solonne

Some Café, 29 April 2022

Senyuman Hayes melebar begitu melihat sosok Aqila yang memasuki ruangan. Gadis itu terlihat tidak bereffort karena ia hanya mengenakan kaos polos dan celana jogger. Tapi, di mata Hayes, penampilan Aqila yang seperti itu sudah biasa.

“Hai,” sapa Aqila yang langsung berjalan menuju counter. “Mau pesen apa mbak?” tanya Hayes dengan nada sok proffesionalnya. Aqila terkekeh sebelum memesan dan kemudian duduk di kursi yang gak terlalu jauh dari counter. Posisi yang pas untuk Hayes yang akhir-akhir ini suka melirik Aqila setiap 15 menit.

Qila hay hay jaden mau ke sini juga ya nemenin gue nugas WKWKWKWK

Hayes mengerutkan dahinya. Ketika ia mengangkat wajahnya untuk menyapa pelanggan yang baru masuk, kedua ujung bibirnya turun ketika ia menyadari bahwa pelanggan yang masuk adalah Jaden.

Hayes berniat memaksakan senyumannya, tapi Jaden bahkan tidak berpikir untuk berjalan menuju counter untuk menyapa Hayes, ia malah langsung duduk berhadapan dengan Aqila dan mengeluarkan laptopnya.

“Waduh, pawangnya dateng nih,” ejek Fathan yang sedang berdiri di belakang Hayes. “Udah seneng mau ke sini, ehh si doi malah bawa cowok lain. Huhuhu, sedih banget ya, Hay?”

“Berisik lu.” Hayes menyikut perut sahabatnya itu sampai ia meringis kesakitan. ‘Pawang pawang, pacaran aja kagak’ batin laki-laki itu kemudian menatap punggung Jaden dengan kesal.

Tiba-tiba, sebuah pukulan mendarat di belakang kepala Hayes. “Ngelihatin customer gak boleh kayak gitu,” omel Adora, salah satu part-time worker di Some Café. Hayes meraba kepalanya yang baru saja dipukul oleh perempuan itu.

“Biarin aja, Ra. Itu orang soalnya rivalnya si Ha–”

“EHEM! Mending lu balik kerja aja deh, Fath. Daripada lu ngomong-ngomong gak jelas. Iya gak, Ra?”

Adora menatap kedua laki-laki di depannya dengan penasaran. “Rivalnya Hayes? Yakin lo?” ia melihat ke Jaden sebelum kembali melihat Hayes, memperhatikan laki-laki itu dari atas sampai bawah lalu kembali ke atas lagi. “Kayaknya kalian ada di level yang berbeda deh. Masa iya cowok ganteng gitu rivalnya elu?”

“Anjing lu Ra,” balas Hayes. “Gua juga ganteng kali. Nih lihat nih, muka kayak gini tuh ratingnya 10 out of 10!”

“Kalo lu ratingnya 10 out of 10, dia ratingnya 11 out of 10.”

“Beda satu poin doang.” Cowok itu mencibir, “lagian gak jelas 11 out of 10. Kagak ada 11 out of 10.”

Adora tidak menghiraukan Hayes dan kembali ke posisi semulanya, diikuti oleh Fathan yang masih mengejek-ejek Hayes sambil berjalan mundur, berusaha untuk menghindar dari pukulan-pukulan Hayes.


Dua jam berlalu, Aqila dan Jaden masih di tempat yang sama. Mereka yang tadinya sibuk mengerjakan tugas masing-masing, sekarang sedang berbincang dan tertawa seolah-olah dunia ini hanya milik mereka berdua.

Masalahnya, yang tinggal di bumi bukan cuman mereka. Di posisi yang sama dengan 2 jam yang lalu, ada Hayes yang memperhatikan mereka dari kejauhan. Laki-laki itu bohong jika ia bilang ia tidak iri dengan Jaden. Melihat Aqila yang begitu bahagia saat menghabiskan waktu dengan laki-laki itu, membuatnya kesal dan kehilangan mood untuk bekerja.

“Woi!” panggil Adora sambil menyenggol bahu Hayes. “Shift lo udah kelar, Brian udah dateng. Sana ikut ngobrol sama temen-temen lo,” katanya, menunjuk Aqila dan Jaden dengan dagunya.

Hayes memutarkan bola matanya malas. ‘Yang satu temen gua, satunya lagi bukan.

“Gak usah, gue balik aja.” Laki-laki itu berjalan ke ruang staff untuk mengambil barang-barangnya. Ia sudah malas main kalau ada Jaden. Entah kenapa, ia juga bingung kenapa moodnya langsung hancur begitu melihat Jaden. Padahal, biasanya dia gak bakal sekesal ini. Dari dulu dia emang gak sreg sama Jaden, tapi kali ini melihat laki-laki itu saja sudah membuatnya malas.

Hayes tidak menyadari Adora mengikutinya. Saat ia memutarkan badannya untuk keluar, ia melangkah mundur, kaget karena Adora yang berdiri begitu dekat di belakangnya. “ANJING! Ra, jangan bikin kaget napa,” protesnya sambil mengusap-usap dada.

“Lebay deh.” Adora mengambil dompetnya, kemudian mengeluarkan selembar uang dua puluh ribu. “Nih.” Ia menarik tangan Hayes lalu meletakkan uang itu di atas telapak tangannya. “Gue kasih lo dua puluh ribu buat anterin gue pulang. Lo gak jadi main sama temen-temen lo kan? Jadi, gue mau minta tolong anterin gue pulang.”

Dahi Hayes mengerut, ia menatap uangnya kemudian menatap Adora lagi. “Sekarang?”

“Iya, sekarang. Tadinya mau minta Fathan aja, tapi dia udah pergi duluan.”

Semakin lama Hayes menatap perempuan itu, semakin canggung rasanya untuk dia. Adora mulai mengalihkan pandangannya, kedua pipinya mulai merah merona karena malu. “Ya udah kalo gak mau juga gapapa, gue juga biar sekalian bantu lo nyari alesan kalo ditanyain sama temen-temen lo nanti.”

Oh, bener juga

“Ya udah.” Hayes menyelipkan uang dua puluh ribu itu ke dalam kantong celananya. “Cabut sekarang aja, ntar kalo ditanya, gue bilang gue mau nganterin lo pulang.”


“Eh, mau balik?” tanya Aqila saat melihat Hayes berdiri di depan pintu café. Laki-laki itu melirik Jaden sekilas sebelum tersenyum kecil kepada Aqila. “Iya, gua mau nganterin Adora pulang juga. Lu balik sama bang Jaden aja, sekalian main-main.”

Aqila menengok ke Adora, kedua matanya membulat. Senyuman perempuan itu melebar dengan asumsi bahwa ada sesuatu di antara Adora dan Hayes. “Oh ya? Ya udah sana, balik aja duluan. Nanti kalau udah sampe, kabarin gue aja ya.”

Tidak tau apa yang ia harapkan, tapi Hayes merasa sedikit kecewa Aqila tidak menahannya. Ketika matanya tidak sengaja bertemu dengan Jaden, laki-laki itu memberikan anggukan tanpa tersenyum atau apa-apa. Hayes had to hold back the urge to roll his eyes.

“Ya, duluan,” pamit Hayes jutek. Namun, di antara tiga orang itu, hanya Adora yang sadar bahwa mood Hayes tidak baik. Aqila dan Jaden justru tidak memikirkannya dan malah melanjutkan pembicaraan mereka.

Aqila's Apartment, 18 April 2020 Hayes' Point Of View

The moment Qila and I arrived at her apartment, dia langsung selonjoran di sofa sambil menghela napas panjang. Gue geleng-geleng lihat kelakuan dia, lalu berjalan ke dapur buat mindahin makanan yang kita beli tadi ke piring.

“Nggak usah dipindahin kali, Hay. Kita makan aja langsung,” kata Qila yang udah bangkit dari sofa, berdiri di samping gue untuk mengambil kentang goreng yang belum gue pindahin ke piringnya.

“Nggak boleh,” jawab gue. Gue rebut kembali kentang gorengnya, lalu memindahkannya ke dalam piring. “Makannya harus di piring bersih, nih makan.”

Qila mencibir di belakang gue, baru duduk di sofa sambil menyantap kentang gorengnya.

Tadi di mobil Qila cerita ke gue tentang Jaden dan apa yang mereka rencanakan tadi siang sebelum ke pengadilan. Sayangnya, rencana mereka gagal karena Jaden yang tiba-tiba katanya ada 'urusan'. Kocak. Urusan apa sih, sampe nganterin Qila atau mesenin ojol buat dia aja nggak sempet?

Jaden dan Qila selalu kayak gini. Semuanya berawal dari bulan Januari tanggal 26 tahun 2022, Jaden kenalan sama Qila lewat gue waktu kita nggak sengaja ketemu di acara ulang tahunnya temen kita, Noah.

Sejak hari itu, Qila mulai ceritain ke gue tentang Jaden dan betapa serunya cowok itu. Mereka mulai deket, dan Qila jadi sering main sama Jaden dibandingkan sama gue. Tapi sejak Maret akhir, Qila udah nggak banyak cerita-cerita tentang Jaden.

At that point, gue kira mereka udah pacaran. Tapi waktu gue tanyain, dia bilang:

Kayaknya nggak mungkin pacaran deh, Hay. Prioritasnya kak Jaden tuh kuliah, dirinya sendiri, kak Jeya, baru yang lain.

Konyol. Kalo dia udah punya cewek lain yang mengambil separuh waktunya, kenapa dia masih berlagak kayak punya hubungan spesial sama Qila?

“Ngapain bengong di situ? Sini Hay,” panggil Qila. Gue langsung disadarkan dari lamunan gue, lalu duduk di samping cewek itu.

Dari ujung mata, gue bisa lihat Qila yang lagi baca chatroom dia dan Jaden. Gue ngelirik ke wajah cewek itu, dan yang bener aja, ekspresi dia benar-benar nunjukkin kalo dia sedih.

“Can't you just leave him?” tanya gue. “All he does is dissapoint you, lu kenapa nggak ngomong sama dia kalo lu kecewa, Qil? Stop diem-diem kayak gini. Gue yang greget tau nggak?”

Qila ketawa, lalu menyenderkan kepalanya di bahu gue. Persis kayak waktu new years. Rasa kagetnya, deg-degannya, juga sama kayak waktu itu.

“Karena gue bukan siapa-siapanya dia, Hay. Buat apa gue kecewa? Kita kan nggak pacaran. Terus, balik lagi sama yang gue bilang tadi, ninggalin kak Jaden itu susah. Rasanya kayak dia tau apa yang gue butuh dan dia punya itu, cara dia nunjukkin dia peduli sama gue itu nggak asing banget, Hay. He feels so familiar but so distant at the same time, and it's so frustrating but I can't let go.”

“Kalian baru kenal bulan Januari, Qil. It's not the end of the world if he stopped asking how your day was.”

“Or...” gue melirik ke arah Qila ragu-ragu, “...is he your world?”

Qila langsung ngangkat kepalanya lalu memukul bahu gue. “Ya enggak lah! Ya kali gue prioritasin dia segitunya, ngapain gue prioritasin orang yang cuman dateng ke gue kalau gabut.”

Rasanya lega knowing that Jaden isn't her priority. Tapi at the same time, gue juga takut karena gue lega. Karena kalo gue lega, itu artinya gue punya rasa sama-

“Hay,” panggil Qila, menarik-narik lengan baju gue biar nengok ke dia. “Piringnya taro di meja dulu, deh.”

Gue bingung, tapi gue tetep lakuin permintaan dia. “Buat apaan?” tanya gue. Qila hanya tersenyum lalu tiduran, kepalanya di pangkuan gue, dengan wajahnya menghadap ke gue.

“I don't think kak Jaden thinks of me as a love interest anymore,” dia lanjut bercerita tentang Jaden. Kali ini, dia memainkan ujung rambut gue yang panjang. Gue nunduk, ngelihatin dia yang sibuk mainin rambut gue. “I still get butterflies from him, tapi kayaknya dia udah nggak anggep gue menarik lagi. I can tell. Tapi ya udah lah, temenan aja cukup buat gue. Perasaan ini bakal ilang juga, gue yakin lama-lama gue bakal bosen sendiri.”

“Kalo gue?”

Qila stopped playing with my hair. She looked at me straight in the eyes with a questionable look, and an eyebrow raised. “Maksudnya?”

“Kalo gue, lu bakal bosen nggak?” Ini pertanyaan yang memalukan menurut gue, tapi gue berusaha kelihatan kayak lagi bercanda dengan menertawakannya. “Bercan-”

“Kita udah 9 tahun bareng, dan tahun ini kita bakal menuju tahun ke 10,” ujarnya. “Ya gue bosen lah sama lu! Tiap hari gue lihat lu, mukanya nggak ada yang berubah. Dari SD sampe sekarang sama aja. Palingan yang beda warna rambut lu, tuh rambut lu udah mati kayaknya kebanyakan lu cat.”

Jari gue mendarat di jidat Qila, menyentil jidat cewek itu sampai dia mendesis kesakitan. “Lu juga nggak ada bedanya dari dulu, kepalanya masih keras kayak batu. Cocok ama lu, keras kepala, nggak bisa dibilangin.”

“Hehehe, you know me.”

“Haha hehe haha hehe, ketawa lu.” Gue cubit hidungnya, sampai Qila memukul-mukul lengan gue buat ngelepasin hidung dia.

Hayes' Car, 31 December 2021

Setelah berdebat selama 15 menit, Aqila akhirnya menuruti Hayes dan ikut ke rumah Fathan untuk menghabiskan new years di sana.

“Lagian kenapa sih, kayaknya lu nggak mau banget ketemu sama Fathan. It's been years since you two have broken up, don't tell me-”

“Enak aja!” Aqila menyentil lengan Hayes. “Of course I've moved on. Bukan gara-gara Fathan atau gimana-gimana. Takutnya mereka yang nggak nyaman ada gue. Kan, kalian udah temenan dari lama, masa tiba-tiba gue nimbrung? Emangnya Fathan sama Zaki nggak apa-apa gue ikut?”

“Nggak apa-apa, Qil. Nih.” Hayes mengeluarkan handphonenya lalu menunjukkan isi percakapan Whatsapp laki-laki itu dengan Fathan. “He's fine with it. Tadi gue tanya lagi juga Zaki gapapa kok. Besides, you can be friends with Fathan again and maybe even get to know Zaki. It won't hurt to make more friends, right?”

Aqila terkekeh. “It's not easy for me to be comfortable with a guy. Apa lagi temenan.”

“Lah, ini sama gue?” Hayes menengok ke Aqila sambil menunjuk dirinya.

“Lihat jalanan,” kata Aqila, mendorong kepala laki-laki itu agar menghadap depan. “Kan lu sama gue udah kenal dari kecil, it's different,” lanjutnya.

'Oh, beda'

“Jadi gue spesial gitu?” candanya, membuat Aqila memutarkan bola matanya, tidak menjawab pertanyaan konyol laki-laki itu.

Tentu saja Hayes spesial. Sembilan tahun mereka berteman, mana mungkin laki-laki itu hanya dia anggap sebagai teman biasa?


Fathan's House, 31 December 2021

Selama di rumah Fathan, Hayes selalu berdiri di samping Aqila agar perempuan itu tidak merasa canggung. Dan itu sangat membantunya. Dengan adanya Hayes di samping dia, Aqila merasa lebih nyaman ketika dikelilingi orang-orang baru.

Hayes melirik jam tangannya. Sekarang pukul 23.45, hanya beberapa menit lagi sebelum memasuki tahun baru. Teman-temannya, Zaki dan Fathan sedang memainkan petasan sedangkan Aqila duduk di teras sambil menatap handphonenya.

Ia menghampiri sahabatnya, kemudian duduk di sebelahnya dengan segelas coca cola di tangannya, yang gak lama kemudian ia minum. “Ngelihatin apaan?” tanya Hayes penasaran. Aqila melirik Hayes sedetik lalu meletakkan handphonenya. “Ayah ngechat,” balasnya. “Catokan gue ketinggalan di rumah, katanya.”

Hayes bersenandung. Ia bisa merasakan ada sesuatu yang nggak beres dengan Aqila, tetapi ia juga tau Aqila sedang tidak ingin ditanya. Whether it's today, tomorrow, next week, or even next month — Hayes tau Aqila akan menceritakannya sooner or later.

“Gue lihat ada daster di lemari ayah.”

'Oh, I guess today's the day'

“Tapi gue nggak pernah pake daster.” Aqila menyenderkan kepalanya di bahu Hayes, mengagetkan laki-laki itu. “Do you think mom visited him before I did? Atau mungkin dia punya pasangan baru ya?”

“Which one do you want to believe in the most?”

Aqila stopped to think for a second, before saying, “The latter.”

“And why is that?” tanya Hayes. Perempuan itu menghela napas, lalu menenggelamkan wajahnya di bahu sahabatnya itu. “I don't know. I just think it's better.”

Laki-laki itu mengangkat tangannya ragu-ragu, ia sedang memutuskan untuk mengelus rambut sahabatnya atau tidak, karena sekarang jarinya hanya berjarak beberapa centimeter dari kepala Aqila.

Tiba-tiba, Aqila mengangkat kepalanya, mengagetkan Hayes dan dirinya sendiri. Wajah mereka dekat. Terlalu dekat. But neither of them moved. Hayes bisa merasakan jantungnya mulai berdegup lebih kencang dari biasanya, tetapi ia tidak bisa memalingkan wajahnya.

“Woi, 5 menit lagi jam 12. Sini buruan!” seru Zaki, menyadarkan dua orang itu.

Hayes mengacak-acak rambut Aqila lalu berlari menyusul Zaki dan Fathan yang sudah masuk mobil untuk pergi melihat kembang apinya lebih jelas. Di dalam mobil, Aqila bertingkah as if nothing happened. Sedangkan kedua ujung telinga Hayes masih merah merona dan jantungnya belum tenang.

'Ini pasti gara-gara kaget doang. Iya, pasti karena kaget doang' batin Hayes, trying to convince himself that this is nothing serious.

Ia melirik Aqila, dan semua usaha untuk meyakini dirinya sendiri hilang begitu saja.

Untuk pertama kalinya, Hayes mulai meragukan perasaan dia terhadap Aqila. And all of this started because of an eye contact.

A stupid eye contact.

“Halo?” sahut Zemira. Gadis itu sudah menyalakan kamera Zoomnya, siap untuk ditanyakan dan bertanya-tanya kepada Azka.

Sedangkan laki-laki itu perutnya mulai mules. Dia gugup, karena ini adalah pertama kalinya dia berbicara dengan Zemira. Walaupun lewat Zoom, kedua tangannya berkeringat dan tenggorokannya mulai kering.

Dengan ragu, Azka ikut menyalakan kameranya dan mematikan mutenya. “Halo,” balasnya.

Pipi Azka terasa hangat saat melihat Zemira tertawa. Dia tidak tau ini karena resolusi kamera gadis itu yang bagus atau gimana, tapi dia terlihat sangat cerah dan cantik.

“Ini direkam nggak, Ra?” tanya Azka, khawatir. Dia tidak mengganti pertanyaan-pertanyaan yang dia tulis di aplikasi Notes karena menurutnya, ini adalah kesempatan untuk mengenal Zemira lebih dekat.

Zemira menggelengkan kepalanya. “Nggak kok, kata pak Dimas nggak usah. Ini mau aku dulu atau kamu dulu. Zka?”

Untuk seseorang yang lahir dan dibesarkan di Jakarta, mendengar kata aku-kamu dari orang yang seumuran sejak ia menduduki SMP, rasanya sangat aneh. Atau bahasa lainnya, bikin baper.

Tapi, Zemira memang seperti itu. Sejak pertama kali dia melihat Zemira, gadis itu sudah menggunakan aku-kamu saat berbincang dengan teman-temannya. Dia merasa bodoh karena baper saat Zemira menggunakan aku-kamu dengannya, tapi entah kenapa walaupun sudah lumayan lama dia mendengar itu, dia masih malu.

“Lu dulu aja, Ra.”

“Oke,” Zemira berdehem lalu membaca kertasnya sampai terlihat di layar, “pertanyaan pertama, kamu ulang tahunnya kapan ?”

“Ulang tahun gua tanggal 22 November.”

“Zodiak kamu— oh, berarti zodiak kamu scorpio.”

Azka mengangkat alisnya. “Itu ada di pertanyaannya?” tanya dia penasaran. Zemira tersenyum malu. “Iya hehe.”

“Lanjut,” kata Zemira. “Makanan kesukaan?”

“Ehm…rendang? Nggak tau, ganti-ganti mulu soalnya.”

“Hahahaha. What about your favorite scent?

“Gua suka bau bunga jasmine.”

Really?” Zemira melihatnya dengan tatapan terkejut. “I never would’ve thought.

Expect the unexpected, I guess.

Hah! Sure. Kalau kue kesukaan?”

“Kayaknya cheesecake, deh. Tapi gua suka apa aja.”

“Aku langsung semuanya aja ya? Oke, game kesukaan, teh atau kopi, terus love language kamu apa?”

Azka menahan senyumnya saat melihat Zemira menghela napas lega, dia mengucapkan itu dalam satu napas, pantas saja.

“Game kesukaan gua ML, gua lebih suka kopi dari pada teh, terus love language gua…gua nggak pernah ngambil tesnya jadi nggak tau.”

Zemira mengangguk, lalu meletakkan kertasnya lumayan kencang sehingga terdengar oleh Azka. “Oh ini ketinggalan,” dia menundukkan wajahnya untuk membaca kertasnya lagi. “Lagu kesukaan kamu apa?”

“Ehm, Bungsu by Kunto Aji?”

“Ehhh? Serius? Ada alasannya nggak?”

Is that a part of the question?

No, this is pure curiosity,” jawab Zemira dengan kedua matanya yang berbinar. Azka gemas melihat ekspresi perempuan itu, rasanya ingin dia cubit. “Nggak ada specific reason sih, lagunya enak buat tidur.”

“Oh ya? menurutku enakan yang Sulung deh. Eh, kok jadi sidetracked gini. Maaf maaf, ini last question beneran.”

“Apaaaa?”

“Kamu hari ini udah sarapan belum?” Pertanyaan Zemira membuat laki-laki itu terkejut. Menurutnya, pertanyaan gadis itu sangat lucu sehingga membuatnya tertawa gemas. “Hahahahaha, pertanyaan lu kayak pertanyaan ibu-ibu. Jawabannya belum. Gua nggak suka sarapan, nggak nafsu kalau makan pagi-pagi.”

“Tapi justru sarapan itu yang paling penting, Zka. Jangan lupa sarapan.”

“Iyaa Zemira, makasih udah ingetin.”

“Ya udah,” gadis itu kembali meletakkan kertasnya. “Sekarang kamu yang nanya.”

Azka yang tadinya sudah mulai santai dengan Zemira, jadi gugup lagi saat membaca pertanyaan-pertanyaan yang ia tulis beberapa menit yang lalu. “Se…karang?”

“Iya, sekarang. Keburu breakout roomnya ditutup, ayo cepetaaan.”

Laki-laki itu meghirup napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya pelan. “Pertanyaan pertama, MBTI lu apa?”

“Aku ISFJ.”

“Mie goreng atau mie rebus?”

“Aku lebih suka mie rebus, lebih kenyang.”

“Lebih suka yang pedas, asin, atau manis?”

“Ooh, aku suka pertanyaan ini.” Zemira mulai terlihat penasaran dengan pertanyaan-pertanyaan selanjutnya. “I like spicy food the most.

I see, kalau jurusan kuliah sama top tiga kampus yang diinginkan apa?”

“Apaan ini, pertanyaan kamu kenapa seru-seru. Beda banget sama punyaku,” ujar Zemira. Azka mengedikkan bahunya. “Gua emang jago bikin pertanyaan.”

Gadis itu tertawa. “Jurusan yang aku pengen itu teknik sipil, kalau kampus aku belum kepikiran yang lain selain ITB.”

“Wow, semoga keterima,” Azka mengacungkan kedua ibu jarinya sebagai tanda bahwa ia kagum. “Amiin, makasih,” jawabnya.

Celebrity crush, favorite movie, and cita-cita kam— lu itu apa.”

Anjinggg gua nyaris pake aku-kamu juga’ batin Azka panik.

“Cita-cita aku…jadi orang sukses, maybe? Aku masih belum tau cita-cita aku mau jadi apa.”

That’s fine. Take your ti— eh?”

Mereka terkejut saat melihat notifikasi bahwa room mereka akan ditutup dan mereka akan kembali ke Zoom utama. Sedangkan Azka belum menanyakan dua pertanyaan terakhir.

“Eh ini gua masih punya du—”

Mereka sudah kembali ke Zoom utama.

Kedua ujung bibir gue terangkat begitu melihat Reyvan menutup pintu dan berjalan ke arah gue, di tangan kirinya ada kantong plastik, isinya kwetiau yang gue titipin.

“Nih uang gantinya,” kata gue lalu mengeluarkan beberapa lembar uang bernilai 10.000.

Reyvan sangat menyukai uang, jadi dia tidak pernah berkata ‘nggak usah gantiin’ karena pasti dia terima.

“Wisss, thanks,” ucapnya kemudian duduk di sebelah gue.

Ini sudah menjadi rutinitas kita berdua. Setiap bel istirahat berbunyi, gue buru-buru taro tas gue di kelas yang akan dipakai berikutnya. Sekolah kita menggunakan sistem moving class, yang artinya kita akan pindah kelas atau ruangan setiap ganti pelajaran. Walaupun agak ribet, tapi, nggak apa-apa sih, soalnya dengan itu gue bisa papasan sama temen-temen yang nggak sekelas sama gue.

Setelah taro tas, gue langsung ke loker kelas 11 MIPA 6 buat ngambil seragam cadangannya Reyvan. Anehnya, nggak ada yang curigain gue, padahal gue jelas-jelas bukan anak MIPA.

Oh iya, setelah beberapa kali gue sama Reyvan ketemuan di rooftop, dia ngasih kunci loker dia ke gue. Dia nggak pernah ninggalin bukunya di sekolah, isi lokernya cuma sampah, hoodie, dan seragam cadangannya yang dia ganti setiap hari. Makanya dia mau-mau aja ngasih kunci lokernya ke gue.

“Mau ngerokok?” tanya gue. Biasanya, alasan Reyvan ke rooftop itu buat ngerokok. Cowok itu menoleh ke gue, lalu menggelengkan kepalanya. “No,” balasnya.

Alis gue terangkat, “Kenapa?”

Reyvan nggak jawab. Lama. Dia cuma ngeliatin gue dengan ekspresi yang sulit diartikan. Gue bisa merasakan jantung gue berdegup kencang karena tatapannya. Tapi, gue nggak mau kalah juga. Jadi gue lihatin dia sama intensnya. Lama-lama ini malah jadi kayak staring contest.

Dan sesuai dugaan gue, Reyvan is the first one to break the eye contact. “Nggak apa-apa, nggak mau ngerokok aja.” Dia tiduran di lantai, kedua tangan di belakang kepalanya seolah-olah mereka adalah bantal.

“Tiduran sini, Ne. Kita main tebak-tebakan awan.”

“Apaan anjir tebak-tebakan awan? Cloudgazing?” gue terkekeh, melihat Reyvan memutarkan bola matanya kesal. “Banyak nanya ah lu, siniii,” dia menarik-narik lengan sweater gue, maksa gue buat tiduran di samping dia.

Akhirnya, gue tiduran juga. Tapi gue nggak pake apa-apa buat jadi bantal gue kayak apa yang Reyvan lakuin. Tiba-tiba Reyvan menunjuk ke langit, atau lebih tepatnya awan, sambil tertawa. “Yang itu mirip babi.”

“Mirip apanya?”

“Ya mirip,” katanya. “Coba lu lihat baik-baik. Di situ ada idungnya, terus bawahnya itu badannya. Kepalanya segede badannya, terus kupingnya mendelep.”

Gue tertawa. “Ngarang ya lu?”

“Iyain aja napa, Ne.”

Habis itu hening. Kita nggak ngomong apa-apa lagi, cuma ngeliatin langit sambil tiduran. Kadang, gue lirik-lirik ke Reyvan, memastikan cowok itu nggak ketiduran tiba-tiba. Karena keseringan main sama nih orang, gue jadi tau kalo dia tiduran dikit, there’s a 98% chance he’ll fall asleep.

Tapi di luar dugaan gue, Reyvan malah ngeliatin langitnya dengan tenang. Nggak tidur, nggak nguap, nggak ngupil, nggak gimana-gimana. Cuma diem, fokus, kayak lagi ngitung setiap awan yang lewat.

Kali ini, gue ngeliatin Reyvan beneran. Bukan lirik-lirik lagi, gue ngeliatin dia bener-bener ngeliatin tanpa buang muka. Entah kenapa, gue merasa nyaman di keheningan ini. Usually, I’m not comfortable with silence, tapi kalo sama Reyvan, mau hening mau rame, semuanya terasa nya—

Ah…!

Mata kita bertemu

Mata gue membulat dan nafas gue tertahan begitu Reyvan menoleh ke arah gue. Jarak di antara kita hanya beberapa centimeter, membuat gue merasa gugup. Jujur, dada gue rasanya kayak bom yang bentar lagi akan meledak. Dan harusnya, di situasi seperti ini, salah satu dari kita buang muka. Tapi entah kenapa, kita berdua lagi-lagi nggak mau kalah.

Reyvan juga sama kagetnya dengan gue. Pipinya merah merona, tapi dia nggak mau memalingkan pandangannya. Alhasil, kita eye contact lagi dengan jangka waktu yang cukup lama. Jauh lebih lama dari sebelumnya.

I don’t know what or who possessed me, tapi sekilas pandangan gue jatuh ke bibir cowok itu. Begitu gue sadar, gue langsung lihat matanya lagi.

Kayaknya, Reyvan sadar apa yang gue barusan lakuin. Karena waktu mata kita bertemu lagi, dia menggigit bibirnya, gugup.

“Gue—”

Ting!

Notif anjing

“S-sorry.” Reyvan langsung bangkit dari posisinya, lalu menyalakan handphonenya, membuka pesan yang masuk.

Gue berdiri, lalu cepat-cepat rapihin rambut gue yang tadinya berantakan gara-gara tiduran. “Van, gue balik duluan ya. Bye!” ucap gue buru-buru, nggak memberi cowok itu kesempatan untuk membalas.

Mata gue membulat waktu lihat ada Reyvan yang berjalan ke arah gue. Dia bawa nampan yang isinya ayam goreng sama kentang goreng, ada juga aqua di sampingnya dan beberapa saus sambal.

“Sendirian aja neng,” kata Reyvan dengan nada bercanda. Gue tertawa kecil. “Iya sendirian nih mas, temenin aku dong.”

Cowok itu langsung meringis. “Nggak usah kayak gitu ya anjing gue coel lu pake sambel.”

Akhirnya Reyvan duduk di hadapan gue, menyantap ayam goreng sambil memainkan handphonenya. Sedangkan gue, melirik-lirik ke Reyvan setiap 15 detik sambil minum iced coffee gue.

“Lihatin mulu, Ne. Ganteng ya? HAHAHAHA.” Lagi-lagi Reyvan bercanda. Kali ini, gue balas candaan dia dengan memutarkan bola mata. “Pengen banget kayaknya dibilang ganteng sama gue. Oh iya, lo di sini sendiri, Van?”

Dia mengangguk. “Tadinya gua janjian sama Zuran, tapi bocahnya ngecancel waktu gua udah di parkiran. Ya udah, nanggung juga, mending makan aja sekalian.” Reyvan melahap (kayaknya) 10 kentang goreng sekaligus lalu menatap gue. “Lu sendiri kenapa?”

Gue berhenti menyedot-nyedot jelly yang nyangkut di sedotan gue, lalu meletakkan kopinya di atas nampan. “Awalnya sih gue disuruh beli beras, tapi gue lama-lamain. Lagian Indomaret bukanya 24 jam, biarin aja adek gue kelaperan.”

“Oh?” Reyvan mulai tertarik dengan cerita gue. “Lu punya adek? Sumpah? Gue kira lu anak tunggal.”

Gue mengangguk. “Adek gue kelas 9. Awalnya dia yang disuruh mama gue beli beras kan, tapi si oon malah bilang mau pulang malem terus gue disuruh beli beras.”

“Lah ngapain anak SMP pulang malem-malem?”

“Au dah” Gue mengedikkan bahu. “Palingan nongkrong sama temen-temennya. Emangnya waktu SMP lu nggak nongkrong-nongkrong gitu?”

Reyvan menggelengkan kepalanya. “Nggak sih. Gue baru mulai nongkrong-nongkrong sama ngerokok itu waktu kelas 10. Sebenarnya gue nggak nyangka bakal ikutan nongkrong ngerokok kayak gini sih, tapi ya udah lah. Nggak ngerugiin siapa-siapa juga, asal gue tau tempat, kan?”

Tapi lu ngerugiin paru-paru lo

Pengen banget rasanya gue bilang gitu. But, hey, gue bukan siapa-siapa dan gue nggak berhak ngomong kayak gitu. It’s none of my business anyway.

“By the way, gue penasaran.” Dia menunjuk telinga gue dengan dagunya. “Lu bikin itu kapan?”

“Ini?” Gue menyentuh piercings gue. “Waktu kelas 10 juga, tapi pas liburan naik ke kelas 11. Waktu itu, Heje bercanda mau tindik telinganya di rumah. Terus, karena gue penasaran, akhirnya gue minta mama gue buat bikin piercings and surprisingly dia bolehin.”

Reyvan ngelihatin telinga gue dengan kagum, rasanya malu dikit dilihatin kayak gitu. “Sakit nggak sih?” tanya dia.

“Penasaran?”

Dia mengangguk.

“Bayangin aja.”

Cowok itu mengerutkan dahinya, tidak terima dengan jawaban gue. “Ngeselin ya lu,” katanya.

“HAHAHA— eh eh eh NGAPAIN LO AMBIL MCFLURRY GUEEEEEE?”

Dia menyelupkan kentang gorenya ke dalam es krim, lalu memakannya seolah-olah dia sudah biasa. Mata gue langsung membulat, heran sama kombinasi makanan yang Reyvan telah buat.

“That was so disgusting.”

“Whaaaat? It’s good, though.”

“Ih, enggak enggak. Udah ah itu McFlurry nya buat lo semua aja.”

“Serius?” Cowok itu kelihatan seneng banget, akhirnya gue ngangguk-ngangguk aja karena nggak tega. “Terima kasih, nona muda. Semoga hari-harimu dipenuhi dengan kebahagiaan,” ucapnya, sambil mengacungkan ibu jari.

Begitu Renee menutup pintu, ia melihat Reyvan — Laki-laki yang kemarin malam ada di acara ulang tahun yang sama dengannya — sedang merokok sambil duduk. Posisinya sama persis seperti kemarin malam.

Reyvan langsung buru-buru mematikkan rokoknya, lalu tersenyum canggung. “Halo.”

“Hai,” balas Renee, masih ngos-ngosan karena habis lari. Ia duduk di samping Reyvan, tapi berjarak sejauh 2 meter agar tidak tercium bau rokoknya. “Gue numpang di sini juga boleh, nggak? Cuman, gue agak jauhan. Gue nggak suka bau rokok.”

“Hah? Nggak kedengeran.”

Renee memutarkan bola mata. Ia benci harus mengulangi perkataannya. “GUE BOLEH DUDUK DI SINI NGGAK? TAPI AGAK JAUHAN BIAR—”

“Eh jangan kenceng-kenceng woi, nanti ketauan sama office boy kita di sini,” potong Reyvan. Ini membuat Renee semakin kesal, tetapi Reyvan malah tertawa melihat reaksi gadis itu. “Gue denger kok, sebenarnya. Lo ngapain di sini?”

Renee menghela napas. “Bagas ngikutin gue mulu, jadi gue kabur ke sini. Lo tau Bagas nggak? Kalo tau, jangan kasih tau ya gue di sini.”

“Ya enggak lah, gue aja nggak deket sama dia,” katanya. Ia lalu mematikan rokok dengan menginjak-injaknya.

Melihat itu, membuat Renee penasaran. “Gue boleh coba nggak?” tanya dia.

“Hah? Rokok? Lo mau nyoba ngerokok?” Reyvan menatapnya dengan tatapan tidak percaya, sambil menunjukkan bungkus rokok yang ia pegang dari tadi.

“Ih bukan,” tolaknya. “Injak-injak rokoknya. Boleh nggak?”

Cowok itu diam sebentar sebelum mengangguk, mengiakan permintaan aneh Renee. Perempuan itu berjalan mendekati Reyvan, lalu melirik ke batang rokok yang sebenarnya sudah padam dari tadi. Ia kemudian menginjaknya dengan penuh emosi sampai Reyvan kaget emosi seorang Renee terlihat jelas hanya dengan menginjak-injak batang rokok.

Setelah itu, Reyvan tertawa. “Lo kenapa serius banget nginjeknya? Santai aja kali, Ne.”

Wajah Renee memerah, malu karena sudah berlebihan. Ia berhenti menginjak-injak lalu ikut tertawa, walaupun terdengar sedikit canggung. “Sorry, gue kesel banget soalnya.”

“Kesel kenapa?” Reyvan bertanya, mengambil batang rokok yang sudah rata itu lalu membuangnya ke dalam tong sampah. Renee menghela nafas, berjalan mendekati pagar yang mengelilingi rooftop sekolah. “Gue nggak suka sama cara Bagas nembak gue. Eh, did I sound arrogant?” ia melirik ke Reyvan untuk memastikan. Laki-laki itu menggelengkan kepala, menyuruh Renee untuk lanjut bercerita.

“I appreciate it. You know, disukain sama dia dan dia udah berani nembak gue segala macem. Tapi gue nggak suka caranya dia nembak gue di publik, dan pake ngejar-ngejar gue segala sampai bikin gue takut,” jelasnya. “Gue nggak tau ya menurut dia itu cuma bercandaan lucu atau enggak, tapi gue nggak suka karena gara-gara dia, orang-orang jadi ngeliatin gue.”

Reyvan tidak bisa membayangkan bagaimana rasanya berada di posisi Renee, karena laki-laki itu hampir tidak pernah menjadi pusat perhatian. Meski begitu, ia mencoba untuk memahami perasaan Renee. “Nggak nyaman ya? Getting everyone’s attention like that. Mungkin pada bilang lu beruntung karena ada yang mau nembak lu terang-terangan kayak gitu, tapi mau gimana pun kalo lu nggak suka ya lu nggak akan bisa suka.”

Renee mengangangguk antusias. “SEE, YOU GET IT! Sumpah, tadi anak kelas gue ada yang bilang kalo Bagas keren karena udah nembak gue kayak gitu dan gue harusnya terharu. Oke, I admit it, dia keren karena udah berani. Tapi menurut gue ngejar-ngejar gue kayak tadi itu nggak keren sama sekali. Atau, bahasa lainnya, bikin gue illfeel.”

Laki-laki itu hanya tersenyum mendengar isi curahan hati Renee. Ini baru pertama kalinya ia merasa tidak canggung dengan seorang perempuan selain Regita dan anggota keluarganya. Padahal, mereka baru saja kenalan kemarin.

“Kalo lu mau, lu ke sini aja setiap Bagas ganggu lu.”

Renee terdiam seketika, lalu menatap Reyvan heran. “Kenapa harus di sini? Lo—”

“Nggak usah geer ya. Keseringan ditembak cowok jadinya dikit-dikit dibaikin lu langsung ngiranya naksir nih,” canda Reyvan, yang kemudian dibalas dengan tawa oleh Renee.

“Tau dari mana lu gue banyak ditembak atau enggaknya?”

“Lah, lu lupa?” Reyvan menggantikan posisi untuk menghadap ke arah Renee. “Waktu ada bazaar di sekolah, yang gue tumpahin Pop Ice, itu lu habis ditembak kan?”

Renee bisa merasakan wajahnya memerah. “Itu bukan ditembak, tau. Dia cuman minta nomer handphone.”

“Dan pasti lo tolak.”

“Bener,” balasnya sambil mengacungkan ibu jari. “Tapi, kalo lu bawa-bawa ini karena mau nomor handphone gue, lu tau kan lu bisa minta langsung aja?”

Mendengar ucapan Renee, Reyvan mencemooh. “Sebenarnya gue nggak kepikiran sih, tapi oke. Gue boleh minta nomer lu nggak?” tanya laki-laki itu, mengeluarkan handphonenya dari saku celana.

Tapi, jauh dari dugaannya, Renee justru menggelengkan kepalanya. “Cari aja di grup angkatan,” ejek perempuan itu. “Kalo lu nemu, besok gue bawain sushi ke sini.”

“Lo nantangin gue?”

“Iya dong.”

Laki-laki itu terkekeh. “Oke, kalo gue nemu nomor lu sebelum pulsek, sushinya double. Gimana?”

“Deal.”

Udah dua kali gue sama Reyvan tabrakan ngomongnya. Gue malu banget karena udah dua kali gue sama dia ngomong “eh” barengan.

Tiba-tiba, Reyvan ketawa. Gue yang melihat dia tertawa ikutan ketawa. Lucu juga sih, udah tiga kali ketemu dan waktu pengen ngomong malah tabrakan mulu.

“Sorry, sorry. Kayaknya kita tabrakan mulu. Nama lo Renee kan?” katanya sambil menyelipkan sebungkus rokok ke dalam saku celananya. “Gue tau soalnya lu temennya Regita, by the way. Just to clarify so I don’t seem creepy or anything.”

“Nggak creepy kok,” balas gue. “Lo Reyvan kan? Kalo ini, gue tau bukan karena temen gue, tapi karena gue lihat dari name tag lo waktu itu.”

“Dan lo masih inget sama gue?”

“Iya lah.” Gue menendang-nendang batu kerikil di depan gue. “Soalnya, setiap kita papasan, pasti ada aja kejadian buruk. Kayak waktu itu, Pop Ice lo jatoh terus kena seragam gue. Habis itu, lo dihukum karena telat dan gue bintitan. Sekarang — gue nggak tau sih buat lo ini buruk atau enggak — kita berdua di acara ulang tahun orang tapi malah di luar.”

Reyvan mengangguk setuju. “Lumayan buruk, tapi nggak buruk-buruk juga sih. Gue kenal sama yang ulang tahun soalnya. Tapi, nggak deket. Lu?”

Gue menggelengkan kepala. “Gue nggak kenal siapa yang ulang tahun. Gue ke sini cuman karena mama gue maksa nemenin dia.”

“Eh serius?” matanya membulat tidak percaya. “Gue juga dipaksa nemenin mama gue anjir.”

Huh…

Menurut gue, ini konyol tapi keren juga. Reyvan tampaknya juga kaget karena kesamaan ini, karena matanya masih membulat. Mata kita bertemu lagi, tapi kali ini kita sama-sama tersenyum. Mungkin, selama ini, gue memang penasaran dan pengen ngobrol sama cowok ini. Karena waktu kita ngobrol tadi, rasanya menyenangkan banget. Padahal, cuma bentar doang, dan percakapannya nggak spesial-spesial banget.

Tiba-tiba, handphone gue berdering, menunjukkan nama ‘Mama’ di layar. “Halo?”

Kamu masih di luar? Cepet masuk, pamitan dulu.

“Hah? Oh, o-oke…”

Gue mematikan panggilan itu lalu menengok ke Reyvan yang masih jongkok. “Van, gue duluan ya. See you at school.”

Dia hanya memberi anggukan kepala sebagai respon, lalu melambaikan tangannya sebelum gue berlari ke dalam.

I hate parties.

I hate sitting in a room full of unfamiliar faces. I hate loud music. I hate it when people dance and accidentally bumped into me. I hate it that my mom forced me to come to a birthday party, when I don’t even know who the birthday boy is. She said it was her friend’s son. I didn’t even know she had friends who hold big parties like this for their son’s seventeenth birthday.

Sejak gue menginjak kaki di dalam rumah temannya mama gue, gue langsung bete banget. Gue nggak tau siapa-siapa di sini, gue merasa asing setiap kali mama gue ngobrol sama teman-temannya dan gue membuntuti dia dari belakang.

Sekarang, gue lagi duduk di paling pojok ruangan, kayak orang ansos. Kerjaan gue dari tadi cuma ngambil minum, ngambil makan, salam ke temen-temennya mama gue, dan seterusnya.

Berkali-kali mama gue nyamperin gue buat nyuruh gue ngobrol sama anaknya temen dia, tapi gue nggak nyaman with the idea of talking to someone who has been dancing and acting drunk even though there’s no alcohol around.

Akhirnya, gue memutuskan untuk bergerak dari posisi gue, ke luar rumah untuk mencari udara segar. Dari awal gue udah ngerasa sumpek di dalem, tapi nggak enak aja kalo tiba-tiba keluar, jadi gue mencari waktu yang pas.

“Finally…” gumam gue, menghirup udara segar sepuasnya lalu menghelanya.

Tapi, gue dibuat jengkel sama asap rokok yang tiba-tiba tercium. Gue membukakan mata, lalu menengok ke orang di samping gue.

Ada cowok yang duduk sambil ngerokok, mengenakan kemeja putih dan ada blazer hitam di pangkuannya. Mata kami bertemu. Gue terkejut saat menyadari siapa cowok itu.

Reyvan Pradipa, cowok yang pernah berpapasan dengan gue beberapa kali.

Pertama itu waktu kelas 10, di hari terakhir PAT. Saat itu, gue dipanggil sama kakak kelas gue, kak Dzaky, buat nemuin dia di ruang seni rupa. I won’t go into further details, but he asked me out. Waktu gue tolak, kita ribut sedikit, dan pas dia udah pergi, gue dibuat kaget sama Reyvan yang kejedot meja. Ternyata, dari awal sebelum gue masuk ruang seni rupa sama kak Dzaky, Reyvan udah di ruang seni rupa, tapi tidur di kolong meja.

Kedua kali gue papasan sama dia itu waktu sekolah kita lagi acara kompetisi antar sekolah. Saat itu, gue habis dimintain nomer handphone sama salah satu cowok dari sekolah lain yang ikut futsal. Setelah gue tolak dan cowon itu pergi, Reyvan datang dan nggak sengaja numpahin minuman Pop Ice nya, terus kena sweater gue dan sepatu dia. Tapi, bukannya minta maaf atau gimana-gimana, kita malah act like nothing happened.

Ketiga kali gue ketemu sama dia, itu waktu dia ke kelas gue karena telat sekolah, terus dihukum buat nyanyi Garuda Pancasila di depan kelas. Hari itu, dia ngeliatin gue mulu sampai gue ngerasa risih. Tapi, waktu gue tanya ke sahabat gue, Anais, katanya gara-gara ada bintitan di mata gue.

Selama tiga kali pertemuan itu, gue sama Reyvan belum pernah ngobrol sama sekali. Setiap kali mata kita bertemu, kita akan membuang muka dan pura-pura tidak kenal. Ya, emang gue sama dia nggak pernah kenalan sih.

Tapi, malam ini kayaknya akan menjadi pertama kalinya kita ngobrol. Dan mungkin, menjadi percakapan pertama dari banyak percakapan yang akan datang selanjutnya.

“Here we are!” seru Asa, membukakan pintu untuk Jora. Perempuan itu keluar dari mobil dan disambut dengan rasa rumput menggelitiki kakinya. “Ini di mana?” tanya perempuan itu, matanya melihat ke sana dan ke sini.

Asa tersenyum bangga. “Ini dulu taman yang selalu gue kunjungin bareng temen-temen gue pas SD. Agak jauh, kan, dari rumah? Soalnya, gue main ke sini sebelum gue pindah rumah.”

Asa kemudian duduk di rumput, mengejutkan Jora. “Eh, ngapain, Sa. Nanti gatel-gatel, loh.”

“Enggak apa-apa, asli. Lu nggak mau duduk juga, Kejora?”

Setelah berdebat dengan dirinya sendiri, akhirnya Jora memutuskan untuk duduk di samping laki-laki itu. Jantungnya berdegup lebih kencang dari biasanya, karena Asa begitu dekat dengannya. Ia sudah pernah duduk di samping Asa sebelumnya, tapi, kali ini rasanya berbeda, karena jarak mereka lebih dekat dari biasanya.

Begitu juga Asa. Laki-laki itu kesulitan menahan kedua ujung bibirnya yang ingin terangkat, sampai ia berkali-kali berpura-pura batuk.

“Kayaknya, gue tau kenapa lu dinamain Kejora.” Asa memulai percakapan untuk mencairkan suasana tegang tadi. Jora, yang tadinya sibuk mengontrol degupan jantungnya, langsung menoleh ke Asa dengan penasaran. “Kenapa?”

“Gini,” ia membenarkan posisi duduknya agar nyaman, “nama gue, kan, Angkasa, nah Angkasa itu gelap kan? Terus, langit kalau malam itu juga gelap kayak angkasa gitu. Eh, tapi kalo kata guru geografi itu angkasa gelap karena nggak ada pantulan gitu sih…Ah whatever, that’s not what I’m trying to say. Oke, gini, kan nama Kejora itu dari bintang kejora–”

“And your point is?” potong Jora, menganggap semua ini omong kosong. Atau lebih tepatnya, ia rasa Asa ini sedang ngelantur.

“I’m getting there,” cetus Asa. “Lo bintang, gue langit. Walaupun langit — atau angkasa — itu dikelilingi oleh banyak bintang-bintang, nggak ada yang bisa ngalahin bintang kejora. Kenapa? Karena, bintang kejora itu bintang yang paling menonjol di antara bintang-bintang lainnya. In other words, you’re special. You stand out. In a good way. Well, at least di mata gue.”

Wajah Jora memerah mendengar pujian Asa yang tiba-tiba itu. Kedua ujung bibirnya terangkat, lalu ia tertawa kecil. “That’s cute.”

Kedua mata Asa berbinar. “Iya, kan? Gila, emang gue keren banget. Gue mikirin ini dari pertama kali gue tau nama lu, by the way.”

“That’s cute, Sa,” Jora mengulang ucapannya. “Tapi bintang kejora itu planet venus, bukan bintang beneran.”

“Oh.”

Ekspresi yang dipasang oleh laki-laki itu membuat Jora tertawa lepas. “Ah, lucu banget muka lo serius,” katanya sambil menyeka air matanya karena tertawa terlalu kencang. “I appreciate the effort, though. I still think it’s cute how you thought about that after you learned my name.”

Asa ikut tertawa saat menyadari kebodohannya. “Ya, yang penting gue udah berusaha. EH TUNGGU DULU kan alesan gue ngajak lu ke sini buat nembak lu–”

“Eh?”

“Eh?”

Wajah kedua orang itu memerah. Jora membuang mukanya, sedangkan Asa menggaruk lehernya canggung. “Kayaknya, gue gagal ya…” gumam laki-laki itu sambil menunduk.

“Gagal maksudnya?”

“Ah, lagian,” ia mengeluarkan mainan kembang api dari kantong plastiknya, “gue awalnya mau sok-sok nembak lu pake kembang api gitu, nembak kayak literally nembak dor! Itu sebenarnya ide si Valdin sih. Emang bego banget tuh orang, idenya konyol tapi kenapa gua ikutin ya, anjir…”

Mata Jora tertuju pada kembang api yang dipegang Asa, lalu mengambilnya. “Ya udah, ayo tembak gue sekarang.”

“Ih, jangan ah, bahaya gue takut malah kena lu beneran terus lu cedera terus kita gagal jadian gara-gara gue nggak direstuin,” tolak Asa lalu merebut kembang apinya kembali.

“Tapi gue mau, Sa. Lu udah beli kembang api gini, tapi nggak dipake. Kan, jadi sayang.”

“Jadi apa?”

“Sayang.”

“Kenapa, sayang?” goda Asa, ia mengangkat kedua alisnya seperti orang genit. Jora memukul bahu laki-laki itu karena geli, tapi Asa sudah duluan menghindarnya. Perempuan itu jadi greget, lalu mengejar Asa, yang menertawainya.

Setelah kejar-kejaran selama lima menit, mereka berdua akhirnya berbaring di rumput sambil ngos-ngosan.

“Udahan ya, kejar-kejarannya,” kata Asa. “Kita jadian aja, gimana? Kalo kejar-kejaran mulu, nanti malah nggak jadi-jadi.”

Jora membeku di tempat. Perempuan itu sudah berkali-kali digombali oleh Asa, tapi kali ini rasanya berbeda, karena Asa mengatakannya sambil menatap dia dengan tatapan serius. Ia sampai bingung Asa hanya akting atau beneran.

“Lo…” Jora menatap laki-laki itu dengan ragu, “lo suka sama gue?”

“Lah? Gue udah nunjukkin gue suka sama lu since the first time I saw you, and you’re still asking me that?”

“Bukan,” perempuan itu menenggelamkan wajah di kedua tangannya. “Gue takutnya geer, Sa. Sorry, gue malu dikit. Ini lo…beneran nembak gue?”

Asa tertawa melihat Jora yang menggemaskan. “Kejora lucu banget, gue mau tendang sampai luar angkasa. Tapi, nanti gue kangen kalo kejauhan, nggak jadi deh.”

“Asa seriuuuuusss.”

“Iyaaaaa Kejoraaa.” Asa bangkit dari duduknya, tersenyum ke Jora yang masih malu. “Gue suka sama lu, dan gue mau jadi pacar lu, kalo lu mau jadi pacar gue karena lu suka sama gue dan bukan karena lu kasihan sama gue kayak di film-film.”

“Drama banget.”

“Ha ha ha,” laki-laki itu tertawa datar. “Jadi?”

“Jadi apa?”

“Jadi gimana?”

“Ya udah.”

Mata Asa membulat. “Hah? Serius?”

“Ya…iya? Emangnya lu kira gue bercanda?” Jora masih belum mau berdiri dari posisinya, jadi ia menatap Asa sambil tiduran.

“SERIUS?”

“Iyaaa.”

“KEJORAAAAAAA!” laki-laki itu menarik Jora ke dalam pelukannya, mengejutkan perempuan itu. “Eh, eh, eh, kenapa sih?!”

“Sorry, sorry,” Asa melepaskan pelukannya. “Thank you. Thank you so much udah mau pacaran sama gue.”

“Ya…” Jora membuang mukanya. “Makasih udah suka sama gue.”