kursi sambil mendengarkan lagu-lagu dari playlist yang mereka buat pekan lalu. Sempat ada sedikit perdebatan diantara mereka karena selera lagu mereka yang berbeda, tapi akhirnya Seven berdua mengalah.

Now Playing: no song without you – london session — HONNE

Seven melirik ke arah kakak kelasnya. Sebuah senyuman mengembang di wajahnya, saat melihat Prima yang memejamkan mata sambil bersenandung. Dulu, Seven ragu-ragu kalau ingin menatap Prima. Namun, sekarang hampir setiap kali mereka bertemu, ia selalu menatap perempuan itu dan tidak melepaskan pandangannya. Menurutnya, Prima begitu cantik walaupun ia tidak menyadarinya.

“Kak,” panggilnya. “I love you.”

Mata Prima membulat saat mendengar pengakuan Seven yang blak-blakan. “A-apaan sih? Kenapa coba, tiba-tiba ngomong kayak gitu…” ia bisa merasakan pipinya memerah, kedua tangannya menyentuh pipinya untuk memastikan ia tidak demam dan rasa hangat ini adalah karena malu.

“Hehehe,” Seven memberikan senyuman yang lebar. “I feel like you don’t know how much I love you. Kayaknya, kata-kata aja nggak cukup buat ngasih tau kakak betapa senengnya aku bisa ketemu sama orang kayak kakak.”

“Sejak kapan kamu se-cheesy ini?” Prima mengangkat alisnya. “Tapi, ya, aku juga.”

“Juga apa?”

“You can’t make me say it.” Perempuan itu memutarkan bola matanya. “Kamu tau maksud aku apa,” kata Prima, menendang kaki Seven dengan kakinya sendiri.

Seven tertawa melihat kakak kelasnya salah tingkah. Ia berjalan ke belakang perempuan itu, meletakkan dagunya di atas kepala Prima karena tinggi mereka yang beda jauh. “Aku boleh peluk kakak nggak?” tanya Seven.

Prima mengacungkan ibu jari sebagai lampu hijau. Senyuman Seven melebar saat mendapatkan izin, lalu ia memeluknya dari belakang dengan senang hati. “You fit perfectly in my arms,” gumam lelaki itu, menenggelamkan kepalanya di rambut Prima. Perempuan itu tertawa geli, “Ih, geli banget ah. Jangan deket-deket leher aku!”

Kedua pasangan itu mengangkat kepala mereka saat mendengar suara petasan. Prima menunjuk-nunjuk langitnya, senyumannya melebar saat ia melihat tangan Seven di atas tangannya, menunjuk ke arah yang sama.

“Cantik banget ya,” bisik Prima terkagum-kagum. Mata Seven mendarat di puncak kepala perempuan itu, ia terkekeh. “Kakak atau petasannya?” tanya dia jahil. Wajah Prima memerah lagi, kemudian ia memukul lengan Seven yang melingkar di pinggangnya. “Ya petasannya lah! Kamu nggak usah sok-sok buaya gitu deh.”

Keduanya tertawa pada akhirnya, masih sambil menonton petasan yang mengisi langit yang tadinya gelap dan kosong. Seven mengeratkan pelukannya, lagi-lagi meletakkan dagunya di puncak kepala pacarnya sambil berdeham. “Hmm, semoga tahun depan dan tahun-tahun kedepannya lagi aku bisa taro dagu aku di atas kepala kakak setiap tahun baruan.”

“Permohonan kamu aneh banget.”

“Tapi itu artinya, aku mau kita selalu bareng. Salah?”

“Enggak,” Prima berpindah posisi menghadap Seven. Mata mereka bertemu, wajah mereka hanya beberapa berjarak beberapa centimeter, membuat kedua pasangan itu gugup. “Ah jangan dulu kak,” kata Seven lalu menyembunyikan wajahnya di pundak Prima. “New years kiss-nya waktu aku udah siap aja.”

“S-siapa yang mau new years kiss coba?!”

Seven mengangkat wajahnya, kemudian memasang senyuman jahil. “Aku. Tapi belum siap, hehe. Tahun depan aja kak, baru aku siap.”

“Nggak usah dikasih tau, aneh!” seru Prima lalu menjitak kepala adik kelasnya.

Malam itu, Seven langsung menghampiri Prima ke rumah perempuan itu. Selama ujian, ia hanya sekedar sapa-sapaan dengan pacarnya. Jadi tentu saja, Seven sangat merindukan Prima.

“Right on cue,” bisik Seven saat melihat Prima langsung menghampirinya, tepat ketika ia sampai di depan rumahnya. Namun, ada sedikit yang berbeda dengan perempuan itu, ia bisa merasakannya.

Jangan tanya dulu deh

Prima tersenyum, melihat Seven yang membukakan pintunya untuk perempuan itu. “Thanks,” kata Prima, mengacak-acak rambut lelaki itu sebagai tanda terima kasih.

“Kita mau ke mana?”

Seven berdeham. “Mau muter-muter aja nggak? Nanti, kalau misalnya laper, tinggal cari makan.”

Perempuan itu hanya mengangguk, tidak mengatakan apa-apa selama perjalanan itu. Seven sadar, kalau Prima sedang tidak seperti dirinya sendiri. Atau mungkin, sekarang adalah diri Prima yang sebenarnya.

Nevertheless, he didn’t ask any questions. For the sake of her comfort, because she didn’t look like she wanted to talk about it. At least, not yet.

Tiba-tiba saja, Prima menunduk. Perlahan-lahan, perempuan itu mulai menangis. Semakin lama, perempuan itu semakin terisak. Seven merasa tidak enak dan kaget, ia pun akhirnya memarkirkan mobilnya di parkiran McDonald’s, kemudian menoleh ke kakak kelasnya yang menangis itu.

Lagi-lagi ia tidak mengatakan apa-apa, hanya mengelus-eluskan pundak perempuan itu dalam diam. “Gue mau marah, sumpah mau marah aja.” Prima menenggelamkan wajahnya di kedua tangannya, “Tapi gue takut dikutuk kayak Malin Kundang.”

Seven tidak tau harus tertawa atau tidak, tapi ia menahannya karena merasa situasinya tidak pas. “Ketawa aja Sev, aku emang niatnya bercanda dulu baru cerita.” Seven akhirnya tertawa mendengar jawaban kakak kelasnya itu, diikuti oleh Prima yang tertawa juga — walaupun agak macet-macet karena ingusan.

“Udah enakan?” tanya Seven untuk memastikan, tangannya tidak meninggalkan pundak perempuan itu. Prima mengangguk, “Maaf Seven, aku boleh cerita nggak? Tapi, kayaknya aku cerita mulu ke kamu. Maaf ya, aku takut kalau nggak cerita ke kamu, nanti–”

“Cerita aja kak,” celetuk lelaki itu. “Kan, aku pernah bilang. Kakak cerita aja sepuas kakak. Kakak boleh ngerengek ke aku, boleh komplain ke aku, boleh marah-marah ke aku, apa pun itu aku bolehin. Aku nggak akan kesel, asal itu bisa membuat kakak merasa lebih baik.”

Mendengar itu, Prima menangis lagi. Kali ini, ia menangis di pelukan Seven, mengeratkan genggamannya di kain hoodie lelaki itu. Seven membiarkannya, sambil mengelus-elus puncak kepala pacarnya itu. “I want you to rely on me, kak. If you need a shoulder to cry on, I’m always here. Well, actually, I’ll try. I don’t want to make promises I don’t even know I can keep.”

Prima tertawa. “I get it.” Perempuan itu melepaskan genggamannya, kemudian bersender di kursi mobil. “Aku cerita ya?” ia melirik ke Seven, lalu menghela napas lega saat lelaki itu memberikan anggukan.

“I feel bad for my parents. Especially my mom. I feel bad, karena nilai aku nggak improve sama sekali. Selalu sama dari dulu, nggak ada kemajuan sama sekali and it’s killing me. Waktu pengumuman nilai tadi, mama kelihatan kecewa banget sama aku. Tapi, bukan cuma itu doang. Papa aku selalu pengen aku gini gitu, tapi…tapi dia tuh nggak maksa aku, ngerti nggak sih?

“Dia tuh, kayak punya caranya sendiri biar aku nurutin dia. Aku paling benci, waktu papa mulai ngeliatin aku kayak kecewa pas aku bilang aku mau jurusan desain interior. Soalnya, kalau dia ngeliatin aku kayak gitu, aku jadi ngerasa aku harus ikutin kemauan dia. Dia waktu itu juga kayak gitu ke aku, pas aku milih IPS. Makanya, aku linjur. Karena aku nggak suka kalau papa ngeliatin aku kayak aku ini bikin kecewa dia mulu.

“There’s this big bubble of guilt in my head that just won’t pop because what if I’m actually a failure di keluarga aku? Gimana kalau, nanti aku nyesel terus sadar selama ini orang tua aku bener? Makanya dulu aku ngikutin mau papa aja. Tapi, sekarang aku nggak mau nurutin papa aku mulu.

“And I know, there are hundreds maybe even millions of people out there who’s going through something worse than I am. Mungkin aku ini lebay. What if I’m overreacting, Sev? Aku selalu mikir, mungkin aku ini berlebihan. Lagian, ini bakal berlalu juga kan? Jadi, I shouldn’t be stressing over it.”

Prima diam, kemudian menggelengkan kepalanya. “Sorry, kayaknya bener. Iya…iya bener, ini aku lebay aja. Maaf, sumpah maaf Sev. Aku pikir-pikir lagi, kayaknya ini sebenarnya sepele.”

“Kak,” Seven memanggilnya, menyadarkan perempuan itu dari bengongannya. “I’m sorry, tapi kakak pernah mikir nggak, mungkin kakak terlalu menyepelekan perasaan kakak?”

Prima diam untuk memikirkan maksud dari kalimat itu. Ia tidak pernah, dalam hidup dia sekali pun, berpikir bahwa dia menyepelekan perasaannya sendiri.

“Aku pernah bilang kan, walaupun masalah kakak nggak sebesar masalah dunia, bukan berarti masalah kakak itu irrelevant?” Seven meletakkan tangannya di atas tangan perempuan itu. “Aku nggak ngebela papa kakak, sama sekali enggak. Menurutku, you’re allowed to pick whatever you want, because it’s your life in the end of the day, not his. Tapi, kakak pernah kepikiran nggak, kalau kakak tuh ngomong ini semua akan berlalu dan merasa harusnya kakak nggak usah pikirin, karena kakak cuma mau masalahnya cepat selesai? Kalau, kakak ngomong gitu karena kakak takut?”

Karena takut. Prima mengulang perkataan adik kelasnya itu di kepalanya. Seven benar, Prima takut membantah ayahnya. Toh, buktinya, ia tadi menangis karena takut.

“You should take it easy, kak. Nangis nggak apa-apa, ngeluh nggak apa-apa. Lagian, kakak juga ada usahanya, kan? Walaupun kakak merasa usaha kakak kurang, an effort is still an effort.”

“Makasih, Sev.” Perempuan itu mengeratkan pelukannya, menenggelamkan wajahnya di punggung Seven. “You smell really good, kamu habis bikin kue ya, sebelum ke sini?”

Malam itu, mereka menghabiskan sisa waktu mereka memakan brownies yang Seven buat sebelum menjemput Prima.

Prima’s POV

Kalau mama bilang kita bakal pulang bareng, artinya gue dalam bahaya.

Ya, enggak juga sih. Gue lebay dikit. Cuma, mama selalu jemput gue setiap hari terakhir ujian. Dia sengaja kayak gini biar bisa tau dan bisa ngobrol sama gue langsung kalau nilai gue ada yang kurang. Sebenarnya, gue ngerti kenapa dia gitu. Dan, ya, mama nggak pernah marahin gue berlebihan. Tapi, gue masih deg-degan.

“Gimana hari terakhir? Lancar?” tanya Mama, matanya fokus ke jalanan. Gue mengangguk, “Biasa aja sih, soalnya kan, hari jumat pelajarannya yang nggak susah-susah banget.”

Mama berdeham, matanya masih fokus ke jalanan. Dari penampilannya, mama baru pulang kerja. Entah kenapa, setiap hari terakhir ujian, mama selalu pulang lebih cepat dari biasanya. Ya enggak juga sih, mungkin karena ini hari Jumat.

Gue hafal banget, habis pulang kita bakal jalan-jalan ke mall, puas-puasin ngabisin duit, terus waktu pengumuman nilai baru ngobrol di restoran. Jadi, selama perjalanan, gue cuma bisa berdoa gue nggak kena omel banyak-banyak.


Tebakan gue benar. Di jam 6 sore, kita udah duduk di Sushi Tei, sama-sama buka website sekolah buat cek nilai.

Mama nggak bilang sih, kalau dia lagi buka website sekolah juga. Tapi dari ekspresinya aja, udah ketebak banget dia lagi buka website sekolah juga.

“Fisika…70…” gumam gue, takut mama mendengar. Namun percuma juga, karena dia langsung natap gue dengan rasa kecewa. “Prima.”

Ah, here we go again.

“Mama sebenarnya sudah capek bilang ini ke kamu. You just turned seventeen two months ago, dan kamu udah kelas 12. Tolong belajarnya lebih serius ya, Prima.” Mama menghela napas setelah itu, menggelengkan kepalanya seolah-olah dia pusing lihat nilai gue yang nggak berkembang sama sekali. Gue cuma mengangguk, malas kalau ngomong malah diomelin lebih lama lagi.

“You know,” kata mama ragu-ragu, “mungkin kamu harusnya ikutin kata papa kamu aja. Lihat nih, nilai ekonomi minat kamu bagus. Kamu yakin enggak mau bisnis?”

Seriously? Bahas ini lagi?

Gue menghembuskan napas kesal, “Ma, papa udah nyuruh aku buat pindah ke MIPA waktu aku pilih IPS. Aku nggak pernah mau pindah ke MIPA, tapi karena papa yang selalu pressure aku buat pindah, akhirnya aku pindah.

“Sekarang, papa malah nyuruh aku jurusan bisnis. Kalau gitu, kenapa nyuruh aku pindah ke MIPA? Kenapa? Karena sepupu-sepupu aku juga MIPA? Kenapa sih, aku harus sama kayak semua sepupu aku mulu?

“Aku nggak mau harus ngikutin maunya papa mulu, ma. Mama juga, kenapa nggak bela aku sih, kalau papa kayak gitu ke aku? Mama bilang, kalau mama bakal support aku. Tapi mama juga suka tiba-tiba berubah pikiran karena papa yang nggak setuju sama aku.”

Gue bisa merasakan wajah gue mulai panas, karena akhirnya mengeluarkan emosi yang selama ini gue tahan. Gue nggak lihat ke mama, karena kalau gue lihat, gue takut mama masang wajah yang paling gue nggak sukai — the same face dad makes whenever I did something he doesn’t like.

Pusing. Gue tau, mama emang nggak berniat nambah beban gue, kelihatan kok dari caranya ngomong sama gue tadi hati-hati banget. Tapi tetap aja, yang dia ucapin tadi itu adalah hal terakhir yang ingin gue dengar keluar dari mulut dia.

“Habis makan pulang aja lah ma,” ucap gue, nggak tahan sama situasi canggung sekarang. “Aku lagi nggak mau bahas masa depan aku sekarang, aku capek.”

Prima dan Seven janjian untuk bertemu di kantin. Ketika Prima sudah sampai, ternyata Seven sudah terlebih dahulu duduk di salah satu tempatnya. Prima tersenyum saat melihat punggung pacarnya itu, ia berjalan cepat ke arahnya dan duduk di sebelah kirinya, mengagetkan lelaki itu.

“Hai!” sapa Prima, berusaha untuk terdengar ceria. Perempuan itu sebenarnya lelah, ia ingin sekali diam seharian tanpa mengatakan sepatah kata apapun ke siapa-siapa, tapi tentu saja itu mustahil. Jika ia diam-diam saja, semua orang akan mencurigainya.

Seven tersenyum lebar saat menyadari kehadiran kakak kelasnya, “Halo, did you sleep well last night?”

No

“Yes. Mana browniesnya? Aku laper banget.” Matanya berbinar begitu Seven membuka kotak makan berisi brownies itu. Prima buru-buru melahap salah satu browniesnya, lalu mengacungkan ibu jari ke Seven, menandakan bahwa rasanya enak.

Prima mengira pacarnya tidak akan mencurigainya sama sekali, karena ia sudah berusaha untuk kelihatan normal seperti biasanya. Tapi, Seven daritadi mengamatinya, sehingga membuat perempuan itu takut Seven menyadari ia lelah.

“Kenapa lihatin mulu sih?” tanya Prima, mulutnya masih penuh dengan brownies.

“Telen dulu kak,” kata Seven pelan. “Nggak, kakak matanya kayak capek. Are you sure you slept well? If you’re still tired, kakak bisa tidur di UKS you know? Aku temenin sampe bel bunyi.”

Prima menatap lelaki itu dengan penuh kekaguman. Ia heran kenapa lelaki itu bisa memahaminya walaupun mereka baru kenal beberapa bulan, bahkan Kirei yang sudah mengenalnya bertahun-tahun kadang tidak menyadari betapa lelahnya Prima.

“No, no it’s fine.” Ia menggelengkan kepala, melahap satu potong brownies lagi. “Aku nggak capek kok, cuma…”

“Cuma?”

Prima menghembuskan napas, “Cuma tadi pagi toaster aku rusak, jadi aku capek dikit nggak bisa makan pagi gitu. Hehe.”

Seven melihatnya ragu, ia tidak percaya dengan alasan perempuan itu. “Are you sure?” tanya Seven sekali lagi untuk memastikan. “Aku nggak akan maksa kalau kakak emang nggak mau cerita, tapi kalau kakak kenapa-kenapa aku bisa dengerin kok. I won’t complain at all. Kalau kakak capek, kakak boleh ngomong ke aku, boleh komplain ke aku, aku nggak akan kesel karena aku mau tau keadaan kakak gimana.”

That hit the spot for her, matanya berkaca-kaca the moment Seven placed his hand on her back. “Eh, loh, hah, kakak kenapa?” lelaki itu panik ketika Prima menundukkan wajahnya dan menenggelamkannya di telapak tangan perempuan itu.

Sejak dua hari yang lalu, Prima menahan tangisannya karena merasa tidak pantas untuk meneteskan air mata. Ia merasa dirinya tidak boleh capek, karena orang-orang pasti usahanya lebih keras dan lebih menderita dari dia.

Seven tidak mengatakan apa-apa lagi setelah itu, ia hanya menepuk-nepuk dan mengelus pundak kakak kelasnya. Ini baru pertama kali ia melihat Prima menangis, dan ia merasa bersalah karena tidak memahaminya.

Tidak ada orang di kantin sama sekali, karena mereka berdua datangnya terlalu pagi. Dan Prima bersyukur telah dibangunkan lebih pagi dari biasanya, karena dengan itu ia bisa ke sekolah jauh lebih pagi juga.

Keheningan di kantin membuat perempuan itu merasa lebih tenang, dan sentuhan Seven di pundaknya juga terasa nyaman. Ketika Prima mengangkat wajahnya, Seven langsung merentangkan tangannya, menawarkan pelukan untuk perempuan itu.

Tanpa berpikir dua kali, Prima langsung menjatuhkan dirinya ke dalam pelukan pacarnya. Ia sudah tidak menangis lagi, melainkan sekarang ia merasa tenang di dalam pelukan lelaki itu. “Makasih Sev, maaf aku tiba-tiba nggak jelas,” gumam perempuan itu. Suaranya tidak begitu jelas karena ia menenggelamkan wajahnya di dada pacarnya.

Seven mengangguk, mengelus-eluskan kepala kakak kelasnya. “Don’t apologize. Kakak mau cerita nggak? Numpang nggak ada orang.”

Prima menggelengkan kepalanya, lalu menjauhkan dirinya dari dada Seven. “Ah this is so embarrassing, I’m supposed to be older than you.” ia memutarkan kedua bola matanya malas. Seven tertawa, “Apa hubungannya coba?”

Prima tidak menjawab, ia malah menenggelamkan wajahnya di dada lelaki itu lagi, mengucapkan ‘makasih’ berkali-kali yang kemudian dibalas dengan ‘iya’ oleh Seven sama banyaknya.